Tiba-tiba ia menjadi kekasih yang gampang cemburu, gampang kangen, gampang sensi, gampang bete. Ia bilang, “Aku marah sama diriku sendiri. Aku ngga bisa segampang kamu, bilang kangen sama aku. Aku kangen banget sama kamu. Tapi, nggak tahu cara nyatainnya. Jadi, yang keluar nggak karuan kayak gini.”
Ya, memang
banyak yang harus dikorbankan dan dijaga di 2016 ini. Kami berdua sudah
sama-sama tahu. Sialnya, rindu yang tak tahu diri ini justru tak mau tahu.
Menjadi seorang
kuli tinta memang harus mengorbankan banyak hal. Waktu adalah salah satunya. Bekerja di jalanan dari terik hingga petang.
Menulis hingga hampir tengah malam. Begitu seterusnya. Jika restoran siap saji punya
jargon 24/7, saya punya yang lebih yahud, 25/8.
Tak masalah. Ia selalu
punya cara untuk bertemu.
Dan, ya, aku tak
pernah membayangkan memiliki seorang lelaki yang begitu mahir melakukan
pekerjaan —yang seharusnya dilakukan— perempuan. Sialnya, masakannya lebih
lezat ketimbang masakanku.
PETANG itu, aku diculik
dari gedung bertingkat yang sudah terlihat tua. Kulihat ia membawa sesuatu
dengan bau yang sungguh menggairahkan. Perutku meresponnya cepat.
Rupanya, ia memasak untukku. Aku bahagia bukan
kepalang. Selain karena mendapat makanan gratis, aku merasa ia begitu
memperhatikanku. Spaghetti yang dibuat
dengan racikannya sendiri. Hm, does your
man do this?
Tanpa berlama-lama, aku dibawanya ke tempat di mana
kami bisa berbincang banyak. Untung saja tulisanku sudah sempat terselesaikan,
bahkan sudah disunting pula.
Waktu yang tepat, bersama orang yang tepat. Ia
menemaniku makan, aku menemaninya bercerita.
Setiap kali ia bercerita, rasanya wajahku memerah
sebab terlampau tersipu. “Sekalipun sederhana, asalkan sama kamu itu sudah
lebih dari cukup. Ibaratnya aku cuma punya motor, kamu cuma punya kulkas. Kamu
masih bisa ngojek sekaligus bikinin
aku es. Sesederhana itu,” ungkapnya.
Haru.
Waktu memang sedang menggoda kami. Tapi, kurasa ia
salah sasaran. Laki-lakiku tak memusingkan kesulitan sua ini.
Omong-omong, rasa masakan dan ciumanmu sama-sama
memabukkan. Aku semakin punya milyaran alasan untuk merindukanmu.
Agustus, 2016.
Tangan kananku mengarah pada gagang pintu kamar
kita. Saat menemukannya, aku mendorongnya ke bawah dan terdengar derit yang
sudah sangat kuhafal.
Di ranjang, kulihat kau meringkuk kedinginan.
Kelelahan menungguku pulang. Setelah membersihkan diri, segera aku masuk dalam
ringkukkanmu.
Jangan kaget ketika bangun nanti kau sudah dalam
posisi memelukku, pun aku.
—Bahkan saat tidur pun kita tak ingin saling
meninggalkan.
Terima kasih, kau
selalu memberiku inspirasi untuk menulis serial 203 kita.