Publik seakan
lupa tentang seberapa jauh perjalanan korban hingga sampai pada tahap paling
berani: speak-up.
Apa yang salah dengan pemahaman perihal benar dan salah
dalam kasus kekerasan seksual? Tindakan memperkosa saja sudah sangat salah,
tetapi kenapa publik seolah tidak terima dengan kenyataan itu?
Pencarian kesalahan pun dimulai. Publik akan
membombardir korban dengan pertanyaan yang memojokkan dan pernyataan yang tidak
manusiawi. Publik akan mulai menjadi hakim yang tidak adil. Ya, di tengah banyaknya
kasus kekerasan seksual yang menemui titik terang, masih ada penghakiman publik
yang siap menjadi tameng sukarela bagi pelaku.
Korban-korban yang berani speak-up ini memberi tuntutan kepada pelaku. Salah satu tuntutan
paling populer adalah menuntut permintaan maaf pelaku. Ketika tuntutan itu
sampai ke meja makan pelaku, ia hanya memiliki dua pilihan: menyantap atau
membuangnya ke tempat sampah. Kemudian, sebagian besar pelaku memilih menyantap
tuntutan atas perilaku mesumnya.
Permintaan maaf pun dibuat. Entah melalui video atau
hanya bermedia tulisan yang dipublikasikan ke akun media sosial pelaku. Sampai
di sini, bukankah seharusnya publik paham bahwa permintaan maaf merupakan
bentuk nyata adanya kekerasan seksual yang dilakukan pelaku?
Namun, alih-alih membuat publik paham akan adanya
kejahatan yang dilakukan pelaku, justru hal sebaliknya terjadi. Publik
mengapresiasi pelaku yang meminta maaf.
“Setiap orang memiliki
masa lalu. Semangat! Mulai dari nol.”
“Keren!
Gentlemen lo, Bro!”
“Ada orang yang
merasa menjadi korban dan ingin membongkar keburukan orang lain. Terus berbenah
dan perbaiki hubunganmu dengan pencipta.”
Dan beberapa kalimat ‘salut’ yang dilontarkan ke
pelaku.
Apakah itu salah? Tentu.
Permintaan maaf pelaku muncul karena tuntutan dari
korban yang telah berani mengungkap kisahnya. Otomatis, semua tindakan dan
komentar dari unggahan permintaan maaf pelaku pun tak luput dari pantauan
korban dan beberapa jaringan yang membantu korban. Otomatis lagi,
komentar-komentar pemberian semangat untuk pelaku juga diketahui korban.
Beberapa kasus kekerasan seksual terjadi di ranah
privat, yakni korban dan pelaku memiliki hubungan dekat, entah itu relasi
privat atau circle pertemanan yang
sama. Itu artinya, dukungan untuk pelaku datang dari orang-orang terdekat yang
juga mengenal korban. Hal yang sangat menyakitkan untuk korban.
Silakan menjadi
bebal dengan memaklumi perilaku mesum pelaku, tetapi utarakan secara tertutup.
Fenomena ini seolah mengungkap kekhawatiran publik
perihal kesehatan mental pelaku. Tak hanya itu, publik juga khawatir jika keluarga
pelaku mengetahui hal ini. Padahal ada satu cara ampuh agar kekhawatiran
tersebut tidak terjadi, yakni jangan memperkosa! Setiap perbuatan selalu berpasangan
dengan konsekuensi, kan?
Kasus kekerasan seksual seolah hanya meng-highlight pelaku sebagai pihak yang dirugikan
dan butuh didukung. Publik pun lupa bahwa ada korban yang harus lebih
dikhawatirkan kesehatan mentalnya. Belum lagi dengan keluarganya.
Publik juga lupa tentang seberapa jauh perjalanan
korban hingga sampai pada tahap paling berani: speak-up. Tetapi lagi-lagi, publik selalu punya cara untuk
menyalahkan korban. Korban yang berani speak-up
pun disebut sebagai pembongkar keburukan orang lain.
Yup, sepertinya publik tidak cukup puas dengan memberi
apresiasi pada pelaku secara terang-terangan. Jurus kedua pun dikeluarkan, victim blaming. Dalam kasus kekerasan
seksual, hal ini pasti terjadi. Korban dianggap bersalah atas hal yang menimpa
dirinya. Akhirnya, pelakulah yang dianggap menjadi kambing hitam.
Pada akhirnya, permintaan maaf pelaku tidak berguna.
Publik tetap percaya pada pelaku dan menganggap korban hanya cari perhatian.
Sudah tidak mendapat dukungan publik, masih harus
kehabisan energi karena terus disalahkan. Lalu, kenapa tidak langsung ke jalur
hukum saja? Ada banyak alasan kenapa korban enggan melapor. Kasus kekerasan
seksual yang sudah lama terjadi akan kehilangan barang bukti. Barang bukti
hanya sebatas pengakuan pelaku dan kronologi yang diceritakan korban. Dua hal
itu tidak cukup untuk memenjarakan pelaku. Selama Rancangan Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) belum disahkan, korban akan selalu
menemui ketidakadilan.
Akhir dari kasus kekerasan seksual pun akan seragam:
permintaan maaf pelaku dan lalu korbanlah yang justru dianggap sebagai pelaku. Publik pun
masih belum juga paham bahwa kesehatan mental korban lah yang justru
dikhawatirkan. Pun juga tak paham bahwa yang lebih membutuhkan dukungan adalah
korban.
Namun memang tak semua publik berperilaku demikian.
Ada yang sudah memahami isu kekerasan seksual dan berperspektif korban. Tapi
itu tidak cukup. Bukan hanya publik yang berperspektif korban, saya rasa kita
semua juga membutuhkan media dan penegak hukum yang berperspektif korban. Tanpa
itu semua, kasus kekerasan seksual akan terus ada, bahkan meningkat.
Kasus-kasus yang muncul ke permukaan hanya
sebagian kecil dari beberapa kasus yang belum terlihat. Banyak korban yang
tidak berani melapor karena alasan tertentu. Jika victim blaming dan pemakluman terhadap tindakan pelaku terus ada, rape culture akan semakin berkuasa.
Maka, tidak akan ada ruang aman bagi korban, yang ada hanya pembiaran.
Jakarta 28 Maret 2020
Jakarta 28 Maret 2020
0 comments:
Post a Comment