Sinisme seperti: “Melu payu”; “Jago kandang”;
atau semacamnya, akan menguliti
seseorang yang tak berani berbicara banyak di depan publik saat mengikuti
diskusi dan hanya sibuk nggremeng di
belakang. Singkatnya, tak berani mengungkapkan argumennya barang sehuruf meski
sudah dipucuk bibir, selangkah lagi keluar, terpeleset air liur, dan tumpah di
bantal atau di lantai.
Diskusi semacam apapun, tak jarang diisi oleh
orang-orang semacam itu. Termasuk saya salah satunya. Terkadang saya baru
berbicara setelah sebuah telunjuk tangan mengarah ke arah saya, dan bukan
karena prakarsa saya sendiri. Rasanya sulit sekali membuat saya berbicara pada
sebuah kegiatan diskusi —yang saya rasa,
saya tak punya porsi di sana. Ada beberapa faktor mengapa saya merasa
pantas berbicara hanya di beberapa diskusi saja. Saya ulangi dan tolong diitalic-underline-dan kalau perlu dibold,
hanya
di beberapa diskusi saja.
Salah satu faktornya adalah karena tak didengar.
Mengapa
demikian?
Mungkin suara saya terlalu kecil untuk dapat
tersalur ke beberapa telinga. Mungkin saya merasa argumen saya belum terlalu
kuat. Mungkin saya takut didebat. Mungkin saya merasa argumen saya sia-sia
layaknya menyiram garam ke laut, layaknya menabur gula ke teh hijau. Mungkin
pemimpin diskusinya yang subjektif —hush, jangan suudzon. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang bergelantungan di
pikiran saya.
Entahlah.
Hal tersebut yang kemudian mendorong saya untuk menulis.
Menulis apapun argumen saya yang hanya nunut
ngiyup di ujung bibir saja dan tak jadi saya gemborkan di depan publik. Tak
jarang argumen tersebut saya campur dan saya aduk dengan imajinasi, kemudian
saya sembunyikan lewat sebuah karya fiksi.
Saya memang senang bersembunyi.
Semarang, 8 Juli
2016
Pelan-pelan saya
belajar berbicara, lewat media apa saja.
0 comments:
Post a Comment