Wednesday, 31 July 2013

[Cerpen] Potret Rasa


Gadis itu masih disana. Menatap lurus di hamparan jauh, bening, dan biru. Indah, tak terkira indahnya. Inilah yang selalu kutunggu, pagi-siang-sore-malam.

                “Cekrik!”

                Aku mulai memotretnya.

                Ia object abadi yang selalu kunanti. Tak peduli dari pagi higga pagi lagi.

                “Kinar!” seorang laki-laki dari arah jam dua dari tempatku berdiri sekarang memangilnya. Kulihat Kinar tersenyum pada lelaki itu lalu melambaikan tangannya. Mereka semakin dekat, kemudian saling berbincang. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi ini pasti akan lama. Ah, sial.

                “Peng-gang-gu,”

                Kataku pelan menuju ke tempatku duduk tadi, menatap mereka yang sedang asyik berbincang. Kutengguk sisa tengguk kopiku sambil melihat-lihat hasil jepretanku hari ini.

                “Hanya dapat satu foto Kinar, dan…” aku mengernyitkan dahi, menatap bingung pada beberapa hasil jepretanku yang lainnya, “mana mungkin bisa?”


* * *

Masih sangat pagi. Di tempat yang sama, kopi yang sama, kamera yang sama, dan menunggu object yang sama. Kinar.

Kinar. Sinarmu tak pernah kehilangan bingar. Hingar diantara yang paling hingar. Aku beruntung bisa menemukanmu ditengah-tengah sinar. Kamu terang. Sangat terang.

Aku tersenyum sendiri. Sampai akhirnya senyumku harus terhenti oleh tepukan mengagetkan dipundakku.

Aku menoleh. Kaget.

“Apa yang kamu cari dari aku?” katanya pelan.

“M….ma…mau duduk? Biar kupesankan minum.” Aku gugup. Bodoh sekali.

“Apa yang kamu cari dari aku?” tanpa menggubris pertanyaanku ia mengulangi peranyaannya.

“Sebuah peremanan,” jawabku kacau.

Ia mengernyitkan dahi.

“Aku Abi,” aku sudah lebih pede, kali ini plus dengan senyum terlebarku.

Aku mengulurkan tangan.

“Kinar,” singkat.

“Duduk?”

“Boleh,”

“Mau kopi?”

“Boleh,”

Ya Tuhan…. Ia terlalu singkat dan aku terlalu gugup.

“Silakan. Aku yang traktir,” dengan senyum termanisku aku meletakkan secangkir cappuccino dihadapannya.

“Thanks,” kali ini ia tersenyum, “Enak” lanjutnya setelah menyeruput seper-empat isi cangkir tersebut.

“Disini menu yang paling disukai sama pengunjung itu kopinya. Kopi apa saja. Makanya aku sering kesini,”

Ia hanya anggut-manggut.

Kembali hening.

Aku sibuk melihat-lihat hasil jepretanku kemarin untuk menghilangkan rasa grogi.

“Sudah berapa banyak?”

“Hm?” aku mengangkat wajah.

“Fotoku…”

“Oh…”

Matilah aku.

“Berapa?”

“Mau lihat?”

“Boleh..” katanya girang.

“Kamu penggemarku, ya?”

Aku diam.

“Hahahaha, becanda tauk, Bi.”

Ia menyeruput kopinya, kali ini lebih banyak, mungkin sisa seper-empat gelas.

“Fotonya bagus. Kamu fotografer?” lanjutnya.

Aku menggeleng.

“Amatir?”

Aku menggeleng lebih keras.

“Profesional, dong?”

Aku menggeleng lebih keras lagi. Kepalaku sakit.

“Tenang saja, Abi. Santai saja. Aku suka, kok, hasil foto kamu.”

“Kapan-kapan mau aku foto? Tapi nggak candid.”

“Tentu saja.”

Ia tersenyum. Aku menyeruput kopiku.

* * *

“Hai, Abi! Gimana?” katanya riang sambil berputar dihadapanku, memamerkan pakaiannya.

“Cantik,” kataku mantap, “Sangat cantik,” lanjutku dalam hati.

“Berangkat sekarang, Nar?” suara sedikit berat itu mengagetkanku, familiar. Oh, dia…. Ha? Dia? Kok bisa ada dirumah Kinar?

“Iya. Nih kenalin temen aku, namanya Abi. Abi ini Binar.”

“Hai,” kami berjabat angan. So sweet.

Bye, Binar.”

Di perjalanan, Kinar asyik dengan gadgetnya sedangkat aku asyik menyetir.

“Kring…!”

“Halo…?”

“Iya, lagi sama Abi. Sama Abi doing, kok. Berdua.”

“Iyaiya, bye..”

Kinar menutup telfonnya.

“Siapa, Nar?”

“Binar. Emang suka protective.

“Ohhh… pacar kamu, ya? Udah deket banget sama keluarga kamu kayaknya. Tuh, tadi, pagi-pagi udah dirumah kamu.”

“Hahaha. Bukan. Kakak aku. Sebenarnya, sih, kembar. Makanya nama kita juga hampir sama.”

“Saudara kembar?”

“Iya. Dia kakaknya, aku adiknya.”

“Oh…”

Lega.

“oh, iya. Dapat salam tadi dari Binar.”

Aku tersenyum.

* * *

Kembali ke pantai ini. Dengan secangkir kopi dan aktifitas monoton tentang Kinar. Aku kembali melihat-lihat hasil jepretanku dengan Kinar sebagai objectnya.

“Kinar… cantik, ceria, sederhana. Ini yang bikin aku jatuh cinta,” Kataku tersenyum.

“Abi? Jadi, kamu suka sama Kinar?”

“Bi..Binar… bukan…” aku gugup. Tak menyadari kalau sedari tadi Binar ada disekitarku.

“Kamu sudah gila?”

“Bukan… Bukan seperti itu,”

“Lalu apa?”

“Aku hanya senang menjadikannya object foto. Itu saja,”

“Aku masih muda dan aku belum tuli,”

“Tapi tuli bukan berdasarkan umur, Nar,”

“Jadi, menurutmu aku salah dengar?”

“Mungkin aku yang salah bicara,”

“Hati kamu yang salah,”

“Hati tak pernah salah,”

“Kamu mencintai Kinar,”

“Tidak,”

“Bohong,”

“Iya,”

Kami berdua terdiam.

“Abigail, sadar…”

Aku terdiam.

“Kamu dan KInar, sama-sama perempuan,”

Aku menunduk. Ada gumpalan air yang memaksa ingin keluar. Getir.

Aku mundur dua langkah. Menatap kea rah lelaki tegap didepanku.

“Apa aku salah?” aku menangis. Pertanyaan bodoh.

“Abi….” Ia mendekat.

“Stop,”

“Abi, dengerin aku…”

“Bukan aku yang pengen, Nar. Bukan. Aku udah nyoba buat nolak. Tapi penolakanku sia-sia. Ada sekelumit rindu yang muncul jika aku ak melihatnya. Ada secercah duka jika aku tak melihat senyumnya. Aku tak pernah seperti ini sebelumnya.,” pipiku basah.

“Abi, mungkin ini buka cinta. Mungkin sejenis…kagum?”

“Kamu sendiri ragu, kan?”

“Aku bukan ragu, hanya bingung,”

Heh, sekarang kamu yang seperti kebakaran jenggot,” aku tersenyum kecut. Kecut sekali. Pikiranku sedang tak jernih. Marah kepada Binar, marah kepada diriku sendiri.

“Kamu nggak perlu nenangin aku,” lanjutku.

Aku melankah. Ketika hendak membereskan kamera dimejaku, Binar memelukku. Aku diam.

“Aku bisa yakinin ke kamu kalau itu Cuma −sekedar – rasa kagum,”

Heh, nggak perlu,” aku kembali menampakkan senyum kecutku dibalik pelukannya.

“Kasih aku waktu,”

“Lepasin,”

Ia melepaskan pelukannya. Aku membereskan kameraku, kemudian berlalu.

*  * *

“Abiiiiii, kamu kemana, sih?”

“Aku bikin salah, ya, Bi?”

“Abigail cantik, maafin Kinar, ya, kalau Kinar ada salah,”

Ih, nggak asyik semua, nih. Abi diem. Binary juga diem,”

Sudah empat hari aku tak keluar rumah. Berpuluh-puluh pesan dan telfon dari Kinar tak kugubris. Aku merasa bersalah. Tak seharusnya aku seperti ini.

“Kinar nyariin kamu. Katanya, kangen sama sahabat barunya,” dari BInar.

Aku tak acuh.

