Tuesday 2 June 2020

Perempuan dan Suara yang Tak Didengar


Saban malam,
seorang perempuan kehilangan dirinya
ia menangis
ia mendengar
ia berbicara
sendiri

Ingatannya menakut-nakuti masa depan
ia makan kekhawatiran setiap hari
pikirannya adalah senapan,
dengan menarik pelatuk, ia ingin hilang
tanpa air mata, rasa sakit, dan pundak.

ia tumbuh dewasa dengan teriakan di pikiran
Lalu hidupnya hanya sebatas, "mungkin besok aku mati."

Tapi ia tak pernah mati,
ingatannya terus hidup
mengkristal
mendendam
perjalanan panjangnya mengusir takut
adalah perjalanan seumur hidup

sampai ia berani
dan orang-orang mendengar suaranya.

Maret 2020
Share:

Tuesday 5 May 2020

Fenomena Kebebalan Baru: Pemberian Apresiasi pada Permintaan Maaf Pelaku Kekerasan Seksual

Publik seakan lupa tentang seberapa jauh perjalanan korban hingga sampai pada tahap paling berani: speak-up.

Apa yang salah dengan pemahaman perihal benar dan salah dalam kasus kekerasan seksual? Tindakan memperkosa saja sudah sangat salah, tetapi kenapa publik seolah tidak terima dengan kenyataan itu?

Pencarian kesalahan pun dimulai. Publik akan membombardir korban dengan pertanyaan yang memojokkan dan pernyataan yang tidak manusiawi. Publik akan mulai menjadi hakim yang tidak adil. Ya, di tengah banyaknya kasus kekerasan seksual yang menemui titik terang, masih ada penghakiman publik yang siap menjadi tameng sukarela bagi pelaku.

Korban-korban yang berani speak-up ini memberi tuntutan kepada pelaku. Salah satu tuntutan paling populer adalah menuntut permintaan maaf pelaku. Ketika tuntutan itu sampai ke meja makan pelaku, ia hanya memiliki dua pilihan: menyantap atau membuangnya ke tempat sampah. Kemudian, sebagian besar pelaku memilih menyantap tuntutan atas perilaku mesumnya.

Permintaan maaf pun dibuat. Entah melalui video atau hanya bermedia tulisan yang dipublikasikan ke akun media sosial pelaku. Sampai di sini, bukankah seharusnya publik paham bahwa permintaan maaf merupakan bentuk nyata adanya kekerasan seksual yang dilakukan pelaku?

Namun, alih-alih membuat publik paham akan adanya kejahatan yang dilakukan pelaku, justru hal sebaliknya terjadi. Publik mengapresiasi pelaku yang meminta maaf.
“Setiap orang memiliki masa lalu. Semangat! Mulai dari nol.”
“Keren! Gentlemen lo, Bro!”
“Ada orang yang merasa menjadi korban dan ingin membongkar keburukan orang lain. Terus berbenah dan perbaiki hubunganmu dengan pencipta.”
Dan beberapa kalimat ‘salut’ yang dilontarkan ke pelaku.

Apakah itu salah? Tentu.

Permintaan maaf pelaku muncul karena tuntutan dari korban yang telah berani mengungkap kisahnya. Otomatis, semua tindakan dan komentar dari unggahan permintaan maaf pelaku pun tak luput dari pantauan korban dan beberapa jaringan yang membantu korban. Otomatis lagi, komentar-komentar pemberian semangat untuk pelaku juga diketahui korban.

Beberapa kasus kekerasan seksual terjadi di ranah privat, yakni korban dan pelaku memiliki hubungan dekat, entah itu relasi privat atau circle pertemanan yang sama. Itu artinya, dukungan untuk pelaku datang dari orang-orang terdekat yang juga mengenal korban. Hal yang sangat menyakitkan untuk korban.

Silakan menjadi bebal dengan memaklumi perilaku mesum pelaku, tetapi utarakan secara tertutup.

Fenomena ini seolah mengungkap kekhawatiran publik perihal kesehatan mental pelaku. Tak hanya itu, publik juga khawatir jika keluarga pelaku mengetahui hal ini. Padahal ada satu cara ampuh agar kekhawatiran tersebut tidak terjadi, yakni jangan memperkosa! Setiap perbuatan selalu berpasangan dengan konsekuensi, kan?

Kasus kekerasan seksual seolah hanya meng-highlight pelaku sebagai pihak yang dirugikan dan butuh didukung. Publik pun lupa bahwa ada korban yang harus lebih dikhawatirkan kesehatan mentalnya. Belum lagi dengan keluarganya.

