Tuesday, 5 May 2020

Fenomena Kebebalan Baru: Pemberian Apresiasi pada Permintaan Maaf Pelaku Kekerasan Seksual

Publik seakan lupa tentang seberapa jauh perjalanan korban hingga sampai pada tahap paling berani: speak-up.

Apa yang salah dengan pemahaman perihal benar dan salah dalam kasus kekerasan seksual? Tindakan memperkosa saja sudah sangat salah, tetapi kenapa publik seolah tidak terima dengan kenyataan itu?

Pencarian kesalahan pun dimulai. Publik akan membombardir korban dengan pertanyaan yang memojokkan dan pernyataan yang tidak manusiawi. Publik akan mulai menjadi hakim yang tidak adil. Ya, di tengah banyaknya kasus kekerasan seksual yang menemui titik terang, masih ada penghakiman publik yang siap menjadi tameng sukarela bagi pelaku.

Korban-korban yang berani speak-up ini memberi tuntutan kepada pelaku. Salah satu tuntutan paling populer adalah menuntut permintaan maaf pelaku. Ketika tuntutan itu sampai ke meja makan pelaku, ia hanya memiliki dua pilihan: menyantap atau membuangnya ke tempat sampah. Kemudian, sebagian besar pelaku memilih menyantap tuntutan atas perilaku mesumnya.

Permintaan maaf pun dibuat. Entah melalui video atau hanya bermedia tulisan yang dipublikasikan ke akun media sosial pelaku. Sampai di sini, bukankah seharusnya publik paham bahwa permintaan maaf merupakan bentuk nyata adanya kekerasan seksual yang dilakukan pelaku?

Namun, alih-alih membuat publik paham akan adanya kejahatan yang dilakukan pelaku, justru hal sebaliknya terjadi. Publik mengapresiasi pelaku yang meminta maaf.
“Setiap orang memiliki masa lalu. Semangat! Mulai dari nol.”
“Keren! Gentlemen lo, Bro!”
“Ada orang yang merasa menjadi korban dan ingin membongkar keburukan orang lain. Terus berbenah dan perbaiki hubunganmu dengan pencipta.”
Dan beberapa kalimat ‘salut’ yang dilontarkan ke pelaku.

Apakah itu salah? Tentu.

Permintaan maaf pelaku muncul karena tuntutan dari korban yang telah berani mengungkap kisahnya. Otomatis, semua tindakan dan komentar dari unggahan permintaan maaf pelaku pun tak luput dari pantauan korban dan beberapa jaringan yang membantu korban. Otomatis lagi, komentar-komentar pemberian semangat untuk pelaku juga diketahui korban.

Beberapa kasus kekerasan seksual terjadi di ranah privat, yakni korban dan pelaku memiliki hubungan dekat, entah itu relasi privat atau circle pertemanan yang sama. Itu artinya, dukungan untuk pelaku datang dari orang-orang terdekat yang juga mengenal korban. Hal yang sangat menyakitkan untuk korban.

Silakan menjadi bebal dengan memaklumi perilaku mesum pelaku, tetapi utarakan secara tertutup.

Fenomena ini seolah mengungkap kekhawatiran publik perihal kesehatan mental pelaku. Tak hanya itu, publik juga khawatir jika keluarga pelaku mengetahui hal ini. Padahal ada satu cara ampuh agar kekhawatiran tersebut tidak terjadi, yakni jangan memperkosa! Setiap perbuatan selalu berpasangan dengan konsekuensi, kan?

Kasus kekerasan seksual seolah hanya meng-highlight pelaku sebagai pihak yang dirugikan dan butuh didukung. Publik pun lupa bahwa ada korban yang harus lebih dikhawatirkan kesehatan mentalnya. Belum lagi dengan keluarganya.

Publik juga lupa tentang seberapa jauh perjalanan korban hingga sampai pada tahap paling berani: speak-up. Tetapi lagi-lagi, publik selalu punya cara untuk menyalahkan korban. Korban yang berani speak-up pun disebut sebagai pembongkar keburukan orang lain.

Yup, sepertinya publik tidak cukup puas dengan memberi apresiasi pada pelaku secara terang-terangan. Jurus kedua pun dikeluarkan, victim blaming. Dalam kasus kekerasan seksual, hal ini pasti terjadi. Korban dianggap bersalah atas hal yang menimpa dirinya. Akhirnya, pelakulah yang dianggap menjadi kambing hitam.

Pada akhirnya, permintaan maaf pelaku tidak berguna. Publik tetap percaya pada pelaku dan menganggap korban hanya cari perhatian.

Sudah tidak mendapat dukungan publik, masih harus kehabisan energi karena terus disalahkan. Lalu, kenapa tidak langsung ke jalur hukum saja? Ada banyak alasan kenapa korban enggan melapor. Kasus kekerasan seksual yang sudah lama terjadi akan kehilangan barang bukti. Barang bukti hanya sebatas pengakuan pelaku dan kronologi yang diceritakan korban. Dua hal itu tidak cukup untuk memenjarakan pelaku. Selama Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) belum disahkan, korban akan selalu menemui ketidakadilan.

Akhir dari kasus kekerasan seksual pun akan seragam: permintaan maaf pelaku dan lalu korbanlah yang justru dianggap sebagai pelaku. Publik pun masih belum juga paham bahwa kesehatan mental korban lah yang justru dikhawatirkan. Pun juga tak paham bahwa yang lebih membutuhkan dukungan adalah korban.

Namun memang tak semua publik berperilaku demikian. Ada yang sudah memahami isu kekerasan seksual dan berperspektif korban. Tapi itu tidak cukup. Bukan hanya publik yang berperspektif korban, saya rasa kita semua juga membutuhkan media dan penegak hukum yang berperspektif korban. Tanpa itu semua, kasus kekerasan seksual akan terus ada, bahkan meningkat.

Kasus-kasus yang muncul ke permukaan hanya sebagian kecil dari beberapa kasus yang belum terlihat. Banyak korban yang tidak berani melapor karena alasan tertentu. Jika victim blaming dan pemakluman terhadap tindakan pelaku terus ada, rape culture akan semakin berkuasa. Maka, tidak akan ada ruang aman bagi korban, yang ada hanya pembiaran.



Jakarta 28 Maret 2020
Share:

0 comments: