Pada jenggala gala
yang kejam dan tumpat makna
Kutitipkan bening-benang luka
yang gemuruh guruh
Jika tiba petuah tuah
rasuk dari tepi-ke hati-ke diri
Lingkuplah jerit-sakit, rintih-tindih
Seluruh luruh
pergi jauh
***
"Dari sekian ratus janji yang kau percayai, tak satupun keluar dari hati," pengakuanmu mengandung racun yang membunuhku perlahan.
"Jangan berharap lebih," sinismu lagi.
"Aku tak pernah menyayangimu," lagi.
Sudah. Cukup.
"Meski kelihatannya demikian."
Cukup.
"Pergilah. Aku tak butuh kau, meski kau butuh aku sangat," ia berbalik membelakangiku, kakinya tampak selangkah menjauh dariku.
"Ah, satu lagi ...,"
Tolonglah.
"Jangan pernah mencari pengganti sepertiku. Itu terlampau sulit untukmu," senyum kecutmu yang tanpa dosa itu membuatku tampak bodoh. Punggungmu terlihat menjauh.
Aku yang mudah percaya, menjadi sanksi dengan apa yang baru saja terjadi.
Rasa menangmu yang angkuh kala lukaku tumbuh itu sungguh memuakkan. Berhari-hari aku merasa seperti pecundang, diam dalam kekalahan yang sebenarnya bisa kubalas kejam. Bisa saja kukempeskan ban mobilmu, kuteror kau melalui pesan berantai, atau kubakar rumahmu di dini hari. Tetapi, aku bukan pendendam.
Kelak, jika kau merasa dibalas —entah oleh siapa, itu bukan aku, melainkan sumpahmu.
22/9/17
0 comments:
Post a Comment