Thursday, 19 November 2015

203 #8

Setiap denting telah memilih menitnya sendiri. Ia tak akan menghianati menit yang telah ia lilit. Dalam jangkauannya yang sesempit parit, ia tetap menyetia pada satu tanda untuknya berderit.
Aku selalu tahu itu.
Aku selalu meyakini itu.
Menjaganya dari piranha-piranha yang bukan hanya dari kalangan mahasiswa, tetapi juga dari kalangan pengajarnya. Mereka pikir mendapatkan perhatiannya semudah menawar kacang di pasar pagi buta. Coba saja kalau bisa. Kupastikan usaha mereka akan sia-sia saja.
And then I realize, I should be a territorial.
Ketika orang-orang di luar sana sedang sibuk berbelanja bahan makanan, aku sudah lebih dulu kenyang. Ketika orang-orang di luar sana sedang sibuk meracik bumbu masakan, aku justru sedang menikmati aroma makanan yang sudah sejak tadi kuhabiskan. Kurang bahagia apa lagi?
Sore tadi, sewaktu mendung menggantung. Ia bilang, “Suatu saat kamu akan benar-benar membenciku, Nok.”
“Membenci dalam jeritan, cakaran, keringat, aturan nafas, darah, air mata, rumah sakit, makhluk mungil, bahagia.”
Tolong, aku meleleh lagi.


Di atas awan  dalam dekapan, November 2015
Ia membuatku sadar bahwa ada situasi yang lebih inspiratif ketimbang malam hari dan pagi hari. Adalah ketika ia menerjemahkan hatinya lewat kata, entah saat fajar-terik-petang-gelap-hingga fajar lagi.
Dulu, aku hanya menginginkan seseorang yang mampu membawaku ke tempat di mana aku bisa menulis tanpa sekat.
Tetapi, Tuhan memang mahabaik.
Aku malah diberi-Nya seseorang yang tak hanya membawaku ke tempat yang tanpa sekat, namun juga seseorang yang sekaligus menjadi tempat itu sendiri.

Kini, tak perlu jauh-jauh mencari tempat untukku menulis puisi hingga berpuluh-puluh, tak perlu berpeluh untuk itu. Tempat itu sudah menjadi milikku sekarang hingga berabad-abad mendatang.

Share:

0 comments: