Wednesday 4 April 2018

203 #37


Aku menulis ini tatkala intro “Sampai Jadi Debu” milik Banda Neira mengalun.
Semoga, ketika kau membaca, gejolak di hatiku yang menujumu bisa kau tangkap tanpa meleset.

Ujung dari sebuah ikatan adalah aku, kau, beserta seluruh lapisan sosial yang mengelilingi kita. Keberanianmu membawa jiwa-jiwa mengetuk pintu rumahku, adalah hal yang sungguh mengharukan sekaligus mendebarkan.

Detik-detik percakapan yang tercipta adalah kidung asmara yang bukan hanya kau dan aku yang menyanyikan. Kau merengkuhku, aku mempereratmu.

“Selamanya, sampai kita tua, sampai jadi debu. Ku di liang yang satu, kau di sebelahku...,”

Ya, bagian ini kutulis ketika lirik itu mengalun.

Kita, adalah hati yang hanya dipisahkan sekian kilometer jarak. Semakin luas cakupan ikatan kita, semakin luas pula jarak yang menjembatani kau dan aku. Kau dan mimpi barumu di Ibukota, bukanlah suatu hal yang harus kutakuti. Aku bangga. Kau juga, aku tahu.

Sejauh kau rantau, akulah tempatmu pulang. Senyaman kau berada di rumah sewa, akulah rumah sebenar-benar rumah. Pulanglah ketika rindumu memuncak dan tak sanggup kau bendung. Tumpahkan padaku.


Semarang, April 2018
Kau langlang, aku tualang.
Sampai bertemu di ranjang.

Share:

203 #36

Tepi amben itu, tempat favoritmu bercumbu dengan cerutu dan kebisingan televisi yang merenggut jari-jemarimu. Tak ada yang bisa menggoda kekagumanmu pada gambar bergerak hasil gelombang teknologi yang tumbuh lebih cepat ketimbang usia manusia.

Memang tak ada.
Kecuali aku,
yang datang ke pangkuanmu dengan mengenakan kaus kebesaran tanpa celana jeans. Bra dan celana dalam hitam itu tak akan tampak sebab kausmu serupa gaun di tubuhku. Kurebut perhatianmu pada televisi tanpa membunuhnya.

Skor kita satu sama.
Kau punya cerutu, aku juga.
Kulingkarkan tangan di lehermu, sedang tanganmu di pinggangku. Lagi-lagi aku yang memulai. Sebab bibirmu lebih pantas kulumat tuntas ketimbang pantat cerutu yang tinggal sekali hisap. Sedang bibirmu, tak akan habis kusesap sesukaku.

Jari jemarimu adalah candu yang merobohkan. Menjelajah ke mahkota dan punggung zaman. Jejak-jejak bibirmu adalah kutukan berulang. Sesaplah jiwaku yang tak hanya satu. Rengkuh sukma yang tengah merona, mencari udara dalam sesak yang nikmat.
Kaulah, kuntum bunga yang mekar di jendela kamar tiap fajar.

Desah desih itu,
adalah puncak yang menenangkan,
Lenguh, Uh!
Biar aku sandar padamu
Detak Jam dinding
Bising Televisi
Hembus nafas
Lirih alunan Birdy
Denyut nadi
Utuh
Sela jari jemarimu adalah tempatku bermanja.


Maret 2018
Sayang, jiwaku letup kaukecup.




Share:

203 #35

[Verse 1]
Dua tangan terkatung ingin memeluk
tubuh yang digilas hidup yang buas
Meraih yang ringkih
Merengkuh membuat utuh
Digapai penuh kayuh

[Verse 2]
Tubuh itu datang dengan kasih sayang
Diombang dan ambing zaman
kejam nan muram
Maka sampailah
Ombang-ambing, katung-katung
Tak lagi karu, lalu...

[Reff]
Akulah fajar yang muram
Sembunyi di punggung mendung
Tak ingin manusia puji
Sebab tumbuh dan tenggelam ialah milik mendung, kau

[Verse 3]
Menjadi penopang yang utuh dan sungguh
Entah pagi pun petang tak pernah rapuh
Kau menanti aku
Menjadi tameng yang kokoh
Akulah sang beruntung

[Bridge]
Tetaplah menjadi mega
entah putih, abu, pun jingga.



Semarang, Februari 2018
Seindah kata,
akan lebih sempurna bersama nada.
Share: