Thursday, 4 August 2016

Sempat Ingin Dibelikan Baju Pengantin


  • Balita Korban DBD


KEHILANGAN anak terakhir yang periang, mandiri, serta grapyak, tentu sangatlah sedih bagi seorang ibu. Terlebih jika meninggalnya karena demam berdarah dengue (DBD). Ia adalah Istiana (44), ibu rumah tangga yang berduka ditinggal mati putri bungsunya, Oriza Satifa Nursifera (4,5). Musibah itu membuat trauma setiap kali nyamuk hinggap di kulit Istiana.
Rumah perempuan paruh baya itu tak jauh dari palang pintu rel kereta di Jalan Sadewa Semarang. Suasana duka masih tampak. Di teras terdapat etalase berisi barang yang belum sempat dibereskan, karena baru beberapa minggu yang lalu anak keduanya, Dandy Dwi (17), juga masuk rumah sakit karena sakit yang sama.
Dengan mengenakan daster, Istiana mempersilakan penulis masuk ke rumah yang tak terlampau luas. Rumah itu di Jalan Sadewa Utara I Nomor 10, Kelurahan Pendrikan Lor, Kecamatan Semarang Tengah. Di rumah bercat biru itu, Istiana tinggal bersama suami, Rahono (46), dan ketiga anaknya. Suara kipas angin dan televisi yang dibiarkan menyala mengiringi curahan hatinya kepada penulis.
Wanita yang akrab disapa Ana itu mulai bercerita. Dia merasakan badan Oriza panas pada Kamis (28/7). Dengan panik ia membawa ke bagian Balai Klinik Ibu dan Anak (BKIA) di Puskesmas Poncol. “Saat itu diagnosa dokter mengarah pada penyakit amandel. Dokter bilang, kalau amandelnya mengecil panas akan turun. Ya sudah, saya kasih obat dari dokter saja,” ujar ibu empat anak tersebut.
Ia mengatakan, pada Jumat (29/7) Oriza sudah kembali sehat dan beraktifitas seperti biasa. Bahkan, sudah kembali bersekolah di Paud Kenanga Pendrikan Lor, dan sempat dititipkan oleh ibunya di TK Aisyiyah Bustanul Atfal 1 (TK ABA 1). Namun saat malam, badan bocah itu kembali panas dan langsung dibawa ke puskesmas bagian BP Umum.
Dokter langsung menyarankan agar Oriza dibawa ke rumah sakit untuk dirawat. Akhirnya, dokter memberi rujukan ke RS dr Kariadi Semarang. Dalam perjalanan, pandangan mata Oriza sudah tidak fokus (melihat ke kanan dan ke kiri-red). Saat itu, kondisi trombosit bocah periang itu sudah rendah, hanya 100.000 dari jumlah normal 500.000. Baru setelah masuk ke ruang Intensive Care Unit (ICU), Oriza mendapatkan bantuan infus. Keadaannya mulai membaik.
Namun, pada Minggu (1/8) pukul 03.00, Oriza dinyatakan meninggal dunia. Tentu saja hal itu membuat Ana dan keluarga kaget. Dokter mengabarkan, virus DBD menyerang organ dalam putrinya. Saat diobati, virus tersebut susah dimatikan. Keadaan Oriza memburuk. “Berbagai cara sudah dilakukan dokter. Bahkan, obat yang diberikan tak mampu lagi menjadi tameng. Anak saya tetap tidak tertolong. Oriza meninggal,” ujar Ana lirih.
Saat menuturkan kalimat itu, nafas Istiana tak beraturan. Dia menarik nafas panjang sebelum akhirnya terdiam. Pandangan matanya mengisyaratkan dia sedang membayangkan wajah sang putri bungsu.
Firasat akan kehilangan Oriza sempat dirasakan Rahono dua hari sebelum putrinya meninggal. “Saat bangun tidur, Oriza sempat minta dibelikan baju pernikahan. Dia bilang mau menikah,” tutur Rahono. Tentu saja, perkataan Oriza tersebut membuat bingung kedua orang tuanya. Bocah seusianya tak selayaknya minta dibelikan baju pengantin dan menikah. Istiana pun berujar, "Hus, tidak boleh bilang seperti itu. Kamu kan masih kecil." Ternyata firasat itu benar. Baik Rahono maupun Istiana tak menyangka jika sang putri begitu cepat pergi. (RES-)
Share:

0 comments: