Wednesday 21 December 2016

Catatan Kecil: 21 Warna

Segalanya runtut dan rapi dalam satu hari. Sempurna. Aku hampir tak ingin membiarkan hari ini berakhir. Kau, keluargaku, keluargamu, dan teman-temanku membuatku menjelma menjadi tuan puteri istana.

Aku masih mmabuk kue ketika semua kado tumpah di tempat tidurku. Rasanya aku langsung ingin berbaring, sepakat dengan lelah. Dari sekian banyak kado yang ruah di atas seprai, aku memperhatikan sebuah kebaya putih lengkap dengan jarik sebagai bawahannya. "Ini kebaya keluarga yang dulu dipakai Ibu," ucapmu ketika hadiah itu kau pindah-tangankan.

Bahagiaku berlipat-lipat-lipat-lipat-lipat ganda.

Terima kasih: Ibu, Bapak, Mbak  Nisa, Mamas, Ibu, Papah, Titah, Vero, Yayang, Nunu, Fahmi, Hadi Fandi, Wahyu, Aris, dan semua yang tak bisa kusebut satu per satu.

21 Desember 2016

Salah satu warna dalam 21 warna, sebuah lagu karya Mamas You're 


Share:

203 #21



Jarak bukan temanku. Dia terlalu sukar untuk dikejar. Yang aku tahu, Jarak berteman baik dengan Rindu. Jika Jarak susah dikejar, maka Rindu susah dibayar. Tak cukup harta melimpah, yang sering dijadikan syarat oleh wanita untuk lelakinya. Padahal harta tak cukup membayar Rindu, kendati aku tak sanggup memberimu harta. Tetapi aku yakin, aku bisa membayar Rindu untukmu. Aku bisa mendekati Jarak untuk mengenalkan Rindu padaku. Ya! Begitu aku kenal dengan Rindu, aku akan membelinya untukmu. Tenang, sayang, aku pasti bisa. Namun jika ada kata yang lebih mahal dari Rindu, aku akan bekerja lebih giat agar mampu menebusnya untukmu, Sayang. Lalu akan kukirimkan padamu, agar kau bisa menyimpannya. Lalu kita bercinta.

“Aku hidup untukmu”
Pangkah, Tegal, 1-11-16

 Adji G. Rinepta


Share:

Tuesday 22 November 2016

203 #20



Senin pertama November. 

Baru kali ini aku mendapat surat cinta di jaman yang bahkan orang hampir lupa bahwa kantor pos masih ada. Tak hanya lembaran kertas dengan kalimat rindu yang memabukkan, namun kau sertakan jiwamu ke dalam amplop dan berbaur dengan kertas seadanya.

Membaca suratmu seperti sedang membaca rindu yang mengepungmu. Tak ada jalan bagimu untuk sembunyi. Tak ada jalan bagimu untuk keluar dari arena. Skak mat. Tak ada yang bisa melindungimu. 

Aku takut kau mati dalam kerinduan. Tetapi, rindu tak sekejam nasi, air, dan cemilan lain yang mampu membunuh dalam kehampaan kurang dari 45 hari. Rinduku dan rindumu seperti air dari selang yang mampu merawat tanaman bonsai bapakku. Rinduku dan rindumu menjelma menjadi batu-batu karang yang disulap menjadi pot bonsai antik oleh bapakku yang terkadang beralih fungsi menjadi tempat tidur kucingku. Melihat bapakku seperti melihat kamu dalam kemasan yang ‘sedikit’ berbeda. Ah, rinduku meluber kemana-mana.

Senin pertama November.

Aku yang baru selesai mandi dan masih wangi, menerima sepucuk surat terbungkus amplop coklat yang kukira gaji liputan. Aku tadinya bahagia, tetapi setelah tahu itu bukan gaji dan ternyata surat rindu darimu yang sedang berjarak sekitar lima hingga enam jam dariku, aku lebih bahagia.

Kau mencicil rindu. Kini giliranku.


Aku diburu rindu. Diserbu hingga beku...

 
November 2016
Kulepas kau di ujung gang. Kunanti kau di ujung gerbang.
Share:

Thursday 3 November 2016

Tentang Obrolan di Meja Makan



Masing-masing dari kami akan merindukan obrolan di meja makan…

Tak hanya suara sendok-garpu yang beradu dengan piring. Selalu saja ada cerita yang bahkan membuat irama sendok-garpu-piring itu nyaris tak terdengar. Mulai dari cerita tentang program kerja, hingga perdebatan tentang sebutan nama untuk anak kera yang tak habis-habisnya. Di piring kami selalu tersedia sepiring cerita dengan sayur tawa dan lauk gurau. Lengkap dengan es canda yang tetap hangat meski dicampur es batu. Ya, masing-masing dari kami akan merindukan obrolan di meja makan.

Bagi kami, tak cukup hanya tiga kali sehari. Saat tak sedang makan pun, tak jarang kami menggunakan meja makan sebagai tempat favorit kami untuk berbincang. Meja berbentuk segi empat dengan taplak berwarna biru tua yang terkesan tak pernah diganti itu, harus lengkap dipadukan dengan sembilan kursi plastik berwarna hijau yang mengelilingi meja dan tumpukan piring berjumlah sembilan pas di atas meja.

