“Tentang
ia yang dekat namun terasa jauh. Dan tentang ia yang jauh namun terasa dekat…”
Dibalik
jendela ini aku merenung. Aku tahu ini masih terlalu pagi untuk sebuah lamunan
yang sama setiap harinya. Dan suara burung-burung itu terlalu sayang untuk di
abaikan. Tapi inilah kenyataannya. Aku membuka mata, membuka gorden dan
kemudian duduk di sana. Meski cuaca berganti, rintik dan suara burung
bergantian menghampiri, bunga mekar dan daun gugur datang bergantian seakan
pasrah akan musim yang mengendalikan mereka, dan buku –teman lamunanku- yang berganti setiap aku khatam membacanya.
Semuanya berganti. Hanya aku, hanya lamunanku yang tetap sama. Tak pernah
berganti sedikitpun.
Tentang ia
yang dekat namun terasa jauh. Dan tentang ia yang jauh namun terasa dekat.
“Aku besok pulang.
Kamu nggak ada
janji, kan, sama Surya?”
Pesan
singkatnya. Dua kali ia mengirimkan pesan yang sama.
“Nggak ada, Wang. Cepat pulang ya…” balasku.
Awang. Aku
mengenalnya enam tahun lalu, saat Masa
Orientasi Sekolah di
SMA. Saat itu ia membelaku habis-habisan ketika seorang senior memarahiku
karena aku terlambat.
“Bukankah di sekolah
ini kalau terlambat dalam waktu kurang dari 5 menit masih bisa di tolerir?
Sedangkan….” Ia melambatkan bicaranya, kemudian membaca papan nama yang
ku gantungkan besar-besar di leher, “Sedangkan
Kidung hanya terlambat 3 menit.”
Katanya lantang.
Berani sekali
dia, pikirku.
“Bahkan kamu masih
harus menoleh ke arahnya untuk sekedar tahu namanya.”
Gila. Ia sudah
gila.
“Kalian berdua.
Silakan menuju lapangan, dan hormat ke bendera. Sekarang!”
Ah. Sial!
Tapi
setidaknya aku tak menahan malu sendirian karena hukuman.
“Namamu Awang ya?
Kenapa berani sekali? Namaku…”
“Aku tahu namamu
Kidung.” Sambarnya cepat.
Kemudian menjabat tanganku. Kami tertawa.
Aku pura-pura,
awalnya. Hingga sekarang aku lupa bahwa aku sedang berpura-pura. Aku tak
berniat untuk menyeretnya sedalam ini. Aku hanya ingin meletakkannya sementara
di tempat ini. Namun caraku salah. Justru aku yang sekarang tak ingin ia pergi,
meski tempat ini telah dimiliki.
Kring….
Suara telfon
itu membuyarkan lamunanku. Kupencet tombol hijau itu.
“Selamat pagi, Kidung.
Satu jam lagi aku nyampe, ya…”
suara dari seberang.
“Iya..” jawabku
seadanya, singkat. Kemudian menutup telfon dan mulai bersiap diri.
***
“Susunya
diminum dulu, Nduk..” sapa
wanita paruh baya, kemudian meletakkan segelas susu coklat dengan seporsi roti disebelahnya. Di meja riasku. Oh, Tuhan… “Biar
kerjanya enak.” Lanjutnya.
“Ibuk, Kidung bisa
ambil sendiri kok”
“Kamu daritadi Ibuk
lihat itu sibuuuukkk terus. Jadi mungkin ndak sempet
ambil susu sama sarapan kamu.”
“Sanggup kok, Buk..”
“Ibuk buat roti, nanti
bawa sedikit buat Surya. Walaupun yang buat bukan kamu tapi yang ini juga ndak kalah
enak.”
“Ibuk bisa aja. Iya
nanti Kidung bawa.”
“Udah Ibuk siapin, di
meja. Yowes, ndang diminum
susunya, dimakan rotinya.”
“Iya, Buk..”
Aku menatap ke
arahnya. Menangkap bayangannya. Menandang hingga punggungnya menghilang di
balik pintu.
***
“Hmmm. Rotinya enak.
Tapi enaknya beda. Bukan kamu, kan, yang buat?”
“Kan aku nggak
bilang aku.”
