Hai, selamat datang disini…
...
Di ruang gelap yang tak bisa
kutafsirkan lagi ukuran lebar, panjang, tinggi, hingga luasnya. Entah
sudah sejak kapan aku meng-iya-kan kelancangannya untuk tinggal.
Sehingga membuatnya tuman, menganggap seolah tempat tersebut telah berpindah tangan, menjadi hak miliknya.
Mengobrak-abrik. Mengendalikan system kerja didalamnya. Seenaknya membuat rindu, terkadang pilu, tak ketinggalan cemburu, hingga sendu. Mengais apapun yang masih tersisa disana. Memungutnya. Membuang jauh-jauh. Dan memastikannya untuk tak lagi kembali. Biar. Biar saja begitu. Biar hanya dia saja yang tinggal disana.
Mencari sesi untuk mencintai. Mengambil hati supaya dicintai. Menyatukan keduanya agar bisa saling berbagi. Ini tentang hati yang saling mengisi. Tentang rindu yang sedalam kalbu. Dan tentang tangis yang tak selamanya tragis.
Aku tak tahu aku yang ke-berapa untuknya, aku tak peduli. Yang jelas ia yang pertama disini. Meski ia sempat tersaingi oleh hati yang lain, namun ia tak pernah pergi. Ia hanya tertumpuk, terimbun oleh hati lain yang numpang tinggal. Awalnya samar hingga ke dasar, kemudian seperti biasa, ia kembali terpapar.
Inikah cinta pertama?
Cinta yang tak pernah hilang meski telah tergantikan. Cinta yang sulit terucap namun bukan rasa sekejap. Aku memujanya diam-diam. Menjadi seseorang yang setia hadir meski dengan embel-embel per-teman-an.
Ah, teman. Pahit sekali rasanya.
Aku yang terlalu lebar membuka pintu, atau dia yang terlalu lancang mengambil langkah masuk?
Ia seperti memiliki kunci khusus yang mampu membuatku –sebagai pemilik- tak hanya mengijinkannya masuk, tetapi sekaligus menikmati fasilitas disana.
Kasih sayang, perhatian, kerinduan, amarah, cemburu, risau, adalah bagian terkecil dari fasilitas tersebut.
Aku ingat betapa waktu itu ia berhati-hati memohon padaku untuk membuka pintu. Tanpa kutahu bahwa ia punya kunci yang sebenar-benarnya kunci.
“Aku menyayangimu. Menjadikanmu bagian dari hidupku tentu saja akan membuat hidupku lengkap.” begitu kira-kira.
Tidak ada kalimat tanya disana. Tapi entah kenapa aku menjawab “Ya”. Membuat jawaban tanpa ada pertanyaan.
Itu dia kuncinya. Ia cukup punya pernyataan dan bukan pertanyaan yang mampu membuatku buru-buru meng-iya-kan.
Haaaahhhhh. Bisakah aku memberi jeda pada bagian ini? Rasa-rasanya ada bibit yang tumbuh lagi didalam sana. Bisa-bisa aku punya taman bunga sendiri nanti.
“Kau melintas tiap aku merenung. Bagaimana aku tak rindu?”
Katanya tiba-tiba. Disela hujan, dibawah pohon beringin, memecah 15 menit sunyi yang sedari tadi beku.
Aku diam.
“Sesak karena rindu. Kau seperti oksigen setelahnya, saat kita kembali bertemu.”
Aku masih diam.
“Kita…. Terlalu lama berteman. Dan memuja diam-diam.”
Masih membuatku tak bergeming.
“Aku menyayangimu. Menjadikanmu bagian dari hidupku tentu saja akan membuat hidupku lengkap.”
Klik!
Pintuku terbuka tanpa ijin.
“Ya.” Kataku pelan.
Ia menoleh.
Spontan, aku menutup mulut dengan kedua tanganku. Menunduk. Aku tak punya nyali sekalipun untuk menatap matanya. Rumput dibawah kakiku sepertinya lebih mudah dihadapi.
Aku melirik sebentar ke arahnya.
Ia tersenyum.
Ku perbaiki posisi tanganku. Dan kembali menatap hujan yang telah menjadi gerimis kecil, bersamanya. Hanya ada suara rintik.
Bahagia? Tentu saja.
Kukira cuma aku yang memujanya. Nyatanya aku dan dia sama-sama saling memuja. Dalam diam. Dalam embel-embel per-teman-an.
Biar. Biar saja begitu.
Ia orang pertama yang berhasil membuat jantungku cerewet, hilang kendali, seperti kehilangan jiwa warasnya.
Sekarang, kupercayakan tempatku ini –milikku yang paling berharga- menjadi tempat tinggalnya.
Tinggal-lah. Dan selamanya tinggal. Disini. Dalam hati.
(FF 500 kata, termasuk judul)
Semarang, 27 Februari 2013.
–Resla Aknaita Chak []
Mengobrak-abrik. Mengendalikan system kerja didalamnya. Seenaknya membuat rindu, terkadang pilu, tak ketinggalan cemburu, hingga sendu. Mengais apapun yang masih tersisa disana. Memungutnya. Membuang jauh-jauh. Dan memastikannya untuk tak lagi kembali. Biar. Biar saja begitu. Biar hanya dia saja yang tinggal disana.
Mencari sesi untuk mencintai. Mengambil hati supaya dicintai. Menyatukan keduanya agar bisa saling berbagi. Ini tentang hati yang saling mengisi. Tentang rindu yang sedalam kalbu. Dan tentang tangis yang tak selamanya tragis.
Aku tak tahu aku yang ke-berapa untuknya, aku tak peduli. Yang jelas ia yang pertama disini. Meski ia sempat tersaingi oleh hati yang lain, namun ia tak pernah pergi. Ia hanya tertumpuk, terimbun oleh hati lain yang numpang tinggal. Awalnya samar hingga ke dasar, kemudian seperti biasa, ia kembali terpapar.
Inikah cinta pertama?
Cinta yang tak pernah hilang meski telah tergantikan. Cinta yang sulit terucap namun bukan rasa sekejap. Aku memujanya diam-diam. Menjadi seseorang yang setia hadir meski dengan embel-embel per-teman-an.
Ah, teman. Pahit sekali rasanya.
Aku yang terlalu lebar membuka pintu, atau dia yang terlalu lancang mengambil langkah masuk?
Ia seperti memiliki kunci khusus yang mampu membuatku –sebagai pemilik- tak hanya mengijinkannya masuk, tetapi sekaligus menikmati fasilitas disana.
Kasih sayang, perhatian, kerinduan, amarah, cemburu, risau, adalah bagian terkecil dari fasilitas tersebut.
Aku ingat betapa waktu itu ia berhati-hati memohon padaku untuk membuka pintu. Tanpa kutahu bahwa ia punya kunci yang sebenar-benarnya kunci.
“Aku menyayangimu. Menjadikanmu bagian dari hidupku tentu saja akan membuat hidupku lengkap.” begitu kira-kira.
Tidak ada kalimat tanya disana. Tapi entah kenapa aku menjawab “Ya”. Membuat jawaban tanpa ada pertanyaan.
Itu dia kuncinya. Ia cukup punya pernyataan dan bukan pertanyaan yang mampu membuatku buru-buru meng-iya-kan.
Haaaahhhhh. Bisakah aku memberi jeda pada bagian ini? Rasa-rasanya ada bibit yang tumbuh lagi didalam sana. Bisa-bisa aku punya taman bunga sendiri nanti.
“Kau melintas tiap aku merenung. Bagaimana aku tak rindu?”
Katanya tiba-tiba. Disela hujan, dibawah pohon beringin, memecah 15 menit sunyi yang sedari tadi beku.
Aku diam.
“Sesak karena rindu. Kau seperti oksigen setelahnya, saat kita kembali bertemu.”
Aku masih diam.
“Kita…. Terlalu lama berteman. Dan memuja diam-diam.”
Masih membuatku tak bergeming.
“Aku menyayangimu. Menjadikanmu bagian dari hidupku tentu saja akan membuat hidupku lengkap.”
Klik!
Pintuku terbuka tanpa ijin.
“Ya.” Kataku pelan.
Ia menoleh.
Spontan, aku menutup mulut dengan kedua tanganku. Menunduk. Aku tak punya nyali sekalipun untuk menatap matanya. Rumput dibawah kakiku sepertinya lebih mudah dihadapi.
Aku melirik sebentar ke arahnya.
Ia tersenyum.
Ku perbaiki posisi tanganku. Dan kembali menatap hujan yang telah menjadi gerimis kecil, bersamanya. Hanya ada suara rintik.
Bahagia? Tentu saja.
Kukira cuma aku yang memujanya. Nyatanya aku dan dia sama-sama saling memuja. Dalam diam. Dalam embel-embel per-teman-an.
Biar. Biar saja begitu.
Ia orang pertama yang berhasil membuat jantungku cerewet, hilang kendali, seperti kehilangan jiwa warasnya.
Sekarang, kupercayakan tempatku ini –milikku yang paling berharga- menjadi tempat tinggalnya.
Tinggal-lah. Dan selamanya tinggal. Disini. Dalam hati.
(FF 500 kata, termasuk judul)
Semarang, 27 Februari 2013.
–Resla Aknaita Chak []
0 comments:
Post a Comment