Kami yang tak pernah saling mengenal sebelumnya mendadak menjadi sekumpulan manusia dengan berbagai karakter yang justru membuat kami amat sangat klop. Mulai dari Aris yang bijak, katanya, Hadi yang tanpa berbicara pun bisa membuat kami semua tertawa, Fandi yang begitu terobsesi dengan BJ Habibie, Fahmi yang otaknya mampu menampung segala macam ilmu, Wahyu yang seperti ibu bagi kami, Yayang yang siap sedia di dapur, Nunu yang mahir dalam perbendaharaan uang, dan Vero yang mengajarkan kami tentang kesabaran. Mungkin benar, jika seseorang pernah mengatakan bahwa perbedaan justru menyatukan. 

Saya bersyukur dipertemukan dengan mereka. Pun saya bersyukur ditempatkan di desa yang tak terjangkau sinyal internet. Jika tidak, mungkin akan lain cerita. Bisa saja, tak akan ada obrolan di meja makan. 

Setelah ini, kapan lagi kita akan menikmati obrolan di meja makan?


Oktober 2016
Aku menyayangi mereka dengan kadar yang kutakar sendiri.
Tak ada yang timpang sebab segala telah ditimbang.
Tetaplah rukun hingga kapanpun.


Share:

Friday 28 October 2016

203 #19



Kertas-kertas berserakan, laptop masih menyala dengan alunan lagu yang sengaja kau setel lirih, serta asbak yang penuh putung rokok. Kau? Lagi-lagi kau tertidur di sofa, kelelahan menungguku pulang. Maaf sayang, bahkan untuk mengingatkanmu membawa bantal dan selimut pun aku tak sempat. Ijinkan aku merapikan pekerjaanmu. Biarkan aku membawakan bantal dan selimut untukmu selagi aku memasak, menyiapkan makan malam kita yang sudah sangat terlambat. Aku janji, akan kubangunkan kau dengan pelukan dan ciuman untuk makan malam di tengah malam kita.
 
Aku yang bepergian, kau yang mengantarkan.
Aku yang kebingungan, kau yang menenangkan.
Aku yang kepanasan, kau yang mencairkan.
Aku yang kekanakan, kau yang mendewasakan.
Aku yang pecicilan, kau yang penuh pemakluman.

Sesekali aku membenarkan letak cincin di jari kiriku yang sebenarnya tak salah apapun. Entah karena gugup atau salah tingkah. Kubiarkan hujan turun dari mataku yang sudah sedari tadi mendung. Tak ada sanggahan yang keluar dari mulutku, karena memang tak ada yang perlu disanggah.  Hanya sesenggukan tak beraturan yang mengiringi ceriteramu. Sore itu, kau menguasai panggung kita.

Aku yang membuat kesalahan, kau yang coba membenarkan.

Aku selalu tahu, setelah itu kau akan memelukku lembut. Pun aku selalu tahu, kau tak pernah ingin meihatku dalam keadaan seperti itu. “Kau harus tahu, dalam hatiku bergetar waktu kutahu kau terluka saat aku buatmu menangis, buatmu bersedih, inginku memelukmu dan ucapkan maaf. Maafkan aku,” ucapmu bersekongkol dengan Jan melalui lagu.

Kau selalu berhasil mebuatku tak ingin melepaskanmu yang penuh cara unik untuk tak melepaskanku.

Hari ini aku pulang, tak lagi meriang.
Minggu depan, giliran kau yang pergi, aku meriang lagi—


Semarang, 20 Oktober 2016
Kau tertidur pulas ketika aku sedang mengeja rindu-rinduku.
Kupandang lamat-lamat rautmu yang kelelahan menghitung rindu yang belum selesai kau jumlahkan.
Aku berani taruhan, rinduku dan rindumu akan seimbang jika ditimbang.
“Tuhan, ijinkan aku memiliki lelaki ciptaan-Mu yang paling menawan ini,” ucapku membiarkan rindu kita berbaur hingga tak mampu dihitung dengan kalkulator merek apapun.

Share:

Friday 14 October 2016

203 #18




Suaramu membawa rindu-rindu ini kian memuncak. Merdu. Layaknya kicau burung yang menandakan bahwa malam telah berganti pagi. Aku menikmatinya sambil memejamkan mata. Suaramu menyiksa dan mencumbuku bersamaan, menjadikan rindu tak habis ini menjadi puing-puing puisi pagi.

Aku menciumi aromamu di tiap goresan tinta hitam yang beradu dengan kertas putih bergaris. Miris. Tak ada yang benar-benar mengobati ini. Tulisan-tulisan ini hanyalah obat penenang yang bekerja kurang dari 24 jam.

Kau, seperti film yang tak pernah bosan kuputar berulang-ulang. Seperti buku yang tak pernah jenuh kubaca berpuluh-puluh. Seperti puisi yang tak pernah habis kutulis. Sebab, selalu ada hal baru yang kutemui tiap kali menyentuh kembali. Kau, candu—



September 2016
Aku meriang, ingin cepat pulang—
Share: