Monday, 16 December 2019

226 #5

Yang lalu, lalu.
Yang tumbuh, tumbuh.
Tidak ada yang sempurna, tapi kamu dan kasih sayangmu pas buatku.

Menikah bukan transaksi jual-beli apalagi tawar-menawar. Menikah ialah bersedia.
Aku bersedia jadi istrimu, kamu bersedia jadi suamiku.
Aku bersedia mendengar ceritamu di malam hari, kamu bersedia membagi tugas rumah tangga.
Aku bersedia menjadi teman tidurmu, kamu tak marah jika aku lelah.
Menikah bukan perkara bebas bergulat di ranjang. Lebih dari itu, menikah ialah menikmati pergulatan itu.

Lebih dari itu lagi, menikah bukan perkara ranjang semata. Besok masak apa, akhir pekan kemana, sabun habis, pasta gigi habis, keran kamar mandi patah, genteng bocor, menyapu, bertanam, dan perkara-perkara menyenangkan lainnya.

Aku dan kamu bahkan sudah menikah sejak kali pertama saling menyayangi. Tapi kali ini, kita tervalidasi.

11.'19.

Share:

Tuesday, 3 December 2019

Kurama dan Musik-musik yang Melayatnya


Sore.

Minggu, 17 November 2019.

Ia muncul dari kolong mobil. Langkahnya lemah, berjalan sendiri menuju ke mana pun untuk menyusupkan makanan di perutnya. Dari perut kempes dan tulang-tulangnya yang terlihat, aku tahu, sudah tak terhitung berapa kilometer ia sudah berkeliling dan belum juga mendapat makanan. Hmm, kira-kira usianya baru dua bulan. Usia yang seharusnya masih menikmati hangatnya pelukan ibu.

Ia hanya kucing kecil, kata orang.
Bagiku, ia adalah nyawa.



Ia masih sangat kecil untuk berkeliaran dan berlomba dengan kucing dewasa lain demi makanan. Aku ingin memeluknya di rumah.

__________
Malam hari.

Aku senang melihatnya tidur pulas.

"Kurama," celetukku.
"Sepakat. Aku punya panggilan sayang, kurkur," jawab laki-laki di sebelahku —suami.


__________
Pagi, ia jadi alarm.

Pagi yang kurang baik karena Kurama baru saja muntah. Bukan, bukan perkara muntah dan kotor dan ngepel yang menjadikan pagi ini kurang baik. Melainkan, cacing. Kurama cacingan.

Aku? Panik.
Suamiku? Panik tapi malu-malu.

Untung saja aku masih punya obat cacing untuk kucing. Kuberi dia secuil. Yash! Berhasil. Tak ada lagi cacing. Bahkan ia tak lagi muntah.

Tapi,
masalah kesehatannya tak berhenti di situ. Kurama diare!

Bayangan-bayangan distemper yang menyerang tiga kucingku dua tahun lalu muncul. Mereka yang mati di pangkuanku; aku menangis berhari-hari. Seperti seorang ibu kehilangan bayi.

Nggak, nggak.
Kurama harus sehat.

Vet menjadi tujuan kami. Kurama menjalani pemerikaan dan pengecekan feses. "Semuanya normal," kata dokter.

Kurama harus rutin minum obat. Dua obat, diare dan vitamin agar ia lebih doyan makan.

Ya, siang dan malam aku memberinya obat. Tapi, tak ada perubahan. Kurama masih diare dan lemas.

Sampai pada akhirnya, ada perasaan hancur datang. Ada yang tidak beres dengan Kurama. Aku berusaha menghangatkan badannya. Dia semakin lemas. Berdiri pun nggak sanggup.

Aku? Hancur parah. Aku menangis melihatnya kesakitan. Aku merasa tidak berguna karena hanya melihatnya sekarat.

Hampir lima jam ia sekarat. Aku menangis dan membaca doa-doa yang kutahu. Aku juga memberinya musik-musik pengantar tidur.

Sungguh aku merasa tak berguna.
Aku merasa bersalah tak merawatnya dengan baik.
Aku merasa bersalah tak menemukannya lebih awal.

Kurama tak ingin mati di hadapanku, pikirku.
Aku membiarkannya menyendiri, tapi tak tenang. Pukul 1 pagi lebih sedikit, aku tak lagi mendengar Kurama melenguh.

Aku telah kehilangan.

Kurama pergi tanpa kutemani. Ia pergi bersama musik-musik yang melayatnya; Cat meditation, agar ia lebih tenang pergi; Peaceful music for cats, agar ia damai; The sky is the limit, agar ia menemukan jalannya; Sulung, agar ia —dan aku— sama-sama merelakan.




"Kurama milik Tuhan."
Mantra yang kuucapkan berulang.


Maaf, Kurama.
Aku menulis ini karena aku tahu kamu membaca ini.


November 2019

Share:

226 #4

percakapan sebelum tidur,
memelihara kasih yang sewaktu-waktu bisa lebur
ia memupuk,
di pundaknya ada aku dan kemungkinan-kemungkinan yang akan datang,
di pundakku ada kami,
teliti meruwat-merawat,
jika lelah istirahat.

aku punya pundakmu,
kamu punya pundakku.

ia sekarang lelap,
mungkin di mimpinya ada ketakutan.
mungkin hanya putih,
mungkin hanya gelap,
mimpi memang tak pernah punya warna.

tidurlah,
pukul enam kubangunkan kau,
kembalilah pada tembok itu putih,
lukisanmu di bawah jam dinding itu penuh warna,
dan aku yang di sebelahmu ini bisa jadi merah jingga kuning hijau biru nila atau ungu.

10.'19
Share:

226 #3

meramu-memaruh,
nasib baik menyuapi jiwa kita yang sama laparnya,
aku menyauk permintaan tanpa takut tersedak, sedang kau mendulang asa pada bibirmu lalu bibirku,
kita kenyang,
butuh air putih untuk mengisi ulang.
lalu,
kita menanak catatan dari percakapan-percakapan,
yang dimatangkan agar gampang ditelan.

sayang,
keputusan itu seperti nasi.
jika kurang, lapar.
jika penuh, mual.
jika basi, tak berarti.

tapi perutmu dan perutku sudah lama hidup bersama.
urusan nasi tak seberat itu.
urusan porsi tak sepelik itu.
jangan pusing soal angka,
sebab saling memahami tak perlu matematika.

September 2019.


Share: