Gadis itu masih disana. Menatap lurus di hamparan jauh,
bening, dan biru. Indah, tak terkira indahnya. Inilah yang selalu kutunggu,
pagi-siang-sore-malam.
“Cekrik!”
Aku
mulai memotretnya.
Ia object abadi yang selalu kunanti. Tak
peduli dari pagi higga pagi lagi.
“Kinar!”
seorang laki-laki dari arah jam dua dari tempatku berdiri sekarang memangilnya.
Kulihat Kinar tersenyum pada lelaki itu lalu melambaikan tangannya. Mereka
semakin dekat, kemudian saling berbincang. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan,
tapi ini pasti akan lama. Ah, sial.
“Peng-gang-gu,”
Kataku
pelan menuju ke tempatku duduk tadi, menatap mereka yang sedang asyik
berbincang. Kutengguk sisa tengguk kopiku sambil melihat-lihat hasil jepretanku
hari ini.
“Hanya
dapat satu foto Kinar, dan…” aku mengernyitkan dahi, menatap bingung pada
beberapa hasil jepretanku yang lainnya, “mana mungkin bisa?”
*
* *
Masih sangat pagi. Di tempat
yang sama, kopi yang sama, kamera yang sama, dan menunggu object yang sama. Kinar.
Kinar. Sinarmu tak pernah
kehilangan bingar. Hingar diantara yang paling hingar. Aku beruntung bisa
menemukanmu ditengah-tengah sinar. Kamu terang. Sangat terang.
Aku tersenyum sendiri. Sampai
akhirnya senyumku harus terhenti oleh tepukan mengagetkan dipundakku.
Aku menoleh. Kaget.
“Apa yang kamu cari dari aku?”
katanya pelan.
“M….ma…mau duduk? Biar
kupesankan minum.” Aku gugup. Bodoh sekali.
“Apa yang kamu cari dari aku?”
tanpa menggubris pertanyaanku ia mengulangi peranyaannya.
“Sebuah peremanan,” jawabku
kacau.
Ia mengernyitkan dahi.
“Aku Abi,” aku sudah lebih pede, kali ini plus dengan senyum terlebarku.
Aku mengulurkan tangan.
“Kinar,” singkat.
“Duduk?”
“Boleh,”
“Mau kopi?”
“Boleh,”
Ya Tuhan…. Ia terlalu singkat
dan aku terlalu gugup.
“Silakan. Aku yang traktir,” dengan
senyum termanisku aku meletakkan secangkir cappuccino
dihadapannya.
“Thanks,” kali ini ia tersenyum, “Enak” lanjutnya setelah
menyeruput seper-empat isi cangkir tersebut.
“Disini menu yang paling disukai
sama pengunjung itu kopinya. Kopi apa saja. Makanya aku sering kesini,”
Ia hanya anggut-manggut.
Kembali hening.
Aku sibuk melihat-lihat hasil
jepretanku kemarin untuk menghilangkan rasa grogi.
“Sudah berapa banyak?”
“Hm?” aku mengangkat wajah.
“Fotoku…”
“Oh…”
Matilah aku.
“Berapa?”
“Mau lihat?”
“Boleh..” katanya girang.
“Kamu penggemarku, ya?”
Aku diam.
“Hahahaha, becanda tauk, Bi.”
Ia menyeruput kopinya, kali ini
lebih banyak, mungkin sisa seper-empat gelas.
“Fotonya bagus. Kamu
fotografer?” lanjutnya.
Aku menggeleng.
“Amatir?”
Aku menggeleng lebih keras.
“Profesional, dong?”
Aku menggeleng lebih keras lagi.
Kepalaku sakit.
“Tenang saja, Abi. Santai saja.
Aku suka, kok, hasil foto kamu.”
“Kapan-kapan mau aku foto? Tapi
nggak candid.”
“Tentu saja.”
Ia tersenyum. Aku menyeruput
kopiku.
*
* *
“Hai, Abi!
Gimana?” katanya riang sambil berputar dihadapanku, memamerkan pakaiannya.
“Cantik,”
kataku mantap, “Sangat cantik,” lanjutku dalam hati.
“Berangkat sekarang, Nar?” suara
sedikit berat itu mengagetkanku, familiar.
Oh, dia…. Ha? Dia? Kok bisa ada dirumah Kinar?
“Iya. Nih kenalin temen aku, namanya Abi. Abi ini Binar.”
“Hai,” kami berjabat angan. So sweet.
“Bye, Binar.”
Di perjalanan, Kinar asyik
dengan gadgetnya sedangkat aku asyik
menyetir.
“Kring…!”
“Halo…?”
“Iya, lagi sama Abi. Sama Abi
doing, kok. Berdua.”
“Iyaiya, bye..”
Kinar menutup telfonnya.
“Siapa, Nar?”
“Binar. Emang suka protective.”
“Ohhh… pacar kamu, ya? Udah deket banget sama keluarga kamu kayaknya. Tuh, tadi, pagi-pagi udah
dirumah kamu.”
“Hahaha. Bukan. Kakak aku.
Sebenarnya, sih, kembar. Makanya nama
kita juga hampir sama.”
“Saudara kembar?”
“Iya. Dia kakaknya, aku adiknya.”
“Oh…”
Lega.
“oh, iya. Dapat salam tadi dari
Binar.”
Aku tersenyum.
*
* *
Kembali ke pantai ini. Dengan
secangkir kopi dan aktifitas monoton tentang Kinar. Aku kembali melihat-lihat
hasil jepretanku dengan Kinar sebagai objectnya.
“Kinar… cantik, ceria,
sederhana. Ini yang bikin aku jatuh cinta,” Kataku tersenyum.
“Abi? Jadi, kamu suka sama
Kinar?”
“Bi..Binar… bukan…” aku gugup.
Tak menyadari kalau sedari tadi Binar ada disekitarku.
“Kamu sudah gila?”
“Bukan… Bukan seperti itu,”
“Lalu apa?”
“Aku hanya senang menjadikannya
object foto. Itu saja,”
“Aku masih muda
dan aku belum tuli,”
“Tapi tuli bukan
berdasarkan umur, Nar,”
“Jadi, menurutmu
aku salah dengar?”
“Mungkin aku yang salah bicara,”
“Hati kamu yang salah,”
“Hati tak pernah salah,”
“Kamu mencintai Kinar,”
“Tidak,”
“Bohong,”
“Iya,”
Kami berdua terdiam.
“Abigail, sadar…”
Aku terdiam.
“Kamu dan KInar, sama-sama
perempuan,”
Aku menunduk. Ada gumpalan air
yang memaksa ingin keluar. Getir.
Aku mundur dua langkah. Menatap
kea rah lelaki tegap didepanku.
“Apa aku salah?” aku menangis.
Pertanyaan bodoh.
“Abi….” Ia mendekat.
“Stop,”
“Abi, dengerin aku…”
“Bukan aku yang pengen, Nar. Bukan.
Aku udah nyoba buat nolak. Tapi penolakanku sia-sia. Ada sekelumit rindu yang
muncul jika aku ak melihatnya. Ada secercah duka jika aku tak melihat
senyumnya. Aku tak pernah seperti ini sebelumnya.,” pipiku basah.
“Abi, mungkin ini buka cinta.
Mungkin sejenis…kagum?”
“Kamu sendiri ragu, kan?”
“Aku bukan ragu, hanya bingung,”
“Heh, sekarang kamu yang seperti kebakaran jenggot,” aku tersenyum
kecut. Kecut sekali. Pikiranku sedang tak jernih. Marah kepada Binar, marah
kepada diriku sendiri.
“Kamu nggak perlu nenangin
aku,” lanjutku.
Aku melankah. Ketika hendak
membereskan kamera dimejaku, Binar memelukku. Aku diam.
“Aku bisa yakinin ke kamu kalau
itu Cuma −sekedar – rasa kagum,”
“Heh, nggak perlu,” aku kembali menampakkan senyum kecutku dibalik
pelukannya.
“Kasih aku waktu,”
“Lepasin,”
Ia melepaskan pelukannya. Aku
membereskan kameraku, kemudian berlalu.
* * *
“Abiiiiii, kamu kemana, sih?”
“Aku bikin salah, ya, Bi?”
“Abigail cantik, maafin Kinar,
ya, kalau Kinar ada salah,”
“Ih, nggak asyik semua, nih.
Abi diem. Binary juga diem,”
Sudah empat
hari aku tak keluar rumah. Berpuluh-puluh pesan dan telfon dari Kinar tak
kugubris. Aku merasa bersalah. Tak seharusnya aku seperti ini.
“Kinar nyariin kamu. Katanya, kangen sama sahabat barunya,” dari BInar.
Aku tak acuh.
“Bigail, ada yang nyari kamu, tuh,”
“Siapa, Ma?”
“Cowok. Katanya namanya BInar.
Pacar kamu, ya?”
“Bilangin aku tidur, atau ke
pasar, atau kemana deh, Ma,”
“Eeeehhh…. Nggak boleh begitu.
Setiap masalah itu harus dibicarakan baik-baik. Demi utuhnya suatu hubungan,”
“Mama ini
apaan sih,”
“Dibilangin
orang tua kok begitu. Sudah sana temuin,”
“Iyaiya…”
Tidak ada
semangat untuk menuju ke ruang tamu. A-se-li!
“Abi…”
“Ngapain
kesini?”
“Masih
ingat omongan aku di pantai terakhir kali?”
“Yang
mana?”
“Empat
hari lalu,”
Aku
berusaha mengingat.
“Aku bisa
buktiin ke kamu kalau rasa kamu ke Kinar Cuma −sekedar− rasa kagum,” ia menjawab pertanyaannya sendiri.
“Oh…..”
“Dengerin aku,” katanya pelan.
“Rasa kagum,” ia menunjuk
dadaku, “sama rasa cinta,” ia menunjuk dadanya, “itu beda tipis,”
Dahiku mengernyit.
“Ruang kagum dihati kamu sudah
ditempati oleh Kinar. Tapi ruang lebih dalamnya lagi, ruang cinta, sudah
ditempati oleh Binar,” lanjutnya.
“Ge-Er!”
Aku beranjak. Tapi ia
menahanku.
“Eh, tunggu, aku belum
selesai,” ia menarik tanganku.
“Kalau disini,” ia kembali
menunjuk dadanya, “Ruang kagum sama ruang cintanya ditempati oleh orang yang
sama, Abigail,”
Aku diam. Ia juga diam.
“Nggak lucu!”
Kali ini aku benar-benar
beranjak.
* * *
“Abiiiiiiiii,
banguuuunnnnnn!”
Suara Kinar.
“Kinar…. Pagi-pagi
kok sudah disini, sih,”
“Kamu, sih. Sms, telfon, dicuekin semua. Sombong,”
“Maaf, deh…”
“Nih, titipan dari Binar,”
“Ha?”
“Spesial buat
Abigail penghuni hatinya, gitu katanya,”
Pelan-pelan
kubuka kotak itu. Sepelan mungkin, aku tak ingin merusaknya. Ia sudah susah
payah membuat semua ini sempurna.
Kotak dari kayu
yang tak terlalu besar, lebih cantik dengan warna asli kayu yang masih coklat,
ada beberapa ukiran kecil yang dibuat sendiri tapi sangat rapi. Hmmm, aku yakin
ia punya bakat sebagai pengukir kayu, meski sedikit.
“Wow!” aku
terpekik tertahan.
Kagum. Terpana. Terpikat.
Beberapa kumpulan kertas kecil. Setiap lembarnya terdapat foto dengan beberapa
catatan rapi. Amat sangat rapi. Pasti Binar telah menyiapkan ini sejak lama.
Lagi-lagi aku
mengernyitkan dahi.
“Darimana dia
dapat semua ini? Fotoku…. Semuanya candid,”
“tuh, ada kaset CD-nya,” celetuk Kinar.
Aku mengambilnya,
dan memutarnya, membiarkan alunan lagu itu menemani tanganku yang mengambil
setiap lembar yang membuat pagiku kagum.
Sambil membaca
setiap kata-kata cantiknya, samar-samar terdengar alunan lagu manis, sepaket
dengan kado dari Binar.
“Your
hazel green tint eyes watching every move I make,
And
thet feeling of doubt, it’s erased,
I’ll
never feel alone again with you by my side,
You’re
the one, and in you I confide…
And we have gone through good and bad times,
But your unconditional love was always on my mind,
You've been there from the start for me,
And your love's always been true as can be
I give my heart to you,
I give my heart, cause nothing can compare in this world to you..
And we have gone through good and bad times,
But your unconditional love was always on my mind,
You've been there from the start for me,
And your love's always been true as can be
I give my heart to you,
I give my heart, cause nothing can compare in this world to you..
And we have gone through good and bad times,
But your unconditional love was always on my mind,
You've been there from the start for me,
And your love's always been true as can be
I give my heart to you,
I give my heart, cause nothing can compare in this world to you..
But your unconditional love was always on my mind,
You've been there from the start for me,
And your love's always been true as can be
I give my heart to you,
I give my heart, cause nothing can compare in this world to you..
I give my heart to you,
I give my heart, cause nothing can compare in this world
to you…”
“Binar….” mataku berkaca-kaca.
Penulis: Resla Aknaita Chak.
Semarang, 01 Agustus 2013
*petikan lagu Avenged Sevenfold - Warmness on The Soul.
0 comments:
Post a Comment