“Hahaha. Iya,
Ibuk kan yang buat? Becanda Kidung, sayang…”
Aku tersenyum.
Aku selalu
suka tawanya. Bukan tawa palsu.tapi tawa dari hati. Begitu juga cintanya. Bukan
cinta palsu. Tapi cinta dari hati. Aku bisa merasakannya. Tapi kenapa aku tak
demikian? Cintaku bukan hanya untuknya. Ada penyelinap lain.
Perlahan masuk
saat hatiku lengah. Sedikit semi sedikit menyisipkan diri saat hatiku jengah.
Mengendap lancang saat hatiku goyah. Tapi entah kenapa aku tak melawan, tak
berpegangan. Aku malah mengijinkannya. Awang.
“Ah!” aku tersadar sendiri,
“Kamu kenapa,
Kidung?”
“Nggak apa-apa, kok..”
“Yakin?”
Aku hanya
tersenyum, kemudian mengangguk mantap.
“Okedeh.”
***
04.50
AM
Hari ini Awang
pulang.
Aku senang.
Senang sekali.
Terakhir
pertemuanku dengannya sekitar 8 bulan yang lalu. Ia menemaniku ke sebuah
perpustakaan daerah, dan aku membelikannya sekaleng kopi instant. Itu saja.
Tapi rasa-rasanya lebih berkesan daripada makan di restoran.
Kami berbicara
banyak. Bicara tentang hari itu bukan
tentang aku dan dia, tentang aku dan Surya, atau tentang aku dan dia dulu.
Karena bagiku dan Awang hubungan ini tak tahu akan sampai mana. Kita hanya
menikmati hari ini. Bukan kemarin atau nanti.
16.28
PM
Aku
menyeruput cappuccino hangat yang disajikan, tanganku terus membolak balik
majalah yang sedari tadi tak kubaca. Aku bahkan tak tau judulnya. Tadi asal
ambil saja untuk mengatasi kekikukkan ku. Sementara di depanku cowok
berkecamata itu belum menyentuh teh panasnya sama sekali. Aku heran tumben
tumbennan dia yang penggemar kopi itu memesan teh. Aku tak berani
mengganggunya. Ia terlihat serius menekuni bacaannya.
45
menit berlalu.
Selama
itupun tak ada percakapan diantara kami, cangkir putihku telah kosong,
menyisakan sedikit warna kecoklatan di dalamnya. Namun cangkir putih di depanku
masih penuh dengan warna merah pekat namun sudah tak ada kepulan asap disana.
Pemiliknya masih tetap dengan posisi duduknya 45 menit lalu. Ia hanya sesekali
membetulkan letak kaca matanya. Akupun mulai kesal.
“Wang….” ujarku mebuyarkan kesunyian ini.
“hmmm…. “ gumamnya tanpa menatapku.
“Kamu
kenapa sih?”
“Nggak
ada apa apa kok.”
“Terus
kenapa dari tadi kamu cuma diem aja, nggak kayak biasanya”
“Nggak… aku cuma pengen baca aja.. mumpung
lagi di kafe buku kayak gini kan.. enak suasananya buat baca”
“Lah
terus ini kamu jauh jauh datang dari kotamu nemuin aku terus udah ketemu cuma
diem dieman gini…
Ndak ngobrol
apapun… katanya
kangen udah 8 bulan nggak ketemu.. “
aku mulai bicara dengan nada kesal.
Ia
menutup bukunya, meletakkan di atas meja dan kemudian menyeruput teh yang aku
yakin sudah tidak ada lagi kehangatan di setiap tegukannya.
“Yowis..
kamu sekarang maunya apa barbieku..? Kan kamu sendiri yang minta ketemuan di café buku ini. Aku kira ya kamu mau baca
buku”
“Berburu senja
yuk” ide itu
terlintas begitu saja.
“Boleh” ia sumringah.
***
Kami
bergerak menuju arah utara kota, tempat dimana melihat sunset terbaik di
Kotaku. Sebuah pantai kecil yang pinggirannya sudah di pondasi agar air laut
tak mengikis badan jalan. Sudah tak
alami memang, namun ini menjadi tempat favorit anak muda di kotaku menunggu
matahari di caplok pekatnya malam. Hanya 20 menit dengan menggunakan vespa
milik Awang kami sudah sampai disana. Kami sengaja memilih spot yang agak sepi.
