Matanya menangkap mataku. Dengan posisi
agak menunduk sebab tinggi badanku yang hanya sebatas pundaknya —lebih sedikit,
ia mencoba mencari alasan mengapa mataku memilih matanya sebagai tempat
berteduh. Kini, iris matanya yang berwarna cokelat memikat, mencengkeram retina
mataku, memaksa pupilku untuk balik menatapnya. Ia tak menangkap apapun karena
aku menyembunyikannya dalam kantung mataku yang penuh sesak oleh hibat.
Sepaham dengan matanya, tangannya
mencengkeram lembut pundakku. Mengguncangnya pelan-pelan agar aku tersadar dari
kekeliruanku karena memilihnya. Semakin lama guncangannya semakin kuat. Namun,
nihil—. Ia menunduk, kali ini bukan karena tinggi badanku yang mengharuskannya
melakukan itu. Bahwa ia hampir putus asa.
Pelan,
tangan kananku menyentuh lembut pipi kirinya.
Kembali matanya menangkap mataku seperti
semula. Sigap.
Kulihat pipinya yang sedari tadi
menegang perlahan mengendor, menarik kedua ujung bibirnya dan membentuk sebuah
pemandangan yang membuatku jatuh cinta. Dengan kerutan di ujung matanya, ia
mengusap rambut indahku yang membuatnya jatuh cinta. Sebelum mencium keningku,
ia sempatkan mengambil satu bulu mataku yang jatuh di pipi.
Juli, 2015.
Sekuat ia mengguncang tubuhku,
sekuat itu pula
ia menemukan alasan mengapa mataku memilih matanya.
Aku
senyum-senyum sendiri membaca ini saat bangun pagi:
“You know, I think it’s a good time for you to tell
your parents how much I love their daughter.”
And you know
what? They already know, dear.
0 comments:
Post a Comment