Publik juga lupa tentang seberapa jauh perjalanan korban hingga sampai pada tahap paling berani: speak-up. Tetapi lagi-lagi, publik selalu punya cara untuk menyalahkan korban. Korban yang berani speak-up pun disebut sebagai pembongkar keburukan orang lain.

Yup, sepertinya publik tidak cukup puas dengan memberi apresiasi pada pelaku secara terang-terangan. Jurus kedua pun dikeluarkan, victim blaming. Dalam kasus kekerasan seksual, hal ini pasti terjadi. Korban dianggap bersalah atas hal yang menimpa dirinya. Akhirnya, pelakulah yang dianggap menjadi kambing hitam.

Pada akhirnya, permintaan maaf pelaku tidak berguna. Publik tetap percaya pada pelaku dan menganggap korban hanya cari perhatian.

Sudah tidak mendapat dukungan publik, masih harus kehabisan energi karena terus disalahkan. Lalu, kenapa tidak langsung ke jalur hukum saja? Ada banyak alasan kenapa korban enggan melapor. Kasus kekerasan seksual yang sudah lama terjadi akan kehilangan barang bukti. Barang bukti hanya sebatas pengakuan pelaku dan kronologi yang diceritakan korban. Dua hal itu tidak cukup untuk memenjarakan pelaku. Selama Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) belum disahkan, korban akan selalu menemui ketidakadilan.

Akhir dari kasus kekerasan seksual pun akan seragam: permintaan maaf pelaku dan lalu korbanlah yang justru dianggap sebagai pelaku. Publik pun masih belum juga paham bahwa kesehatan mental korban lah yang justru dikhawatirkan. Pun juga tak paham bahwa yang lebih membutuhkan dukungan adalah korban.

Namun memang tak semua publik berperilaku demikian. Ada yang sudah memahami isu kekerasan seksual dan berperspektif korban. Tapi itu tidak cukup. Bukan hanya publik yang berperspektif korban, saya rasa kita semua juga membutuhkan media dan penegak hukum yang berperspektif korban. Tanpa itu semua, kasus kekerasan seksual akan terus ada, bahkan meningkat.

Kasus-kasus yang muncul ke permukaan hanya sebagian kecil dari beberapa kasus yang belum terlihat. Banyak korban yang tidak berani melapor karena alasan tertentu. Jika victim blaming dan pemakluman terhadap tindakan pelaku terus ada, rape culture akan semakin berkuasa. Maka, tidak akan ada ruang aman bagi korban, yang ada hanya pembiaran.



Jakarta 28 Maret 2020
Share:

Monday 16 December 2019

226 #5

Yang lalu, lalu.
Yang tumbuh, tumbuh.
Tidak ada yang sempurna, tapi kamu dan kasih sayangmu pas buatku.

Menikah bukan transaksi jual-beli apalagi tawar-menawar. Menikah ialah bersedia.
Aku bersedia jadi istrimu, kamu bersedia jadi suamiku.
Aku bersedia mendengar ceritamu di malam hari, kamu bersedia membagi tugas rumah tangga.
Aku bersedia menjadi teman tidurmu, kamu tak marah jika aku lelah.
Menikah bukan perkara bebas bergulat di ranjang. Lebih dari itu, menikah ialah menikmati pergulatan itu.

Lebih dari itu lagi, menikah bukan perkara ranjang semata. Besok masak apa, akhir pekan kemana, sabun habis, pasta gigi habis, keran kamar mandi patah, genteng bocor, menyapu, bertanam, dan perkara-perkara menyenangkan lainnya.

Aku dan kamu bahkan sudah menikah sejak kali pertama saling menyayangi. Tapi kali ini, kita tervalidasi.

11.'19.

Share:

Tuesday 3 December 2019

Kurama dan Musik-musik yang Melayatnya


Sore.

Minggu, 17 November 2019.

Ia muncul dari kolong mobil. Langkahnya lemah, berjalan sendiri menuju ke mana pun untuk menyusupkan makanan di perutnya. Dari perut kempes dan tulang-tulangnya yang terlihat, aku tahu, sudah tak terhitung berapa kilometer ia sudah berkeliling dan belum juga mendapat makanan. Hmm, kira-kira usianya baru dua bulan. Usia yang seharusnya masih menikmati hangatnya pelukan ibu.

Ia hanya kucing kecil, kata orang.
Bagiku, ia adalah nyawa.



Ia masih sangat kecil untuk berkeliaran dan berlomba dengan kucing dewasa lain demi makanan. Aku ingin memeluknya di rumah.

