Thursday, 3 December 2015

Berangkat dari Kekosongan

Suatu ketika, saat terik menerpa. Kelas kami disibukkan oleh pemahaman masing-masing diri atas materi perkuliahan. Pemandangan yang jarang terlihat, bahkan baru kali pertama tampak pada semester ini. Apa yang sebenarnya terjadi?
Ya, ujian tengah semester.
Segala persiapan telah matang, dan saya memilih duduk di bagian depan. Bukan karena pencitraan. Hanya saja saya tak ingin imajinasi saya terganggu oleh bisik-bisik dari kanan-kiri. Bagi saya, pemahaman atas materi perkuliahan tak selalu tekstual, ambil saja intinya jelaskan menurut pemahaman dan bahasa kita sendiri beres!
Saya merasa nyaman dan aman berada di barisan paling depan. Sesekali menengok ke arah belakang, saya melihat suatu pemandangan yang tak menyenangkan. Sama sekali tak enak dipandang. Seorang mahasiswi sedang sibuk men-tattoo telapak tangannya dengan tinta. Lebih tak menyenangkan lagi, mahasiswi tersebut telah berkali-kali mendapatkan IP cumlaude. CUMLAUDE. C-U-M-L-A-U-D-E!
Lucu sekali. Saya jadi ingin tertawa.
Di mana urat malunya?
Cumlaude dari hasil yang tak halal.
Saya justru lebih mengapresiasi mahasiswa yang jujur dan tak neko-neko. Membaca materi memahami inti menginterpretasikannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Tak hanya berhenti pada ujian saja.
Dari pengalaman kecil tersebut, saya jadi mengerti apa arti kalimat, “Jangan pernah berangkat dari kekosongan,” yang seringkali dikumandangkan oleh pak Sendang.

Karena kita tak akan pulang membawa apapun, jika kita berangkat tanpa membawa apa-apa. Berangkat dari kekosongan.




November, 2015.
Begitulah.
Hidup.
Share: