Tuesday, 22 November 2016

203 #20



Senin pertama November. 

Baru kali ini aku mendapat surat cinta di jaman yang bahkan orang hampir lupa bahwa kantor pos masih ada. Tak hanya lembaran kertas dengan kalimat rindu yang memabukkan, namun kau sertakan jiwamu ke dalam amplop dan berbaur dengan kertas seadanya.

Membaca suratmu seperti sedang membaca rindu yang mengepungmu. Tak ada jalan bagimu untuk sembunyi. Tak ada jalan bagimu untuk keluar dari arena. Skak mat. Tak ada yang bisa melindungimu. 

Aku takut kau mati dalam kerinduan. Tetapi, rindu tak sekejam nasi, air, dan cemilan lain yang mampu membunuh dalam kehampaan kurang dari 45 hari. Rinduku dan rindumu seperti air dari selang yang mampu merawat tanaman bonsai bapakku. Rinduku dan rindumu menjelma menjadi batu-batu karang yang disulap menjadi pot bonsai antik oleh bapakku yang terkadang beralih fungsi menjadi tempat tidur kucingku. Melihat bapakku seperti melihat kamu dalam kemasan yang ‘sedikit’ berbeda. Ah, rinduku meluber kemana-mana.

Senin pertama November.

Aku yang baru selesai mandi dan masih wangi, menerima sepucuk surat terbungkus amplop coklat yang kukira gaji liputan. Aku tadinya bahagia, tetapi setelah tahu itu bukan gaji dan ternyata surat rindu darimu yang sedang berjarak sekitar lima hingga enam jam dariku, aku lebih bahagia.

Kau mencicil rindu. Kini giliranku.


Aku diburu rindu. Diserbu hingga beku...

 
November 2016
Kulepas kau di ujung gang. Kunanti kau di ujung gerbang.
Share:

0 comments: