Tepi amben itu, tempat favoritmu bercumbu dengan cerutu dan kebisingan televisi yang merenggut jari-jemarimu. Tak ada yang bisa menggoda kekagumanmu pada gambar bergerak hasil gelombang teknologi yang tumbuh lebih cepat ketimbang usia manusia.
Memang tak ada.
Kecuali aku,
yang datang ke pangkuanmu dengan mengenakan kaus kebesaran tanpa celana jeans. Bra dan celana dalam hitam itu tak akan tampak sebab kausmu serupa gaun di tubuhku. Kurebut perhatianmu pada televisi tanpa membunuhnya.
Skor kita satu sama.
Kau punya cerutu, aku juga.
Kulingkarkan tangan di lehermu, sedang tanganmu di pinggangku. Lagi-lagi aku yang memulai. Sebab bibirmu lebih pantas kulumat tuntas ketimbang pantat cerutu yang tinggal sekali hisap. Sedang bibirmu, tak akan habis kusesap sesukaku.
Jari jemarimu adalah candu yang merobohkan. Menjelajah ke mahkota dan punggung zaman. Jejak-jejak bibirmu adalah kutukan berulang. Sesaplah jiwaku yang tak hanya satu. Rengkuh sukma yang tengah merona, mencari udara dalam sesak yang nikmat.
Kaulah, kuntum bunga yang mekar di jendela kamar tiap fajar.
Desah desih itu,
adalah puncak yang menenangkan,
Lenguh, Uh!
Biar aku sandar padamu
Detak Jam dinding
Bising Televisi
Hembus nafas
Lirih alunan Birdy
Denyut nadi
Utuh
Sela jari jemarimu adalah tempatku bermanja.
Maret 2018
Sayang, jiwaku letup kaukecup.
0 comments:
Post a Comment