Ya, mungkin judul di atas bertolak belakang dengan
kampanye tentang “Jangan simpan karya-karyamu!”, “Publish Karyamu!”, atau
kampanye lain yang bersuara sejenis. Mungkin pula Dewi Lestari merasa tak
setuju dengan judul di atas karena yang saya ingat ia pernah mengatakan “Jangan
simpan karya kalian, dia butuh udara segar!” pada sebuah seminar literasi. Saya
siap dihakimi, dicerca, bahkan di-pilih-kasih-i.
Bagaimana penulis amatir seperti saya ini mampu
mengadu jika menjadi korban plagiarisme? Bukan bermaksud pamer karena karya
saya pernah dijiplak, karena menurut saya menjadi korban plagiarisme bukan
suatu hal yang patut untuk dibanggakan. Saya malah merasa sedih, lha wong saya juga masih belajar nulis,
kok, malah dijiplak, lha mbok kalau
masih sama-sama belajar, ya, sini sinau
bareng.
Sebab itu lah yang membuat saya parno setiap kali ingin memencet tombol publish yang berada di sebelah kanan kotak judul saat selesai
ngetik. Tak jarang saya membaca kembali apa yang saya tulis dan
menimbang-nimbang: “publish, nggak, ya?
Publish, nggak, ya?” jari-jari saya mengetuk-ngetuk meja, terkadang
ditambah dengan mengacak-acak rambut, menggigiti bibir, hingga menguliti ujung kuku
yang tak berkulit. Tanda bimbang.
Banyak akhir cerita yang mengantarkan karya-karya
saya tertata rapi di laci, ada pula yang berakhir di timeline blog dan dibaca oleh yang bersedia mampir. Saya tak
membuang mereka, hanya sebuah bentuk teritorialitas dan bukti betapa saya
mencintai mereka melebihi apapun.
Mereka mendekam dalam dekap. Tentu saya tidak
membiarkan mereka terus-terusan mendekam di tempat pengap. Tetapi, bagi saya,
membiarkannya menghirup udara segar tidak dengan cara membiarkannya disentuh
oleh sembarang orang. Banyak jalan menuju
Roma. Saya selalu berusaha mencari tempat yang laik untuk mereka. Jika satu
tempat belum bisa menerima, akan saya carikan tempat yang lain.
Beginilah cara saya mencintai karya-karya saya. Saya
posesif—
Semarang, 9 Juli 2016
Mereka akan
terus perawan sampai ada yang pantas meminang.
0 comments:
Post a Comment