Sore.
Minggu, 17 November 2019.
Ia muncul dari kolong mobil. Langkahnya lemah, berjalan sendiri menuju ke mana pun untuk menyusupkan makanan di perutnya. Dari perut kempes dan tulang-tulangnya yang terlihat, aku tahu, sudah tak terhitung berapa kilometer ia sudah berkeliling dan belum juga mendapat makanan. Hmm, kira-kira usianya baru dua bulan. Usia yang seharusnya masih menikmati hangatnya pelukan ibu.
Ia hanya kucing kecil, kata orang.
Bagiku, ia adalah nyawa.
Ia masih sangat kecil untuk berkeliaran dan berlomba dengan kucing dewasa lain demi makanan. Aku ingin memeluknya di rumah.
__________
Malam hari.
Aku senang melihatnya tidur pulas.
"Kurama," celetukku.
"Sepakat. Aku punya panggilan sayang, kurkur," jawab laki-laki di sebelahku —suami.
__________
Pagi, ia jadi alarm.
Pagi yang kurang baik karena Kurama baru saja muntah. Bukan, bukan perkara muntah dan kotor dan ngepel yang menjadikan pagi ini kurang baik. Melainkan, cacing. Kurama cacingan.
Aku? Panik.
Suamiku? Panik tapi malu-malu.
Untung saja aku masih punya obat cacing untuk kucing. Kuberi dia secuil. Yash! Berhasil. Tak ada lagi cacing. Bahkan ia tak lagi muntah.
Tapi,
masalah kesehatannya tak berhenti di situ. Kurama diare!
Bayangan-bayangan distemper yang menyerang tiga kucingku dua tahun lalu muncul. Mereka yang mati di pangkuanku; aku menangis berhari-hari. Seperti seorang ibu kehilangan bayi.
Nggak, nggak.
Kurama harus sehat.
Vet menjadi tujuan kami. Kurama menjalani pemerikaan dan pengecekan feses. "Semuanya normal," kata dokter.
Kurama harus rutin minum obat. Dua obat, diare dan vitamin agar ia lebih doyan makan.
Ya, siang dan malam aku memberinya obat. Tapi, tak ada perubahan. Kurama masih diare dan lemas.
Sampai pada akhirnya, ada perasaan hancur datang. Ada yang tidak beres dengan Kurama. Aku berusaha menghangatkan badannya. Dia semakin lemas. Berdiri pun nggak sanggup.
Aku? Hancur parah. Aku menangis melihatnya kesakitan. Aku merasa tidak berguna karena hanya melihatnya sekarat.
Hampir lima jam ia sekarat. Aku menangis dan membaca doa-doa yang kutahu. Aku juga memberinya musik-musik pengantar tidur.
Sungguh aku merasa tak berguna.
Aku merasa bersalah tak merawatnya dengan baik.
Aku merasa bersalah tak menemukannya lebih awal.
Kurama tak ingin mati di hadapanku, pikirku.
Aku membiarkannya menyendiri, tapi tak tenang. Pukul 1 pagi lebih sedikit, aku tak lagi mendengar Kurama melenguh.
Aku telah kehilangan.
Kurama pergi tanpa kutemani. Ia pergi bersama musik-musik yang melayatnya; Cat meditation, agar ia lebih tenang pergi; Peaceful music for cats, agar ia damai; The sky is the limit, agar ia menemukan jalannya; Sulung, agar ia —dan aku— sama-sama merelakan.
"Kurama milik Tuhan."
Mantra yang kuucapkan berulang.
Maaf, Kurama.
Aku menulis ini karena aku tahu kamu membaca ini.
November 2019
0 comments:
Post a Comment