Yah kami berdua memang kurang begitu menyukai keramaian.
Begitu
turun dari motor Awang langsung memainkan Kamera DSLR-nya.Memotret senja yang
hampir ditelan laut dan langit, memotret sebuah kapal motor nelayan yang pulang
melaut, bahkan memotretku yang tengah asyik menatap senja. Ia beberapa kali
memotretku bak model, aku sampe risih dilihat orang orang sekitar.
“Wang…. cukup cukup,, nanti memorimu penuh
dengan muka mukaku saja”
“Kalau
tak simpen di memori otakku nggak akan pernah penuh kok”
“
Halah,,, uwes –uwes ora usah
ngegombal, ora pantes blas”
Awang kemudian melepaskan kamera dari pegangan
tangannya
“Dung,
ada yang pengen aku omongin sebenarnya”
“Ya
tinggal ngomong aja toh Wang. Ada apa toh, kok kayaknya serius banget”
“Dung
…. Kita sudah
menjalani hubungan ini 3 tahun 8 bulan lamanya. Selama ini pun hati kita
fine-fine aja.. Tapi kayaknya nggak bisa begini terus terusan. Kamu harus milih
antara aku atau Surya”
Deg….. aku tak pernah membayangkan ini ..
Aku tak pernah siap menerima pertanyaan seperti ini…Bagiku
Surya dan Awang hadir bukan untuk dipilih…Aku cinta Surya…. Tapi sepotong hatiku pun diisi oleh
Awang… Awang yang
jauh namun begitu care dengan kondisiku, yang selalu
mengingatkan jadwal makanku, yang selalu tahu segala masalah masalahku. Atau
Surya, pria yang selalu mebuat kupu-kupu menari dalam perutku, yang selalu
membuat degup jantungku seperti kuda dalam lomba pacuan saat bersamanya. Ah
Tuhan… Mengapa
mereka harus kau kirimkan disaat bersamaan.
“Dung… Kenapa kamu malah melamun…”
“
Eeeeee….”
Kriiiiiingggggg…
Belum
sempat aku menyelesaikan kata kataku
sebuah panggilan masuk di handphoneku. Surya….. Itulah nama yang terpampang di
tampilan handphone-ku. Aku tak berani mengangkat, Aku
menatap Awang.
“
Siapa ? Surya ya ? angkat aja. Aku gak apa apa kok”
Aku
mengangkatnya dengan sedikit keraguan
“
Ha---lloo,, i--ya Surya ada apa ?”
aku sedikit terbata bata mengucapkannya.
“loh
kamu kenapa sayang? Kamu ada dimana sekarang?”
“Nggak..
nggak apa apa kok.. A.,,aku di rumah sama ibuk”
“Oh… aku Cuma mau ngingetin jangan lupa
shalat magrib ya.. Aku lagi di jalan nih baru pulang dari rumah Bude”
“
Kalau gitu hati hati yah.. kamu jangan
nyetir sambil nelpon”
“Iya
iya sayang, Ya udah.. Salam buat Ibuk..
Assalamualaikum”
“Walaikumsalam”
Percakapan singkat itu pun berakhir.
“Kenapa
kamu mesti bohong” ujar Awang.
“Nggak,
nggak mungkin aku bilang ke dia kalau aku sama kamu.. Aku belum siap wang”
Aku
baru hendak memasukkan kembali handphone
ke dalam tas, ketika
Terios Silver berhenti tepat di depan kami. Surya turun dari mobil dengan membanting pintu. Aku
terbelalak kaget. Aku tak menyangka kalau jalan yang dilewati surya adalah
jalan tepat kami berada.
“
Kidung…… apa apaan ini….?? Katanya kamu dirumah…terus ini sapa..??”.
Kemarahan jelas terpancar dari wajah Surya dan nada
suaranya. Namun aku hanya diam menunduk.
“
Awang, pacar Kidung”
Awang memperkenalkan dirinya kepada surya.
