Friday 28 October 2016

203 #19



Kertas-kertas berserakan, laptop masih menyala dengan alunan lagu yang sengaja kau setel lirih, serta asbak yang penuh putung rokok. Kau? Lagi-lagi kau tertidur di sofa, kelelahan menungguku pulang. Maaf sayang, bahkan untuk mengingatkanmu membawa bantal dan selimut pun aku tak sempat. Ijinkan aku merapikan pekerjaanmu. Biarkan aku membawakan bantal dan selimut untukmu selagi aku memasak, menyiapkan makan malam kita yang sudah sangat terlambat. Aku janji, akan kubangunkan kau dengan pelukan dan ciuman untuk makan malam di tengah malam kita.
 
Aku yang bepergian, kau yang mengantarkan.
Aku yang kebingungan, kau yang menenangkan.
Aku yang kepanasan, kau yang mencairkan.
Aku yang kekanakan, kau yang mendewasakan.
Aku yang pecicilan, kau yang penuh pemakluman.

Sesekali aku membenarkan letak cincin di jari kiriku yang sebenarnya tak salah apapun. Entah karena gugup atau salah tingkah. Kubiarkan hujan turun dari mataku yang sudah sedari tadi mendung. Tak ada sanggahan yang keluar dari mulutku, karena memang tak ada yang perlu disanggah.  Hanya sesenggukan tak beraturan yang mengiringi ceriteramu. Sore itu, kau menguasai panggung kita.

Aku yang membuat kesalahan, kau yang coba membenarkan.

Aku selalu tahu, setelah itu kau akan memelukku lembut. Pun aku selalu tahu, kau tak pernah ingin meihatku dalam keadaan seperti itu. “Kau harus tahu, dalam hatiku bergetar waktu kutahu kau terluka saat aku buatmu menangis, buatmu bersedih, inginku memelukmu dan ucapkan maaf. Maafkan aku,” ucapmu bersekongkol dengan Jan melalui lagu.

Kau selalu berhasil mebuatku tak ingin melepaskanmu yang penuh cara unik untuk tak melepaskanku.

Hari ini aku pulang, tak lagi meriang.
Minggu depan, giliran kau yang pergi, aku meriang lagi—


Semarang, 20 Oktober 2016
Kau tertidur pulas ketika aku sedang mengeja rindu-rinduku.
Kupandang lamat-lamat rautmu yang kelelahan menghitung rindu yang belum selesai kau jumlahkan.
Aku berani taruhan, rinduku dan rindumu akan seimbang jika ditimbang.
“Tuhan, ijinkan aku memiliki lelaki ciptaan-Mu yang paling menawan ini,” ucapku membiarkan rindu kita berbaur hingga tak mampu dihitung dengan kalkulator merek apapun.

Share:

Friday 14 October 2016

203 #18




Suaramu membawa rindu-rindu ini kian memuncak. Merdu. Layaknya kicau burung yang menandakan bahwa malam telah berganti pagi. Aku menikmatinya sambil memejamkan mata. Suaramu menyiksa dan mencumbuku bersamaan, menjadikan rindu tak habis ini menjadi puing-puing puisi pagi.

Aku menciumi aromamu di tiap goresan tinta hitam yang beradu dengan kertas putih bergaris. Miris. Tak ada yang benar-benar mengobati ini. Tulisan-tulisan ini hanyalah obat penenang yang bekerja kurang dari 24 jam.

Kau, seperti film yang tak pernah bosan kuputar berulang-ulang. Seperti buku yang tak pernah jenuh kubaca berpuluh-puluh. Seperti puisi yang tak pernah habis kutulis. Sebab, selalu ada hal baru yang kutemui tiap kali menyentuh kembali. Kau, candu—



September 2016
Aku meriang, ingin cepat pulang—
Share: