Ibu bilang, "Kau harus menemukan laki-laki yang tak membiarkanmu tidur dalam rasa gelisah ataupun amarah, Nak."
"Tapi, aku ingin menemukan laki-laki yang selalu membawaku ke tempat di mana aku bisa menulis kapan saja tanpa sekat, Bu. Bukankah sebuah karya yang besar dihasilkan dari kegelisahan pengarang?" Aku berdalih.
"Apakah pengarang harus mengalami kegelisahan yang berlarut agar mampu menghasilkan karya? Dengan kegelisahan sejumput saja, seorang pengarang akan mampu berkarya, Nak. Itulah pengarang yang menghasilkan karya besar." Kata Ibu lagi.
Ia menemuiku setelah melarangku datang menemuinya. Setelah mencium punggung tangan ayahku, ia mengajakku menari lagi.
Tempat baru. Suasana baru. Kenyamanan yang baru. Bercerita apa saja, seperti biasa. Rasanya sudah sangat lama kami tak melakukan hal ini. Tak peduli waktu yang terus memburu, tetapi laju cerita kami lebih memburu ketimbang waktu yang terus berlalu.
Ia memang begitu. Ketika aku menginginkan coklat, ia bawakan eskrim rasa coklat. Ketika aku menginginkan mangga, ia bawakan jus mangga. Ketika aku menginginkan hanya bertemu saja, ia bawakan segudang cerita beserta tawa.
Kesalahan sekecil kerikil, ia tebus dengan sebesar langgar.
"Tapi, Bu. Saat pulang tengah malam, motor yang kami tumpangi mogok..."
Ibu tersenyum, "Kau sudah menemukan laki-laki dengan dua tipe yang kita bicarakan tadi, Nak."
Semarang, 20 Agustus 2015.