Ada yang dibayar lunas, tapi tak jua tuntas.
Yang namanya rindu, mana bisa dihitung?
—
"Ini jalan menuju ke kosku. Kalau berangkat kerja aku lewat sini, kalau pulang beda lagi," dia berceloteh ketika kami menyusuri lembah menjulang di selatan ibu kota.
Dari dulu ia memang bakat bercerita. Pas denganku yang lebih suka mendengarkan. Sesekali bercerita kalau kebetulan ingat.
"Nah lewat sini. Kemarin aku beli celana di sana, nanti aku ajak ke sana, ya," ia melanjutkan.
Ia masih sama seperti 3 tahun 8 bulan lalu.
Dengan badan tinggi tegap dan rambut gondrong, pasti terlihat seram kalau lagi jalan. Ada yang bilang kayak preman, musisi jalanan, sampai aktor figuran.
"Hehehe aku agak cerewet nggak apa-apa, ya?" pengakuannya tampak suci.
Kukasih satu rahasia. Meski tampak beringas, tapi —sumpah demi apapun— dia nggak pernah berkhianat. Apapun bentuknya.
Seperti yang sudah-sudah. Kami hanya teman cerita. Dia dengan segudang wanitanya dan aku dengan diriku sendiri yang gini-gini aja. Mengerti kondisi terburuk hingga ter-wah-nya membuatku ragu apakah akan berhasil jika aku dan dia terikat dalam sebuah hubungan yang bukan pertemanan?
Detik, menit, jam, hari, bulan, tahun berlalu. Semakin lama, kami semakin tahu. Masing-masing kami saling butuh dan acuh.
"Ini kantor tempatku kerja. Kalo lagi nggak males, aku makan siang depan sini. Ada macem-macem menu," ia melanjutkan.
Riuh suara klakson dan genangan polusi rasa-rasanya tak bisa menjatuhkan semangatnya untuk mengajakku berkeliling. Mengenali hidupnya yang kini jauh dariku dan keluarga.
"Oi, Pak! Lek! Om!," sapanya ketika melewati penjual kaki lima yang sering menjadi tempat cacing-cacing perutnya berlabuh.
Dia tampak amat bahagia.
Lalu aku?
Aku merasa lega.
Aku lega ketika aku tak ada di sampingnya secara fisik, ia telah memiliki banyak teman dan lingkungan yang membuatnya nyaman.
Aku lega ketika mengetahui ia selalu sehat secara fisik dan mental.
Aku lega ketika mengetahui aku tetap menjadi satu-satunya.
Aku juga lega ketika bisa menemuinya saat ia sendiri tak tahu kapan akan pulang.
Tujuan pulang,
haruskah selalu rumah?
Pulang, tak selalu menjadikan bangunan sebagai tujuan. Pulang ialah tempat bagi hati bersandar. Menumpahkan racun yang membikin hati tak sehat.
Ia memang tak tahu kapan akan pulang. Maka, akulah yang akan pulang. Kepadamu. Kepada pelukmu.
November 2018
Jiwaku telah mengubah Jakarta jadi rumah.
0 comments:
Post a Comment