Lihat
perempuan-perempuan pengagummu. Mereka seolah membuat suatu partai,
perkumpulan, solidaritas, komunitas, atau istilah lain yang lebih pantas untuk
kegiatan mereka yang tak jelas. Kuku-kuku mereka yang sepanjang kasih ibu,
seolah telah siap menerkam tubuhku. Rahangnya mengatup-atup seolah telah siap
mengoyak tubuhku dan dibabatnya habis. Belum lagi matanya yang penuh hasrat
seperti ingin menguburku hidup-hidup —dan habislah aku!
Aku tak takut.
Tak akan pernah.
Aku abadi. Pun
kau. Seperti rentetan aksara yang selalu hadir dalam rangkaian dua nol tiga.
Kita abadi di dalamnya. Dan mereka hanya sekian makhluk yang ingin mencipta
rentet angka lainnya. Namun sayangnya, tak satupun angka yang ingin berpihak.
“Rak sah kuwatir, rak dibahagiake karo mamas,”
ucapmu sambil menepuk dada. Bangga.
Dan aku selalu
tak bisa berkata apa-apa setelahnya, meski sudah 9.786.582 kali kau
kumandangkan. Sebab memang demikian kenyataannya. Maka, tak segan kutimpali
dengan pelukan.
—yang demikian tak akan kulepaskan untuk kalian.
Mei 2016
Saat aku dan Ibu sedang asyik di dapur bersama
sayur,
sayup-sayup kudengar percakapan antara kau dan Bapak
di ruang tamu,
perihal sepak bola.
Dan burung,
kemudian batu akik,
lalu ayam,
Hingga bonsai… []