Friday, 7 July 2017

Sensasi Membaca 'Saksi Mata: Klandestin' Ketika Berada di Kereta


Sepanjang rel kereta yang terlihat hanya bentangan sawah dan tumpukan sampah. Kontras memang, sebagian segar, sebagian nampar". Suara khas kereta yang berisik seolah menjadi jelmaan alunan nina bobok. Semua penumpang di gerbong tertidur, kecuali aku. Aku tak mampu mengubah suara berisik ini menjadi alunan yang menidurkan. Sebaliknya, pikiranku mengubahnya menjadi suara pengeboran yang lebih berisik dari suara kereta itu sendiri.

Mula-mula, suara itu hanya suara berisik kereta yang tak berarti, namun selang beberapa menit suara itu seperti menguasai pikiranku. Gelap, sesak, dan berisik.
"Nun jauh di sana kulihat lampu-lampu listrik yang suram menerangi lorong. Kuraba dinding yang bergetar. Sayup-sayup kudengar derum mesin-mesin berat dari sebuah proyek yang besar. Semakin lama suara itu semakin memekakkan telinga."

Aku tak ingin berhenti begitu saja. Aku ingin tahu jalan keluarnya. Aku masih meraba-raba apa yang sebenarnya terjadi. Beberapa detik kemudian aku merasa takjub sekaligus heran.
"Aku telah memasuki sebuah kota di bawah tanah..."

Ketika kubayangkan definisi kota, begitu berbeda dengan apa yang ada di depanku. Meski bermandi listrik tetap saja gelap dan suram. Orang-orang menggunakan helm dengan lampu sorot di bagian depan. Mengerikan ketika kudengar ternyata mereka melakukan teror dan menculik orang-orang dari atas lewat gorong-gorong, untuk dijadikan budak.
Semakin lama, semakin mengerikan ketika kalimat,
"Aku tahu, barangkali aku tidak akan pernah sampai ke permukaan, tetapi itu juga tidak terlalu penting. Aku tetap mengebor, merayap, mengebor, dengan penuh kegembiraan. Aku tidak perlu menghancurkan sebuah kota, aku hanya perlu membebaskan pikiranku dari ideologi yang paling sempurna."
membuatku kembali pada sebuah gerbong kereta yang hanya tinggal aku sendiri yang terbangun.

Ah, aku baru saja diajak jalan-jalan oleh Seno Gumira Ajidarma.


*cerpen Klandestin karya Seno Gumira Ajidarma pernah dimuat di Harian Kompas pada 1993. Selain itu, juga dimuat di The Jakarta Post pada 1996 dan diterjemahkan oleh Dini S. Djalal dengan judul Clandestine.


Share:

0 comments: