Tuesday, 21 June 2016

203 #15


Pikiranku yang semrawut seperti benang kusut, dengan sabar ia mencari ujung dan pangkalnya hati-hati. Saat tak juga ia temukan, ia menuntunku untuk mencari ujung dan pangkalnya pelan-pelan. Meski tak jarang pikirannya justru kelewat semrawut ketimbang gumpalan lunak di kepalaku yang biasa disebut otak.

Tanpa kuminta segalanya terasa tak sesulit prakira.

Pun tentang bayangan romantisme yang kubaca di cerita-cerita roman. Katanya, ketika kau mengaduh saat kakimu tersandung batu, ia akan mengelus lukamu untuk membuatmu merasa lebih baik. Katanya, ketika kau meminta pendapatnya tentang penampilanmu, ia akan memujimu habis-habisan. Katanya, ketika acap kali kau membuat kesalahan, ia akan memberi pemakluman. Katanya... katanya... katanya...

Tanpa kuminta segalanya terasa tak sesulit prakira.

       Bersamanya, ketika aku mengaduh saat kakiku tersandung batu, ia hanya berkata, “Sukur,”. Bersamanya, ketika aku meminta pendapatnya tentang penampilanku, ya kalau bagus dibilang bagus, kalau jelek dibilang jelek. Bersamanya, ketika acap kali aku membuat kesalahan, ia tak hanya memberi pemakluman, tetapi juga menunjukkan seharusnya yang benar seperti apa. Bersamanya, aku merasakan keromantisan dalam ketakromantisan.

            Dan lagi, bersamanya, aku merasakan keromantisan yang tak tertulis di cerita-cerita roman manapun.

Ia dan ketakromantisannya, membuatku merasa memiliki orangtua lagi, kakak laki-laki, adik laki-laki, dan adik perempuan. Ia dan ketakromantisannya, membuatnya merasa memiliki orangtua lagi dan kakak perempuan. Ia dan ketakromantisannya, membuat kami amat sangat lengkap.

            Aku mekar —semekar-mekarnya.



Juni, 2015.
Tetaplah romantis dalam setiap ketakromantisanmu.
Aku justru merasa lebih mabuk dari yang sudah-sudah.

Share:

0 comments: