Pikiranku yang semrawut seperti benang
kusut, dengan sabar ia mencari ujung dan pangkalnya hati-hati. Saat tak juga ia
temukan, ia menuntunku untuk mencari ujung dan pangkalnya pelan-pelan. Meski
tak jarang pikirannya justru kelewat semrawut ketimbang gumpalan lunak di
kepalaku yang biasa disebut otak.
Tanpa
kuminta segalanya terasa tak sesulit prakira.
Pun tentang bayangan romantisme yang
kubaca di cerita-cerita roman. Katanya, ketika kau mengaduh saat kakimu
tersandung batu, ia akan mengelus lukamu untuk membuatmu merasa lebih baik.
Katanya, ketika kau meminta pendapatnya tentang penampilanmu, ia akan memujimu
habis-habisan. Katanya, ketika acap kali kau membuat kesalahan, ia akan memberi
pemakluman. Katanya... katanya... katanya...
Tanpa
kuminta segalanya terasa tak sesulit prakira.
Bersamanya, ketika aku mengaduh saat kakiku tersandung batu, ia hanya berkata, “Sukur,”. Bersamanya, ketika aku meminta pendapatnya tentang penampilanku, ya kalau bagus dibilang bagus, kalau jelek dibilang jelek. Bersamanya, ketika acap kali aku membuat kesalahan, ia tak hanya memberi pemakluman, tetapi juga menunjukkan seharusnya yang benar seperti apa. Bersamanya, aku merasakan keromantisan dalam ketakromantisan.
Dan lagi, bersamanya, aku merasakan keromantisan yang tak tertulis di cerita-cerita roman manapun.
Ia dan ketakromantisannya, membuatku
merasa memiliki orangtua lagi, kakak laki-laki, adik laki-laki, dan adik
perempuan. Ia dan ketakromantisannya, membuatnya merasa memiliki orangtua lagi
dan kakak perempuan. Ia dan ketakromantisannya, membuat kami amat sangat
lengkap.
Aku mekar —semekar-mekarnya.
Juni, 2015.
Tetaplah
romantis dalam setiap ketakromantisanmu.
Aku justru
merasa lebih mabuk dari yang sudah-sudah.
0 comments:
Post a Comment