Duarrrrrr…… ingin rasanya aku ditelan oleh bumi
saat itu juga.,, Kenapa juga Awang harus menambahkan embel – embel “pacar kidung” dibelakangnya. Tapi itu bukan salah
Awang, itu salahku.. Ya semua ini salahku.
Tanpa
berbasa basi Surya menarikku, membukakan pintu mobil dan menyuruhku masuk. Aku
hanya bisa menuruti perintah Surya dan hanya bisa melhat Awang mematung
membelakangi senja..Bagi Awang yang selalu mencintai senja , ini akan menjadi
salah satu senja terburuk dalam hidupnya, pikirku.. Tak terasa bulir air mataku jatuh.
***
“Empat tahun aku menetapkan hati. Memantapkan Nurani. Menyata-kan sebuah imaji pada
satu hati. Entah, sebelah mana letak salahku, atau kekeliruan sikapku yang tak
lagi membuatmu nyaman hanya pada satu lelaki…” Tatapannya kosong. Pilu. Sendu.
Sementara
itu, diseberang dimana lelaki itu menatap kosong tampak seorang wanita,
menunduk. Aku.
Aku
dan dosaku membisu. Rasa rasanya semua kesalahan menumpuk jadi satu dikepalaku,
hingga membuatku susah mendongak, menengadahkan wajah untuk melihat wajah di
depanku. Mata yang tulus, mata yang tak berdosa namun harus menanggung luka.
Mata yang selalu menatapku penuh rindu namun kini sendu. Mata yang selalu
tampak cinta namun kini merana.
“
Aku pengen tahu, aku atau dia yang …”
“Kamu”. Belum sempat ia melanjutkan
pertanyaanya aku sudah menyambarnya.
“Aku
belum selesai.” Jawabnya
tegas.
“
Aku pilih kamu, Surya…”
“Kidung,
disini bukan tentang memilih atau dipilh. Aku bukan sesuatu yang harus kamu
pilih, aku adalah sesuatu yang seharusnya kamu pertahanakan”.
“Surya….” Rengekku.
Aku
meraih tangannya. Ia tak menolak, hanya.. perlahan menarik tangannya. Itu
artinya ia menolak sentuhanku.
“Maaf…” Kataku pelan.
Aku
melihatnya tersenyum, tapi tak melihat melihat matanya mengguratkan senyum.
Getir.
“
Aku terserah kamu. Tentang kamu sama Awang itu urusan kamu. Tentang kamu sama
aku? Itu terserah kamu juga.”
Aku terdiam.
“Aku
nggak mau maksa. Kalau hati kamu emang nggak buat aku, aku terima. Ikhlas.
Kalau kata ibu kamu ; legowo”.
Bisa bisanya ia masih tersenyum.
“Kalau
aku masih pengen sama kamu, apa aku egois?” akhirnya aku bisa bicara dengan
lancar.
“
Kamu nggak egois, hanya saja aku butuh
waktu untuk itu….
*****
5
tahun Kemudian
“Zaskia ayo
salam sama Om Awang”…
ujarku sambil setengah membujuknya yang tidak mau turun dari kursinya.
“Zaskia mau
calim tapi halus ada kadonya dulu” ujarnya dengan logat khas anak anaknya
“Iya Zaskia..
Ini Om Awang bawain kado kok. Zaskia pasti suka deh..”
“Makacih om..” ia kemudian menyalimi Awang dan
mendaratkan ciuman di kedua pipi Awang.
“ Surya mana ?”
“ Oh dia lagi
ke kamar kecil sebentar”
Tak lama Surya
pun datang dan bergabung bersama mereka.
“ Hey… Awang.. waduh makin sukses aja
kayaknya nih…Makasih ya
udah datang ke ulang tahun zaskia”.
Sapa surya.
“ Waduh biasa
aja Sur, saya gag ada apa-apanya dibandingin kamu..Sekalian ini mau nyerahin
ini untuk kalian”
Awang
memberikan sebuah undangan berwarna biru. Tertera dengan jelas namanya dan nama
seorang wanita disana. Ia akan melangsungkan pernikahan tepat di hari ulang
tahunnya minggu depan, yang berarti ulang tahun perkawinanku bersama Surya yang
ketiga.
Penulis: Resla & Chalriz
Semarang
–Kendari, 29
Maret 2013.
0 comments:
Post a Comment