Tuesday 23 February 2016

203 #11

Ya Tuhan. Aku suka bagian ini. Menerjemahkanmu lewat baris-baris aksara penuh asmara. Kita begitu berbeda dalam beberapa, namun sama dalam segala, termasuk cinta.

Segalanya mengalir se-apa adanya air.
Bertemu dalam perkenalan yang biasa saja. Kita nyaman hanya sebatas teman cerita. Hingga kalimat, "But sometimes, we have to leave our comfort zone." membuka segalanya.

Kau yang dulu hanya berani menepuk halus pundakku untuk meredam sesenggukku. Kau yang dulu hanya berani bertanya 'dengan siapa aku sekarang' tanpa berani menunjukkan ketidak-senangan. Kau yang dulu... kau yang dulu... kau yang dulu...

Hold on, let me take a deep breath.

Kau yang kini, paling tahu musim-musim di hatiku.
Kapan aku butuh pelukan.
Kapan aku sendu.
Kapan aku badmood.
Kapan aku pengen jajan. Hehe.
Kau yang kini tak segan cemburu pada laki-laki yang 'begitu'.
Kau yang kini tak jarang  menegurku jika aku memakai pakaian yang terbuka dan atau ketat, bahkan tak segan kau sita dan kau buang entah ke mana.
Kau yang kini tak pernah lupa menggandeng tanganku, memelukku, mencium keningku, mengusap rambutku.

Mulai sekarang, jangan tanya kenapa Tuhan baru mempertemukan kita sekarang.
God is a good writer, dear.



Februari, 2016.
Laut tenang bukan tempat untuk nahkoda hebat.
Semoga kau selalu bisa membawa kapalmu melewati ombak di segala cuaca.

Untuk kalian yang membaca 203 diam-diam.
Terimakasih atas pengaminan.
Maaf telah membuat iri.
Sudah jangan banyak bicara, orang tua kami restu-restu saja.

Share:

Friday 12 February 2016

ADJI

Berminggu-minggu tak bisa tidur.
Ia mengharamkan hadiah berwujud barang. Barang yang sedang ia gandrungi.
Gitar akustik tua.
Kamera.
Docmar.
Meski memang pecahan di dompetku tak cukup untuk membeli satu dari ketiganya.

"Aku ingin mendapatkan apa yang benar-benar kuinginkan dari keringatku sendiri," begitu yang kudengar.

Hadiah.
Hadiah yang paling tepat untuk seseorang adalah memberikan sesuatu yang sedang diinginkan.
Tetapi, dalam kasusku ia mengharamkan kebiasaan itu.
Ya, lagi-lagi harus kukatakan, begitulah ia.

He teach me to think the opposite. Out of the box.
Dan hal itu selalu berhasil.
Entah memang ia yang selalu punya cara, atau memang aku ang terlampau cerdas.
Atau malah keduanya.

Alhasil, kuciptakan tumpengkuponmessege(s) in the jar, dan kotak puisiku sendiri.

Aku percaya, kreatifitas tangan sendiri yang lahir dari hati mampu mengalahkan angka-angka rupiah tinggi.



29 Januari 2016
Kini, tak akan lagi kau lalui 29 Januari sendiri.

Share:

Poems

Aku tak pernah jauh dari puisi
Kau tak pernah jauh dari puisiku
Kuajak kau mampir setiap angka dua puluh hadir
Meski terkadang hanya sebatas intipan tabir
Namun, tak pernah sekalipun kau mangkir

Kupastikan kau akan selalu ada dalam baris-baris aksara yang kuramu.
Aku, kau, kita akan hidup selamanya.
Jiwa kita tak akan mati, meski raga pasti



29 Januari 2016
Kau, aroma puisi paling magis.
Share:

Messege(s) in The Jar

Lima puluh gulungan.
Satu hari satu gulungan.
Lima puluh hari.
Tiap pagi.
Satu hari setelah tanggalmu hingga satu hari sebelum tanggal kita.
30 Januari hingga 19 Maret.

Bersiaplah tersenyum setiap pagi
Selama lima puluh hari
Hingga 20 Maret tiba
Hadiah lain akan menyapa



29 Januari 2016
Kubuat lima puluh hari dalam hidupmu lebih manis dari biasa.
Share:

Tumpeng

Bukan tart.
Bukan cake.
Bukan cheesecake.
Bukan blackforrest.
Bukan brownies.
Hanya tumpeng nasi kuning beserta jajaran lauk-pauk hasil tanganku sendiri.

Dan, kulihat kau menyukai ke-anti-mainstream-an-ku ini.



29 Januari 2016
Setengah mati kubuat tumpeng ini pagi-pagi sekali.


Share: