Monday 28 January 2019

[sebuah ucapan untuk Kekasih]


Kepada Jantung Hati,

Akan ada yang meruap usai perayaan.
Entah rindu,
cumbu,
candu,
atau kepulan gejolak hati yang meluap-luap —ingin segera temu.

Meriah atau tidak, perayaan akan jadi bagian penting sebuah pengembaraan, sebab di sana ada renjana yang tak hanya satu rupa.
Namun, kadang-kadang, tak ada yang ingin kuberikan kecuali waktu dan puisi-puisi tengah malamku.
Di sana,
aku melihatmu menjelma apa saja.
Pot bunga,
lembar buku,
cermin,
bantal,
tirai,
hingga kue coklat yang kusimpan di laci meja.
Tapi tetap saja,
tak ada yang sebanding denganmu.

Namun, aku percaya,
kamu ada di setiap pejaman mata dan doa.



Pada Januari keempatmu bersamaku,
aku ingin menjadi bulir-bulir keringat di dahimu,
aku ingin menjadi derai gerimis yang jatuh di kamu,
aku ingin,
jadi doa yang meruntuhkan dosa-dosa.

Selamat menopang angka baru.
Aku ingin kamu tetap jadi kamu.


Salam sayang,
Resla.
Share:

Sunday 27 January 2019

203 #46

Pagi itu, aku kembali ingin jadi hujan,
yang membuatmu ingin lama-lama di balik selimut,
yang membuatmu ingin lama-lama bermanja pada bantal,
yang membuatmu ingin lama-lama memandangku.
Saat itu,
saat matamu menilik rinai dibalik tirai kamarmu,
aku tahu,
kau pun sedang memindai ingatan-ingatan.
Saat kau pakaikan jas hujan di tubuhku,
saat kau rela kebasahan demi aku yang di belakangmu,
saat kau ingin lama-lama bersamaku,
dengan secangkir teh,
secarik kertas,
irama lagu,
cerita orang-orang di sekitar,
dan beratus-ratus kalimat indah.

Aku selalu ingin jadi hujan,
yang jatuh padamu.
Pada matamu,
pada helai rambutmu,
pada jemarimu,
pada pundakmu.
Aku ingin terus sandar,
dalam bentuk apapun yang kusuka.
Asal kamu haluannya.


Januari 2019

Share:

Friday 18 January 2019

Renik

kaki-kaki kecil berlarian,
tanpa alas kaki,
rambut aroma matahari,
singlet putih melati,
tawa rendah hati.
putih,
suci,
ingin diulangi.

tangan lembut mengikuti,
mangkuk sup,
daster coklat kucam,
renjana,
tenteram,
sudi,
tak usai.

masa renik,
adalah kelegaan,
tak ada rumit kemacetan jalan,
tak ada tugas bertimbun,
tak ada kepatah-hatian,
sebab,
kala itu,
cinta tumbuh tanpa meminta kembali.

indah, ya.
iya,
namun tak abadi,
sebab, manusia tumbuh,
menjadi apa yang dimau,
lalu lupa,
pada masa suci,
penuh kasih,
yang saat dewasa justru dicari-cari.

lalu,
kemana perempuan dengan mangkuk sup di tangan yang mengikutimu berlarian kala dulu?
itu,
adalah ibu,
sang pekerja kasih,
tak ingin dibayar,
tak bisa ditukar.

ΔΔ
Sebuah puisi —respon, untuk lagu @monitatahalea - "Sesaat yang Abadi".

19.11.19
Share:

Tuesday 1 January 2019

Wahana Antariksa

merah dan basah,
lara,
ini luka atau cua?

dari atas sini, aku melihat burung terbang sejajar pundak dan kepalaku.
dari atas sini, aku melihat gunung, laut, dan pola permukiman warga yang payah tapi indah.
dari atas sini, aku melihat lalu lintas yang tak pernah lelah, warna-warni di sekitarnya menyeimbang di tengah gelita.
dari atas sini, aku melihat anak-anak bermain petak umpet, lompat tali, dan sepak bola.
dari atas sini, aku bisa melihat segalanya,
Kecuali Hatimu.

dari atas sini, aku melihat mimpi, yang dekat namun tak terenggut.

Saat sedang gebu, aku runtuh.
mungkin aku lupa, aku cuma sedang naik wahana antariksa —buatanmu.

Desember 2018
Share: