Setiap denting telah memilih menitnya
sendiri. Ia tak akan menghianati menit yang telah ia lilit. Dalam jangkauannya
yang sesempit parit, ia tetap menyetia pada satu tanda untuknya berderit.
Aku
selalu tahu itu.
Aku
selalu meyakini itu.
Menjaganya
dari piranha-piranha yang bukan
hanya dari kalangan mahasiswa, tetapi juga dari kalangan pengajarnya. Mereka pikir mendapatkan perhatiannya semudah
menawar kacang di pasar pagi buta. Coba saja kalau bisa. Kupastikan usaha
mereka akan sia-sia saja.
And
then I realize, I should be a territorial.
Ketika orang-orang di luar sana sedang
sibuk berbelanja bahan makanan, aku sudah lebih dulu kenyang. Ketika
orang-orang di luar sana sedang sibuk meracik bumbu masakan, aku justru sedang
menikmati aroma makanan yang sudah sejak tadi kuhabiskan. Kurang bahagia apa
lagi?
Sore tadi, sewaktu mendung menggantung.
Ia bilang, “Suatu saat kamu akan benar-benar membenciku, Nok.”
“Membenci dalam jeritan, cakaran,
keringat, aturan nafas, darah, air mata, rumah sakit, makhluk mungil, bahagia.”
Tolong,
aku meleleh lagi.
Di atas awan − dalam dekapan, November 2015
—Ia membuatku sadar bahwa ada
situasi yang lebih inspiratif ketimbang malam hari dan pagi hari. Adalah ketika
ia menerjemahkan hatinya lewat kata, entah saat fajar-terik-petang-gelap-hingga
fajar lagi.
Dulu, aku hanya menginginkan seseorang yang mampu
membawaku ke tempat di mana aku bisa menulis tanpa sekat.
Tetapi, Tuhan memang mahabaik.
Aku malah diberi-Nya seseorang yang tak hanya membawaku
ke tempat yang tanpa sekat, namun juga seseorang yang sekaligus menjadi tempat
itu sendiri.
Kini, tak perlu jauh-jauh mencari tempat untukku menulis
puisi hingga berpuluh-puluh, tak perlu berpeluh untuk itu. Tempat itu sudah
menjadi milikku sekarang hingga berabad-abad mendatang.
0 comments:
Post a Comment