Sunday, 17 March 2013

Resep: Nasi Goreng Bungkus Telur Dadar.

Halooooo..
Kali ini aku nggak nge-share tentang sajak, prosa, atau FF yaaaa.
Aku mau nge-share resep masakan niiiih.
Biasa sih, tapi di bikin inovasi aja hehehe...

Nasi Goreng Bungkus Telur Dadar. Here we go!!!



Nasi goreng yang dibungkus dengan telur dadar cocok dijadikan bekal atau jadi menu sarapan yang unik. Membuatnya tidak sulit, yuk dicoba yuk!

Bahan Nasi Goreng:
1.  200 gram nasi putih
2.  1 buah sosis rasa ayam atau sapi, iris bulat sesuai selera
3.  1 sdm kacang polong
4.  2 siung bawang putih, haluskan
5.  3 siung bawang merah, iris halus
6.  1 buah cabai merah, iris tipis
7.  Kecap manis secukupnya
8.  1/2 sdt minyak wijen
9.  1 sdm saus tiram
10.  Garam secukupnya
11. Sedikit merica
12. Minyak goreng secukupnya

Bahan Telur Dadar:
1. 3 butir telur ayam
2. Garam secukupnya
3. 2 sdm air

Cara Membuat Nasi Goreng:
  1. Panaskan minyak, tumis bawang merah dan bawang putih hingga harum.
  2. Tambahkan sosis, kacang polong dan cabai merah, aduk rata.
  3. Tuang nasi ke dalam wajan. Tambahkan garam, merica minyak wijen, dan saus tiram.
  4. Masak hingga bumbu tercampur rata dan matang. Angkat, sisihkan.
Cara Membuat Dadar & Penyajiannya:
  1. Kocok telur hingga rata.
  2. Tuang kocokan telur di atas wajan dadar 30 cm, tunggu setengah matang lalu tuangkan nasi goreng yang sudah matang  di atas telur setengah matang
  3. Lipat telur, hingga bagian tepi melekat.
  4. Tungggu hingga matang.
  5. Sajikan di atas piring atau bisa juga sebagai bekal.
  6. Lezat disajikan dengan saus tomat yang dituang di atas dadar.

Mudah kaaaan?
Selamat mencoba :)


Semarang, 18 Maret 2013,
    - Resla Aknaita Chak []
Share:

Thursday, 14 March 2013

"Ruangku, milikmu...."


     Hai, selamat datang disini…
     ...
     Di ruang gelap yang tak bisa kutafsirkan lagi ukuran lebar, panjang, tinggi, hingga luasnya. Entah sudah sejak kapan aku meng-iya-kan kelancangannya untuk tinggal. Sehingga membuatnya tuman, menganggap seolah tempat tersebut telah berpindah tangan, menjadi hak miliknya.
     Mengobrak-abrik. Mengendalikan system kerja didalamnya. Seenaknya membuat rindu, terkadang pilu, tak ketinggalan cemburu, hingga sendu. Mengais apapun yang masih tersisa disana. Memungutnya. Membuang jauh-jauh. Dan memastikannya untuk tak lagi kembali. Biar. Biar saja begitu. Biar hanya dia saja yang tinggal disana.
     Mencari sesi untuk mencintai. Mengambil hati supaya dicintai. Menyatukan keduanya agar bisa saling berbagi. Ini tentang hati yang saling mengisi. Tentang rindu yang sedalam kalbu. Dan tentang tangis yang tak selamanya tragis.
     Aku tak tahu aku yang ke-berapa untuknya, aku tak peduli. Yang jelas ia yang pertama disini. Meski ia sempat tersaingi oleh hati yang lain, namun ia tak pernah pergi. Ia hanya tertumpuk, terimbun oleh hati lain yang numpang tinggal. Awalnya samar hingga ke dasar, kemudian seperti biasa, ia kembali terpapar.
Inikah cinta pertama?
    Cinta yang tak pernah hilang meski telah tergantikan. Cinta yang sulit terucap namun bukan rasa sekejap. Aku memujanya diam-diam. Menjadi seseorang yang setia hadir meski dengan embel-embel per-teman-an.
Ah, teman. Pahit sekali rasanya.
    Aku yang terlalu lebar membuka pintu, atau dia yang terlalu lancang mengambil langkah masuk?
Ia seperti memiliki kunci khusus yang mampu membuatku –sebagai pemilik- tak hanya mengijinkannya masuk, tetapi sekaligus menikmati fasilitas disana.
    Kasih sayang, perhatian, kerinduan, amarah, cemburu, risau, adalah bagian terkecil dari fasilitas tersebut.
Aku ingat betapa waktu itu ia berhati-hati memohon padaku untuk membuka pintu. Tanpa kutahu bahwa ia punya kunci yang sebenar-benarnya kunci.
    “Aku menyayangimu. Menjadikanmu bagian dari hidupku tentu saja akan membuat hidupku lengkap.” begitu kira-kira.
    Tidak ada kalimat tanya disana. Tapi entah kenapa aku menjawab “Ya”. Membuat jawaban tanpa ada pertanyaan.
    Itu dia kuncinya. Ia cukup punya pernyataan dan bukan pertanyaan yang mampu membuatku buru-buru meng-iya-kan.
    Haaaahhhhh. Bisakah aku memberi jeda pada bagian ini? Rasa-rasanya ada bibit yang tumbuh lagi didalam sana. Bisa-bisa aku punya taman bunga sendiri nanti.
    “Kau melintas tiap aku merenung. Bagaimana aku tak rindu?”
    Katanya tiba-tiba. Disela hujan, dibawah pohon beringin, memecah 15 menit sunyi yang sedari tadi beku.
    Aku diam.
    “Sesak karena rindu. Kau seperti oksigen setelahnya, saat kita kembali bertemu.”
    Aku masih diam.
    “Kita…. Terlalu lama berteman. Dan memuja diam-diam.”
    Masih membuatku tak bergeming.
    “Aku menyayangimu. Menjadikanmu bagian dari hidupku tentu saja akan membuat hidupku lengkap.”
    Klik!
    Pintuku terbuka tanpa ijin.
    “Ya.” Kataku pelan.
    Ia menoleh.
    Spontan, aku menutup mulut dengan kedua tanganku. Menunduk. Aku tak punya nyali sekalipun untuk menatap matanya. Rumput dibawah kakiku sepertinya lebih mudah dihadapi.
    Aku melirik sebentar ke arahnya.
    Ia tersenyum.
    Ku perbaiki posisi tanganku. Dan kembali menatap hujan yang telah menjadi gerimis kecil, bersamanya. Hanya ada suara rintik.
    Bahagia? Tentu saja.
    Kukira cuma aku yang memujanya. Nyatanya aku dan dia sama-sama saling memuja. Dalam diam. Dalam embel-embel per-teman-an.
    Biar. Biar saja begitu.
    Ia orang pertama yang berhasil membuat jantungku cerewet, hilang kendali, seperti kehilangan jiwa warasnya.
    Sekarang, kupercayakan tempatku ini –milikku yang paling berharga- menjadi tempat tinggalnya.
    Tinggal-lah. Dan selamanya tinggal. Disini. Dalam hati.


(FF 500 kata, termasuk judul)



Semarang, 27 Februari 2013.
    –Resla Aknaita Chak []
Share:

Sunday, 10 March 2013

"Selamat Tinggal, Wahai Hati yang Seharusnya Tetap Tinggal..."

Bukan aku yang menginginkannya. Bukan. Tapi hatiku.
Hatiku sudah terlalu sendu untuk sebuah cinta yang semu.
Hatiku sudah terlalu pilu untuk sebuah rindu yang terlalu menggebu.
Hatiku sudah lelah menunggu untuk sebuah hati yang tak kunjung merindu.
Hatiku sudah terlampau risau untuk di gerayangi cemburu.

Rinduku tak pernah usai. Pun tak pernah benar-benar ter-tawar. Hatiku terlanjur mengambil keputusan sebelum rinduku sempat tertumpahkan.
Rinduku biar saja tetap menjadi rindu. Toh, nantinya akan mengembun sedikit demi sedikit.

Bukan salahmu.
Bukan salahku.
Bukan salah jarak.
Bukan salah siapa-siapa.

"Cinta yang tak lagi sama." pikirku.
"Lalu, ada berapa macam cinta? Sampai-sampai cinta kita sudah bebeda? Dan tak lagi sama?" tanyaku pada hatiku sendiri.

Aku muak.

Air mataku tak pernah benar-benar meluap. Hanya mampir lewat di sudut mataku. Gantinya adalah rasa sesak disini, dalam hati.

Aku seperti berjuang sendirian. Merindu sendirian. Sakit sendirian.
Aku kehilangan.
Lalu, apakah kau juga merasakan kehilangan yang sama?
Atau lagi-lagi, cuma aku saja yang merasakannya?

Inikah rasanya tersia-sia?



Semarang, 11 Maret 2013

 -Resla Aknaita Chak []
Share:

Wednesday, 6 March 2013

Pada Akhirnya, Aku Melihat Batasnya Juga

Kukira tak ada batas. Tapi aku salah. Kini, aku melihat batas itu.
Batas di mana sabarku dapat bertahan.
Batas di mana aku sudah harus berhenti. Tak perlu melewati apalagi melanjutkan.

Aku tak tahu harus melakukan apa. Apakah aku harus mundur atau maju sampai semampuku?
Tapi, aku memutuskan untuk diam saja. Ditempatku. Tak perlu melangkah maju, apalagi mundur. Karena memang tidak ada yang mampu membuatku mundur dari sabar yang sudah kubuat sendiri.
Satu-satunya cara agar aku bisa mundur adalah: kau.

Aku lelah, aku menyerah.
Jarak-lah pemenangnya.

Dan saat malam dimana aku telah melihat dengan jelas batas itu, aku paham, sejauh mana aku mampu bertahan dalam jarak yang -kenyataannya- masih terhingga ini.

Jika kau menginginkanku, tarik saja aku sampai aku tak -perlu- lagi melihat batas itu. Itupun kalau kau ingin...



Semarang, 07 maret 2013

Share:

Friday, 1 March 2013

Ketika Sabarku Dibalas dengan Kejenuhanmu

Aku menunggumu. Menunggumu pulang ke kotaku.
Seketika aku menjadi orang yang paling bahagia saat kau datang.
Sebisa mungkin tak kubuat pertengkaran dalam setiap kesalahan kecilmu. Kenapa? Karena aku ingin ke-utuh-an dalam jarak yang tak terhingga ini.

Jika aku hanya meminta sebuah perhatian darimu, apakah permintaan itu terlalu tinggi?
Lalu jika aku hanya meminta pengertianmu saja, apakah permintaan itu juga terlampau tinggi?
Kumohon, jangan bilang lagi itu terlalu tinggi...

Seketika satu kata itu membuatku menyerah...
"Jenuh"
Bisa-bisanya kau merasakan kejenuhan saat aku bersusah payah membangun sabar.

Sekarang, aku hanya menjawab apa yang harus aku jawab. Tanpa banyak bertanya. Tanpa banyak meminta....

[*]
Telah jauh kumendaki, sesak udara di atas puncak khayalan..
Telah jauh kuterjatuh, pedihnya luka di dasar jurang kecewa...
Dan kini sampailah aku disini yang cuma ingin diam, duduk di tempatku..
Menanti seorang yang biasa saja.
Segelas air di tangannya kala ku terbaring, sakit...
Yang sudi dekat, mendekap tanganku.
Mencari teduhnya dalam mataku, dan berbisik, "Pandang aku, kau tak sendiri, Dewiku...."
Menentang malam, tanpa bimbang lagi
Demi satu Dewi yang lelah bermimpi, dan berbisik, "Selamat tidur, tak perlu bermimpi bersamaku..."



Semarang, 02 Maret 2013



  -[*] penggalan lagu Dee 
Share: