Saturday, 16 July 2016

Jika Suaramu Tak Didengar, Menulislah! —dan semoga tulisanmu dibaca.


Sinisme seperti: “Melu payu”; “Jago kandang”; atau  semacamnya, akan menguliti seseorang yang tak berani berbicara banyak di depan publik saat mengikuti diskusi dan hanya sibuk nggremeng di belakang. Singkatnya, tak berani mengungkapkan argumennya barang sehuruf meski sudah dipucuk bibir, selangkah lagi keluar, terpeleset air liur, dan tumpah di bantal atau di lantai.

Diskusi semacam apapun, tak jarang diisi oleh orang-orang semacam itu. Termasuk saya salah satunya. Terkadang saya baru berbicara setelah sebuah telunjuk tangan mengarah ke arah saya, dan bukan karena prakarsa saya sendiri. Rasanya sulit sekali membuat saya berbicara pada sebuah kegiatan diskusi —yang saya rasa, saya tak punya porsi di sana. Ada beberapa faktor mengapa saya merasa pantas berbicara hanya di beberapa diskusi saja. Saya ulangi dan tolong diitalic-underline-dan kalau perlu dibold, hanya di beberapa diskusi saja.

Salah satu faktornya adalah karena tak didengar.

Mengapa demikian?

Mungkin suara saya terlalu kecil untuk dapat tersalur ke beberapa telinga. Mungkin saya merasa argumen saya belum terlalu kuat. Mungkin saya takut didebat. Mungkin saya merasa argumen saya sia-sia layaknya menyiram garam ke laut, layaknya menabur gula ke teh hijau. Mungkin pemimpin diskusinya yang subjektif —hush, jangan suudzon. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang bergelantungan di pikiran saya.

Entahlah.

Hal tersebut yang kemudian mendorong saya untuk menulis. Menulis apapun argumen saya yang hanya nunut ngiyup di ujung bibir saja dan tak jadi saya gemborkan di depan publik. Tak jarang argumen tersebut saya campur dan saya aduk dengan imajinasi, kemudian saya sembunyikan lewat sebuah karya fiksi.

Saya memang senang bersembunyi.



Semarang, 8 Juli 2016
Pelan-pelan saya belajar berbicara, lewat media apa saja.

Share:

0 comments: