Saturday, 16 July 2016

203 #16


Matanya menangkap mataku. Dengan posisi agak menunduk sebab tinggi badanku yang hanya sebatas pundaknya —lebih sedikit, ia mencoba mencari alasan mengapa mataku memilih matanya sebagai tempat berteduh. Kini, iris matanya yang berwarna cokelat memikat, mencengkeram retina mataku, memaksa pupilku untuk balik menatapnya. Ia tak menangkap apapun karena aku menyembunyikannya dalam kantung mataku yang penuh sesak oleh hibat.

Sepaham dengan matanya, tangannya mencengkeram lembut pundakku. Mengguncangnya pelan-pelan agar aku tersadar dari kekeliruanku karena memilihnya. Semakin lama guncangannya semakin kuat. Namun, nihil—. Ia menunduk, kali ini bukan karena tinggi badanku yang mengharuskannya melakukan itu. Bahwa ia hampir putus asa.

Pelan, tangan kananku menyentuh lembut pipi kirinya.

Kembali matanya menangkap mataku seperti semula. Sigap.

Kulihat pipinya yang sedari tadi menegang perlahan mengendor, menarik kedua ujung bibirnya dan membentuk sebuah pemandangan yang membuatku jatuh cinta. Dengan kerutan di ujung matanya, ia mengusap rambut indahku yang membuatnya jatuh cinta. Sebelum mencium keningku, ia sempatkan mengambil satu bulu mataku yang jatuh di pipi.




Juli, 2015.
Sekuat ia mengguncang tubuhku,
sekuat itu pula ia menemukan alasan mengapa mataku memilih matanya.

Aku senyum-senyum sendiri membaca ini saat bangun pagi:
“You know, I think it’s a good time for you to tell your parents how much I love their daughter.”

And you know what? They already know, dear.
Share:

0 comments: