Suatu ketika, saat terik menerpa. Kelas
kami disibukkan oleh pemahaman masing-masing diri atas materi perkuliahan.
Pemandangan yang jarang terlihat, bahkan baru kali pertama tampak pada semester
ini. Apa yang sebenarnya terjadi?
Ya, ujian tengah semester.
Segala persiapan telah matang, dan saya
memilih duduk di bagian depan. Bukan karena pencitraan. Hanya saja saya tak
ingin imajinasi saya terganggu oleh bisik-bisik dari kanan-kiri. Bagi saya,
pemahaman atas materi perkuliahan tak selalu tekstual, ambil saja intinya —jelaskan menurut pemahaman dan bahasa kita sendiri —beres!
Saya merasa nyaman dan aman berada di
barisan paling depan. Sesekali menengok ke arah belakang, saya melihat suatu
pemandangan yang tak menyenangkan. Sama sekali tak enak dipandang. Seorang
mahasiswi sedang sibuk men-tattoo
telapak tangannya dengan tinta. Lebih tak menyenangkan lagi, mahasiswi tersebut
telah berkali-kali mendapatkan IP cumlaude.
CUMLAUDE. C-U-M-L-A-U-D-E!
Lucu sekali. Saya jadi ingin tertawa.
Di mana urat malunya?
Cumlaude dari hasil yang tak halal.
Saya justru lebih mengapresiasi
mahasiswa yang jujur dan tak neko-neko.
Membaca materi —memahami inti —menginterpretasikannya
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Tak hanya berhenti pada ujian
saja.
Dari pengalaman kecil tersebut, saya
jadi mengerti apa arti kalimat, “Jangan pernah berangkat dari kekosongan,” yang
seringkali dikumandangkan oleh pak Sendang.
Karena
kita tak akan pulang membawa apapun, jika kita berangkat tanpa membawa apa-apa.
Berangkat dari kekosongan.
November, 2015.
Begitulah.
Hidup.
4 comments:
Res
Yap
Mnta nomer mu klo ga pin mu dong res
res
Post a Comment