__________
Malam hari.

Aku senang melihatnya tidur pulas.

"Kurama," celetukku.
"Sepakat. Aku punya panggilan sayang, kurkur," jawab laki-laki di sebelahku —suami.


__________
Pagi, ia jadi alarm.

Pagi yang kurang baik karena Kurama baru saja muntah. Bukan, bukan perkara muntah dan kotor dan ngepel yang menjadikan pagi ini kurang baik. Melainkan, cacing. Kurama cacingan.

Aku? Panik.
Suamiku? Panik tapi malu-malu.

Untung saja aku masih punya obat cacing untuk kucing. Kuberi dia secuil. Yash! Berhasil. Tak ada lagi cacing. Bahkan ia tak lagi muntah.

Tapi,
masalah kesehatannya tak berhenti di situ. Kurama diare!

Bayangan-bayangan distemper yang menyerang tiga kucingku dua tahun lalu muncul. Mereka yang mati di pangkuanku; aku menangis berhari-hari. Seperti seorang ibu kehilangan bayi.

Nggak, nggak.
Kurama harus sehat.

Vet menjadi tujuan kami. Kurama menjalani pemerikaan dan pengecekan feses. "Semuanya normal," kata dokter.

Kurama harus rutin minum obat. Dua obat, diare dan vitamin agar ia lebih doyan makan.

Ya, siang dan malam aku memberinya obat. Tapi, tak ada perubahan. Kurama masih diare dan lemas.

Sampai pada akhirnya, ada perasaan hancur datang. Ada yang tidak beres dengan Kurama. Aku berusaha menghangatkan badannya. Dia semakin lemas. Berdiri pun nggak sanggup.

Aku? Hancur parah. Aku menangis melihatnya kesakitan. Aku merasa tidak berguna karena hanya melihatnya sekarat.

Hampir lima jam ia sekarat. Aku menangis dan membaca doa-doa yang kutahu. Aku juga memberinya musik-musik pengantar tidur.

Sungguh aku merasa tak berguna.
Aku merasa bersalah tak merawatnya dengan baik.
Aku merasa bersalah tak menemukannya lebih awal.

Kurama tak ingin mati di hadapanku, pikirku.
Aku membiarkannya menyendiri, tapi tak tenang. Pukul 1 pagi lebih sedikit, aku tak lagi mendengar Kurama melenguh.

Aku telah kehilangan.

Kurama pergi tanpa kutemani. Ia pergi bersama musik-musik yang melayatnya; Cat meditation, agar ia lebih tenang pergi; Peaceful music for cats, agar ia damai; The sky is the limit, agar ia menemukan jalannya; Sulung, agar ia —dan aku— sama-sama merelakan.




"Kurama milik Tuhan."
Mantra yang kuucapkan berulang.


Maaf, Kurama.
Aku menulis ini karena aku tahu kamu membaca ini.


November 2019

Share:

226 #4

percakapan sebelum tidur,
memelihara kasih yang sewaktu-waktu bisa lebur
ia memupuk,
di pundaknya ada aku dan kemungkinan-kemungkinan yang akan datang,
di pundakku ada kami,
teliti meruwat-merawat,
jika lelah istirahat.

aku punya pundakmu,
kamu punya pundakku.

ia sekarang lelap,
mungkin di mimpinya ada ketakutan.
mungkin hanya putih,
mungkin hanya gelap,
mimpi memang tak pernah punya warna.

tidurlah,
pukul enam kubangunkan kau,
kembalilah pada tembok itu putih,
lukisanmu di bawah jam dinding itu penuh warna,
dan aku yang di sebelahmu ini bisa jadi merah jingga kuning hijau biru nila atau ungu.

10.'19
Share:

226 #3

meramu-memaruh,
nasib baik menyuapi jiwa kita yang sama laparnya,
aku menyauk permintaan tanpa takut tersedak, sedang kau mendulang asa pada bibirmu lalu bibirku,
kita kenyang,
butuh air putih untuk mengisi ulang.
lalu,
kita menanak catatan dari percakapan-percakapan,
yang dimatangkan agar gampang ditelan.

sayang,
keputusan itu seperti nasi.
jika kurang, lapar.
jika penuh, mual.
jika basi, tak berarti.

tapi perutmu dan perutku sudah lama hidup bersama.
urusan nasi tak seberat itu.
urusan porsi tak sepelik itu.
jangan pusing soal angka,
sebab saling memahami tak perlu matematika.

September 2019.


Share: