Senin pertama November.
Baru kali ini aku mendapat surat cinta di jaman yang
bahkan orang hampir lupa bahwa kantor pos masih ada. Tak hanya lembaran kertas
dengan kalimat rindu yang memabukkan, namun kau sertakan jiwamu ke dalam amplop
dan berbaur dengan kertas seadanya.
Membaca suratmu seperti sedang membaca rindu yang
mengepungmu. Tak ada jalan bagimu untuk sembunyi. Tak ada jalan bagimu untuk
keluar dari arena. Skak mat. Tak ada yang bisa melindungimu.
Aku takut kau mati dalam kerinduan. Tetapi, rindu
tak sekejam nasi, air, dan cemilan lain yang mampu membunuh dalam kehampaan
kurang dari 45 hari. Rinduku dan rindumu seperti air dari selang yang mampu
merawat tanaman bonsai bapakku. Rinduku dan rindumu menjelma menjadi batu-batu
karang yang disulap menjadi pot bonsai antik oleh bapakku —yang terkadang beralih fungsi menjadi tempat tidur
kucingku. Melihat bapakku seperti melihat kamu dalam kemasan yang ‘sedikit’
berbeda. Ah, rinduku meluber kemana-mana.
Senin pertama November.
Aku yang baru selesai mandi dan masih wangi,
menerima sepucuk surat terbungkus amplop coklat yang kukira gaji liputan. Aku
tadinya bahagia, tetapi setelah tahu itu bukan gaji dan ternyata surat rindu
darimu —yang sedang berjarak sekitar lima hingga enam jam
dariku, aku lebih bahagia.
Kau mencicil rindu. Kini giliranku.
Aku diburu rindu. Diserbu hingga beku...
November 2016
Kulepas kau di
ujung gang. Kunanti kau di ujung gerbang.
0 comments:
Post a Comment