Saban malam aku ditemani bulan sembari mengingat lekuk wajahmu yang kusayang. Setiap inci wajah itu, ialah tempat bibirku berziarah. Mengenyam masa dari hari ke bulan ke tahun tanpa ada habisnya. Sembari mataku tak sanggup lagi melihat bulan, ingatanku tak ingin tertidur begitu saja. Di dalam mimpi, ingatanku mencoba menggerayangi lekuk jidat, mata, hidung, dan bibirmu.
Pada garbarata yang menghubungkan ingatanku dan kamu, aku menemukanmu yang kehausan rindu. Compang dan camping, kamu ingin merengkuhku yang hanya berjarak kurang dari 75 meter di depanmu. Sedang bangku di sisi kirimu masih kosong menunggu kusinggahi.
Aku rindu wajahmu yang kehausan. Berharap sebuah oase datang dari bibirku ke bibirmu. Mengaduk-aduk jiwamu hingga kembung dan ingin lagi dan lagi.
O, Kekasih, untuk melepas dahaga, haruskah kulalui garbarata yang hanya aku dan —mungkin, kau yang tahu?
Kupikir, air putih tak semahal dan sesakral ini. Namun, bulan-bulan lalu agaknya kau dan aku dipaksa terbiasa.
Aku terbangun.
Bulan sudah tak ada, sedang fajar sudah tak lagi muda.
Aku disayat dan disengatnya. Kamu samar-samar tertutup polusi dan silaunya hari.
O, Kekasih. Aku kelelahan, ingin kau apa-apakan.
Nanti, ketika fajar berangsur menua, lagi dan lagi aku akan mengingatmu hingga bertemu garbarata yang semakin hari semakin jauh saja.
Juli 2018