“Bigail, ada yang nyari kamu, tuh,”

“Siapa, Ma?”

“Cowok. Katanya namanya BInar. Pacar kamu, ya?”

“Bilangin aku tidur, atau ke pasar, atau kemana deh, Ma,”

“Eeeehhh…. Nggak boleh begitu. Setiap masalah itu harus dibicarakan baik-baik. Demi utuhnya suatu hubungan,”

“Mama ini apaan sih,”

“Dibilangin orang tua kok begitu. Sudah sana temuin,”

“Iyaiya…”

Tidak ada semangat untuk menuju ke ruang tamu. A-se-li!

“Abi…”

“Ngapain kesini?”

“Masih ingat omongan aku di pantai terakhir kali?”

“Yang mana?”

“Empat hari lalu,”

Aku berusaha mengingat.

“Aku bisa buktiin ke kamu kalau rasa kamu ke Kinar Cuma −sekedar− rasa kagum,” ia menjawab pertanyaannya sendiri.

“Oh…..”

“Dengerin aku,” katanya pelan.

“Rasa kagum,” ia menunjuk dadaku, “sama rasa cinta,” ia menunjuk dadanya, “itu beda tipis,”

Dahiku mengernyit.

“Ruang kagum dihati kamu sudah ditempati oleh Kinar. Tapi ruang lebih dalamnya lagi, ruang cinta, sudah ditempati oleh Binar,” lanjutnya.

“Ge-Er!”

Aku beranjak. Tapi ia menahanku.

“Eh, tunggu, aku belum selesai,” ia menarik tanganku.

“Kalau disini,” ia kembali menunjuk dadanya, “Ruang kagum sama ruang cintanya ditempati oleh orang yang sama, Abigail,”

Aku diam. Ia juga diam.

Nggak lucu!”

Kali ini aku benar-benar beranjak.

                                  * * *

“Abiiiiiiiii, banguuuunnnnnn!”

Suara Kinar.

“Kinar…. Pagi-pagi kok sudah disini, sih,

“Kamu, sih. Sms, telfon, dicuekin semua. Sombong,”

“Maaf, deh…

Nih, titipan dari Binar,”

“Ha?”

“Spesial buat Abigail penghuni hatinya, gitu katanya,”

Pelan-pelan kubuka kotak itu. Sepelan mungkin, aku tak ingin merusaknya. Ia sudah susah payah membuat semua ini sempurna.

Kotak dari kayu yang tak terlalu besar, lebih cantik dengan warna asli kayu yang masih coklat, ada beberapa ukiran kecil yang dibuat sendiri tapi sangat rapi. Hmmm, aku yakin ia punya bakat sebagai pengukir kayu, meski sedikit.

“Wow!” aku terpekik tertahan.

Kagum. Terpana. Terpikat. Beberapa kumpulan kertas kecil. Setiap lembarnya terdapat foto dengan beberapa catatan rapi. Amat sangat rapi. Pasti Binar telah menyiapkan ini sejak lama.

Lagi-lagi aku mengernyitkan dahi.

“Darimana dia dapat semua ini? Fotoku…. Semuanya candid,”

“tuh, ada kaset CD-nya,” celetuk Kinar.

Aku mengambilnya, dan memutarnya, membiarkan alunan lagu itu menemani tanganku yang mengambil setiap lembar yang membuat pagiku kagum.

Sambil membaca setiap kata-kata cantiknya, samar-samar terdengar alunan lagu manis, sepaket dengan kado dari Binar.

“Your hazel green tint eyes watching every move I make,
And thet feeling of doubt, it’s erased,
I’ll never feel alone again with you by my side,
You’re the one, and in you I confide…

And we have gone through good and bad times,
But your unconditional love was always on my mind,
You've been there from the start for me,
And your love's always been true as can be
I give my heart to you,
I give my heart, cause nothing can compare in this world to you..

And we have gone through good and bad times,
But your unconditional love was always on my mind,
You've been there from the start for me,
And your love's always been true as can be
I give my heart to you,
I give my heart, cause nothing can compare in this world to you..

I give my heart to you,
I give my heart, cause nothing can compare in this world to you…”

                “Binar….” mataku berkaca-kaca.


Penulis: Resla Aknaita Chak.
Semarang, 01 Agustus 2013

*petikan lagu Avenged Sevenfold - Warmness on The Soul.
Share:

0 comments: