- Balita Korban DBD
KEHILANGAN
anak terakhir yang periang, mandiri, serta grapyak,
tentu sangatlah sedih bagi seorang ibu. Terlebih jika meninggalnya karena demam
berdarah dengue (DBD). Ia adalah Istiana (44), ibu rumah tangga yang berduka
ditinggal mati putri bungsunya, Oriza Satifa Nursifera (4,5). Musibah itu
membuat trauma setiap kali nyamuk hinggap di kulit Istiana.
Rumah
perempuan paruh baya itu tak jauh dari palang pintu rel kereta di Jalan
Sadewa Semarang. Suasana duka masih tampak. Di teras terdapat etalase berisi barang
yang belum sempat dibereskan, karena baru beberapa minggu yang lalu anak
keduanya, Dandy Dwi (17), juga masuk rumah sakit karena sakit yang sama.
Dengan
mengenakan daster, Istiana mempersilakan penulis masuk ke rumah yang tak
terlampau luas. Rumah itu di Jalan Sadewa Utara I Nomor 10, Kelurahan Pendrikan
Lor, Kecamatan Semarang Tengah. Di rumah bercat biru itu, Istiana tinggal
bersama suami, Rahono (46), dan ketiga anaknya. Suara kipas angin dan televisi
yang dibiarkan menyala mengiringi curahan hatinya kepada penulis.
Wanita
yang akrab disapa Ana itu mulai bercerita. Dia merasakan badan Oriza panas pada
Kamis (28/7). Dengan panik ia membawa ke bagian Balai Klinik Ibu dan Anak
(BKIA) di Puskesmas Poncol. “Saat itu diagnosa dokter mengarah pada penyakit
amandel. Dokter bilang, kalau amandelnya mengecil panas akan turun. Ya sudah,
saya kasih obat dari dokter saja,” ujar ibu empat anak tersebut.
Ia
mengatakan, pada Jumat (29/7) Oriza sudah kembali sehat dan beraktifitas
seperti biasa. Bahkan, sudah kembali bersekolah di Paud Kenanga Pendrikan Lor,
dan sempat dititipkan oleh ibunya di TK Aisyiyah Bustanul Atfal 1 (TK ABA 1).
Namun saat malam, badan bocah itu kembali panas dan langsung dibawa ke
puskesmas bagian BP Umum.
Dokter
langsung menyarankan agar Oriza dibawa ke rumah sakit untuk dirawat. Akhirnya,
dokter memberi rujukan ke RS dr Kariadi Semarang. Dalam perjalanan, pandangan
mata Oriza sudah tidak fokus (melihat ke kanan dan ke kiri-red). Saat itu,
kondisi trombosit bocah periang itu sudah rendah, hanya 100.000 dari jumlah
normal 500.000. Baru setelah masuk ke ruang Intensive
Care Unit (ICU), Oriza mendapatkan bantuan infus. Keadaannya mulai membaik.
Namun,
pada Minggu (1/8) pukul 03.00, Oriza dinyatakan meninggal dunia. Tentu saja hal
itu membuat Ana dan keluarga kaget. Dokter mengabarkan, virus DBD menyerang
organ dalam putrinya. Saat diobati, virus tersebut susah dimatikan. Keadaan
Oriza memburuk. “Berbagai cara sudah dilakukan dokter. Bahkan, obat yang
diberikan tak mampu lagi menjadi tameng. Anak saya tetap tidak tertolong. Oriza
meninggal,” ujar Ana lirih.
Saat
menuturkan kalimat itu, nafas Istiana tak beraturan. Dia menarik nafas panjang
sebelum akhirnya terdiam. Pandangan matanya mengisyaratkan dia sedang
membayangkan wajah sang putri bungsu.
Firasat
akan kehilangan Oriza sempat dirasakan Rahono dua hari sebelum putrinya
meninggal. “Saat bangun tidur, Oriza sempat minta dibelikan baju pernikahan.
Dia bilang mau menikah,” tutur Rahono. Tentu saja, perkataan Oriza tersebut
membuat bingung kedua orang tuanya. Bocah seusianya tak selayaknya minta
dibelikan baju pengantin dan menikah. Istiana pun berujar, "Hus, tidak boleh bilang seperti itu.
Kamu kan masih kecil." Ternyata firasat itu benar. Baik Rahono maupun
Istiana tak menyangka jika sang putri begitu cepat pergi. (RES-)
0 comments:
Post a Comment