Friday, 29 September 2017

720

Di dua belas pagi,
Kubangunkan kau lewat kejutan
yang itu lagi-itu lagi,
Sambil terus mengucap semoga,
Kau meniup lilin muram di hidupmu yang terang,
Tak perlu lilin,
Tak perlu nasi kuning,
Sebab aku masih bisa mengucap semoga,
Untukmu yang lebih dewasa dan memesona.



30/09/17
Berbahagialah, sebab 30 September tak hanya milik G30S/PKI.
Share:

Thursday, 28 September 2017

Maaf yang Gagal

Kau gigil
di dini yang lengking,
Aku gagal
di petang yang lengkung.
***

Seorang Muda terduduk lesu di tepian ranjang yang kusut. Suara adzan tak mampu meluruskan pikirannya yang kalut. Tampaknya, ia merasa menjadi pria paling berdosa karena menjadi penyebab kemurungan seorang gadis.

Ia sudah tahu betul hal ini akan terjadi. Tetapi, kini ia sadar, hidup ini tak cukup hanya dengan membayangkan yang akan terjadi. Tak ada simulasi. Tak ada geladi bersih.

Maaf.

Ucapnya dalam hati.

"Kupikir, semua akan menjadi lebih baik jika semua berakhir. Ternyata aku salah," ia gemetar ketika suara dering sudah berhenti dan terdengar merdu, "Halo," yang begitu akrab di telinganya.

"Aku merasa lebih gagal sekarang," suaranya tampak terengah.

"Jangan bertingkah seenaknya, seolah cuma kau yang punya kuasa,"  suara si gadis yang penuh kemarahan dan sisa tangisan terdengar lebih berani dari biasa.

Tut tut tut. 

Suara telepon ditutup.

Ada luka menganga di gerak tangan si gadis yang menutup telepon tiba-tiba. Sempurna sudah gagalmu, wahai Seorang Muda.



28/09/17
Share:

Wednesday, 27 September 2017

Embara

Kutemui pagi yang muram
di sekujur tiket perjalanan
dan koper biru lebam,
Sementara di seberang jalan
ada air mata kehilangan.

***
Yang paling tak masuk akal dari tandasnya asmara adalah jarak yang membentang dan rindu yang tak lagi garang. Kau, dan tiket yang kau jadikan senjata, menusukku tiba-tiba. Sungguh, segala bahagia yang kau jejalkan, ingin buru-buru kumuntahkan.



28/09/17
Pada badan pesawat di langit biru yang memelukmu —yang tak lagi memelukku.
Share:

Tuesday, 26 September 2017

Mojito

Sesegar mojito,
Asammu yang malu-malu
kubalas dengan pahitnya bacardi,
Sungguh,
Kau ini,
Sensasi yang membikin aku jatuh cinta berkali-kali.


24/9/17
Teguk pertama, aku mabuk pesona. Teguk kedua, ada keunikan yg memesona. Teguk ketiga, kuingin tambah lagi-tambah terus.
Mojito berupa kamu, cuma milikku.
Segar ini pas! 🍃

Share:

Bimsalabim! Sembuhlah luka tanpa banyak cara

Sungguhpun 
hancur mumur 
segala rasa hati Tuan,
Biarlah biar
ampun pangkas sisa rasa
ampun berpayah-payah,
Sebab perihal sembuh luka
hati seorang yang tahu cara.

***

Anak muda, putus cinta adalah hal biasa. Perpindahan dari fase berbunga-bunga ke gugur bunga secara tiba-tiba tentu mengagetkan, bukan?
Pernah kudengar, ada seorang wanita yang mencoba mengakhiri hidupnya karena sang kekasih pergi ketika ia sedang sayang-sayangnya. Ada juga, seorang remaja yang dengan cepat mendapatkan pengganti padahal baru kemarin hubungannya tandas. Satu lagi, si gadis yang urung makan karena tak bersemangat melakukan apa-apa pascaputus.
Setiap orang memiliki tingkat kepatah-hatian yang berbeda. Pun aku.
Banyak sekali cara agar luka cepat sembuh. Tapi, tahukah? Tak ada cara paling ampuh selain membiarkan apa-apa berjalan tanpa dipaksa. Tak perlu barpayah melupakan dia, karena justru membuatmu lebih mengingatnya. Cukup. Biarkan otakmu berjalan seperti biasa, lakukan hal lain. Dengan begitu, tanpa usaha keras, ingatanmu perlahan akan melupa tentangnya.

23/09/17
Share:

Friday, 22 September 2017

Karma—

Pada jenggala gala
yang kejam dan tumpat makna
Kutitipkan bening-benang luka
yang gemuruh guruh

Jika tiba petuah tuah
rasuk dari tepi-ke hati-ke diri
Lingkuplah jerit-sakit, rintih-tindih
Seluruh luruh
pergi jauh

***

"Dari sekian ratus janji yang kau percayai, tak satupun keluar dari hati," pengakuanmu mengandung racun yang membunuhku perlahan.

"Jangan berharap lebih," sinismu lagi.
"Aku tak pernah menyayangimu," lagi.

Sudah. Cukup.

"Meski kelihatannya demikian."

Cukup.

"Pergilah. Aku tak butuh kau, meski kau butuh aku sangat," ia berbalik membelakangiku, kakinya tampak selangkah menjauh dariku.

"Ah, satu lagi ...,"

Tolonglah.

"Jangan pernah mencari pengganti sepertiku. Itu terlampau sulit untukmu," senyum kecutmu yang tanpa dosa itu membuatku tampak bodoh. Punggungmu terlihat menjauh.

Aku yang mudah percaya, menjadi sanksi dengan apa yang baru saja terjadi.

Rasa menangmu yang angkuh kala lukaku tumbuh itu sungguh memuakkan. Berhari-hari aku merasa seperti pecundang, diam dalam kekalahan yang sebenarnya bisa kubalas kejam. Bisa saja kukempeskan ban mobilmu, kuteror kau melalui pesan berantai, atau kubakar rumahmu di dini hari. Tetapi, aku bukan pendendam.

Kelak, jika kau merasa dibalas —entah oleh siapa, itu bukan aku, melainkan sumpahmu.



22/9/17
Share:

Wednesday, 20 September 2017

203 #30

"Selamat, sudah setengah perjalanan menuju ke —yang lebih— nganu," lirihnya di riuh jalanan Sekaran. Tangannya mengelus tanganku perlahan. Sungguh, keromantisan di bawah komandoku ini tampak 'sedikit' menyiksanya.

Kuingin tertawa. Tapi, dia sudah setengah mati membangun keromantisan yang tak ada romantis-romantisnya sama sekali.

Hahahahahahaha. Ups, kelepasan.

"Semoga nggak jadi 'jagain jodoh orang', ya," timpalku mengundang gelak hahahahahahaha kami yang tak perlu lagi ditahan.

Setelah itu kami tenggelam. Saling mengucap amien diam-diam.

Untuk kali kesekian, tak ada perayaan besar-kecil-an. Hubungan yang tidak sebentar ini sudah bukan tentang memohon untuk tak saling meninggalkan, tetapi tentang berkomitmen agar tetap dalam dekapan. Kami saling teritorial tanpa melupakan akal.

Kalau kembali menengok ke belakang, rasa-rasanya mustahil jika tidak senyum-senyum sendiri. Entah karena gemas atau sinis. Dulu, banyak orang menyumpahi agar kami tak sama-sama lagi. Meski belum bisa sepenuhnya membunuh doa mereka, setidaknya masing-masing dari kami telah berada pada pencapaian yang tak terduga.

Tiga puluh —dua-setengah tahun— sudah.

Tentang segala serapah yang malah membikin kami lebih betah. Yang abunya menambah corak warna-warni kami sepanjang sejarah. Kami terus rekah.





September 2017
Mengintip tiga yang semakin mengajak dewasa.
Share:

Sunday, 17 September 2017

203 #29

Si flamboyan itu memang bajingan. Sebab di tangannya, gandrung ini purnazaman. 

***
Ada jarak setinggi 26cm yang rasa-rasanya membikin kami tampak aneh ketika bersebelahan. Tetapi, tak tahukah kalian? Ketika kami berpeluk, detak jantungnya tepat di telingaku.

Aku adem dalam peluk gratis tanpa tanda bintang, tanpa syarat dan ketentuan, tanpa harus beli ini-itu duluan.

"Kau bukan penyair culas, kekasih
Cuma penyihir yang melintas ketika aku ringkih"
—Sitok Srengenge

***
Sesekali ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, "Hah, sudah mulai ganggu ini rambut," kesal ia mengumpat tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

Aku gemas tiap kali mendengar ia mengeluh begitu.

Aku suka rambutnya yang bergelombang mulai memanjang. Panjangnya sudah melebihi bahu. Tiap kali diboncengnya, aku selalu bisa mengendus aroma rambut wanginya yang tak cukup ditampung helm.

Sambil gelendotan dan berpengangan erat, aku nyaman di punggungnya sambil senyum-senyum kasmaran. "Kamu ngapain senyum-senyum sendiri?" tebakannya yang presisi itu kuanggap sebagai suatu kebetulan.

Aku hanya tertawa kecil dan membenarkan posisi boncengku.
Tangannya menarik tanganku agar memeluknya lebih erat. Aroma rambut berpadu dengan jaket semakin membikin aku kasmaran.

"Sungguh, jika ini benar cinta, aku tak takut jatuh lagi."
—Moammar Emka

***
[Bilur]
Sebab ruammu lebamku
Aku kantuk dalam elegi sendu
Kuingin serupa jenggala yang merdu
Membusung dalam sesat yang biru




Agustus 2017
Aku senang tersesat dalam kamu.


Share: