Thursday, 20 December 2018

Wayah*

debur,
debar,
dan debu yang gusar.

pada kaca berdebu yang tak pernah bermigrasi, di sana, aku melihat ibu yang dirundung nota-nota belanja.
sedang cangkir blirik selalu setia di atas meja, menemani bapak, lebih setia ketimbang ibu yang merenungi angka-angka.
gelap dan panas,
bapak acapkali bercerita pada benda mati tetapi hidup di hadapannya.
melalui sesap, ia bercerita, alangkah bahagia tatkala kelegaan memancar usai perbincangan itu,
berkali-kali,
diulang-ulangi.

hujan semakin hangat,
si pembayun tak jua terlihat,

nista,
iba,
pada rumah yang tak punya wayah.
lindang,
lindap,
lingkap,
pak,
bu,
anakmu kehujanan pilu,
ingin pulang, tapi tersesat di jalan buntu.


—141018, Semarang.







*masa/waktu
Share:

Monday, 17 December 2018

203 #45

besok, entah musim apa, ingatan akan terus tumbuh dan tambah.
berabad-abadi,
dalam percik,
rebas-rebas,
panas,
gersang,
cangkir-cangkir penuh ampas teh,
loyang dengan kerak roti,
asbak berbubuk serutu,
tangan yang menyiah rambut ke belakang telinga,
senyum yang malu namun jujur,
lengan,
rangkul,
nota-nota belanja,
hingga kalimat, "kamu mau makan apa?".

mereka akan hidup,
dalam ingat dan langkah kaki menuju pabrik memori.

tak berkesudahan.
sebab yang sudah adalah susah,
dan yang belum adalah akan.

dengan kantong ingatan yang tak habis-habis,
aku ingin terus berproses,
bersama genggaman tanganmu,
yang menuntun menuju yang hampir sempurna.

Desember 2018


Share:

Friday, 30 November 2018

203 #44

Ada yang dibayar lunas, tapi tak jua tuntas.

Yang namanya rindu, mana bisa dihitung?


"Ini jalan menuju ke kosku. Kalau berangkat kerja aku lewat sini, kalau pulang beda lagi," dia berceloteh ketika kami menyusuri lembah menjulang di selatan ibu kota.

Dari dulu ia memang bakat bercerita. Pas denganku yang lebih suka mendengarkan. Sesekali bercerita kalau kebetulan ingat.

"Nah lewat sini. Kemarin aku beli celana di sana, nanti aku ajak ke sana, ya," ia melanjutkan.

Ia masih sama seperti 3 tahun 8 bulan lalu.

Dengan badan tinggi tegap dan rambut gondrong, pasti terlihat seram kalau lagi jalan. Ada yang bilang kayak preman, musisi jalanan, sampai aktor figuran.

"Hehehe aku agak cerewet nggak apa-apa, ya?" pengakuannya tampak suci.

Kukasih satu rahasia. Meski tampak beringas, tapi —sumpah demi apapun— dia nggak pernah berkhianat. Apapun bentuknya.

Seperti yang sudah-sudah. Kami hanya teman cerita. Dia dengan segudang wanitanya dan aku dengan diriku sendiri yang gini-gini aja. Mengerti kondisi terburuk hingga ter-wah-nya membuatku ragu apakah akan berhasil jika aku dan dia terikat dalam sebuah hubungan yang bukan pertemanan?

Detik, menit, jam, hari, bulan, tahun berlalu. Semakin lama, kami semakin tahu. Masing-masing kami saling butuh dan acuh.

"Ini kantor tempatku kerja. Kalo lagi nggak males, aku makan siang depan sini. Ada macem-macem menu," ia melanjutkan.

Riuh suara klakson dan genangan polusi rasa-rasanya tak bisa menjatuhkan semangatnya untuk mengajakku berkeliling. Mengenali hidupnya yang kini jauh dariku dan keluarga.

"Oi, Pak! Lek! Om!," sapanya ketika melewati penjual kaki lima yang sering menjadi tempat cacing-cacing perutnya berlabuh.

Dia tampak amat bahagia.
Lalu aku?
Aku merasa lega.

Aku lega ketika aku tak ada di sampingnya secara fisik, ia telah memiliki banyak teman dan lingkungan yang membuatnya nyaman.
Aku lega ketika mengetahui ia selalu sehat secara fisik dan mental.
Aku lega ketika mengetahui aku tetap menjadi satu-satunya.
Aku juga lega ketika bisa menemuinya saat ia sendiri tak tahu kapan akan pulang.

Tujuan pulang,
haruskah selalu rumah?

Pulang, tak selalu menjadikan bangunan sebagai tujuan. Pulang ialah tempat bagi hati bersandar. Menumpahkan racun yang membikin hati tak sehat.

Ia memang tak tahu kapan akan pulang. Maka, akulah yang akan pulang. Kepadamu. Kepada pelukmu.

November 2018
Jiwaku telah mengubah Jakarta jadi rumah.
Share:

Saturday, 20 October 2018

203 #43

—Kita ini bukan asmara yang berasal dari hompimpa.

Kebetulan; kejutan dunia.

Tak ada yang benar-benar kebetulan sebab segalanya telah dirancang, oleh alam dan tuhan. Pada bulan ke-43 ini, kau-aku telah dibuat terkejut oleh segala elemen alam dan isinya. Persekongkolan yang sungguh sempurna.

meniti,
menit,
menitik,
jingkat,
menjangkit,
jerat,
jerit,

...jangkep.

Perjalanan panjang mencari urip yang saling genap ini adalah sebuah kejutan. Meski tak disangka akan bersama, masing-masing kita telah sama-sama tresna namun memang belum waktunya.

Bukan kebetulan, kan?


Oktober 2018,
Sejak dulu kami saling jatuh,
hingga nanti,
hingga nama hanya sekadar tanda.
Tetapi,
kata-kata ini,
akan jadi saksi,
abadi.

Share:

Wednesday, 19 September 2018

203 #42

Oleh: Adji G. Rinepta

*seringku
Tinggalkan kau dalam resah
Dalam susah lagi payah
Tidak jarang dalam gundah
**namun kau
Tanpa banyak katamu
Kau lakukan sebisamu
Menjadi apa yang kumau

Dalam hikmat kuharap
Kau yang nyaman kudekap

Usah ragu tuliskan cinta
Jangan lupa langitkan doa
Tak kan menjadi sia
Karna semua bermakna, untukku

Ku dengar kata mereka
Cinta banyak ini itunya
Ku rasa mereka lupa
Saling adalah semestinya

NB: calon lagu.

Share:

Sunday, 19 August 2018

203 #41

Lagi, stasiun menjadi saksi tumpah peluk dan ruah pelik sukma. Bahkan saat fajar belum membuka mata, aku sudah harus terjaga menyaksikanmu kembali ke ibukota.

Sekarang kau sedang di kereta, bersandar mencari kenyamanan, menghadap ke luar jendela. Aku tahu kau ingin tidur, tapi tunggu Sayang, aku menulis ini tengah malam untuk bekal sarapanmu di kereta. Sebab aku tahu, aku tak sanggup menyelesaikan masakan sebelum pukul 5 pagi.
Kau pasti mengantuk karena semalam susah tidur. Gelisah memikirkan aku, riuhnya kota, dan peliknya bekerja duabelas jam lebih di depan komputer; sedang kita saling jauh saling suluh. Diam-diam—

Tak ada yang susah dari hubungan ini. Apalagi jika restu sudah dikantongi. Tak perlu lagi bicara cinta sebab kita berdua sama pirsa.
Meminjam secuil lirik asoe ini:
"Namun satu yang kupaham dan kuharap kau pun juga. Cintaku walau tak terucap, hanya padamu. Ya, hanya untukmu. Ya, cuma kamu. Cuma kita yang tahu." —Man Angga (Ini Bukan Nosstress; Ya, Kamu)


Agustus 2018
Hidup bukan kejam, melainkan pemberi pelajaran ulung bahwa ada yang lebih keras ketimbang batu dan karang.

Share:

Friday, 10 August 2018

sa(ha)ja

biru jatuh pada kuning,
ada berahi hijau di pagi hening.
tak ada kesia-siaan,
sebab tresna mereka penuh kesederhanaan.

sedang yang muluk-muluk,
ialah ketamakan.
begitu keakuan,
ingin pengakuan.

menjadi prasaja tak pernah muspra.

10/8
18
Δ


Share:

Wednesday, 8 August 2018

Kota Lama Menua

Seperti seharusnya, si kecil ini mulai menua. Kompleks bangunan yang kental akan nuansa ke-Belanda-annya ini mulai tak kuat menahan derita. Bangunan ala Eropa zaman 1700-an itu beberapa tahun belakangan telah menjelma tempat kongkow segala usia. Sebut saja Tekodeko Koffiehuis, Vercoffee, hingga Indomaret Point.

Namun demikian, sisanya masih tetap sama seperti saat kawasan berjuluk "Little Netherland" itu menjadi saksi bisu sejarah Indonesia di masa kolonial Belanda. Saksi bukan sembarang saksi. Selama dua abad —mohon koreksi kalau saya salah—, di tempat itu: darah, keringat, air mata, kasih sayang, tangisan, jeritan; melebur-membaur.

Kota Lama sudah seharusnya menua. Usianya sudah —entah berapa persisnya. Perbaikan sana-sini, poles kanan-kiri, memantaskan diri.

Ini baik.
Namun demikian, tetap saja. Semoga, semoga, semoga, semoga salah satu ikon kotaku ini tak kehilangan jati dirinya.
Meminjam dari Nosstress, "Semoga pemimpin menambah prestasi bukannya menambah bali-ho".

[]
Semarang
9/8/18.

Share:

Monday, 6 August 2018

Egosentrisme Menjalar


#
di kota ini
orang-orang rasuah
tentang hidup dan hati
tentang moksa dan mati

Berita-berita layar kaca, laman-laman sosial media, dan artikel di beragam kanal menyuguhkan sarapan pagi yang seragam. Belum lagi ketika makan siang ataupun makan malam.

Si gila jabatan yang dihadiahi rompi oranye, si sosialita yang tertangkap sarapan bubur, atau si A dan si B yang nggak kelar-kelar bolak-balik pengadilan agama. Ada yang senang dan mengkonsumsinya hingga kelebihan berat badan, ada juga yang muak dan sudah tak nafsu makan yang begituan. Golongan kedua ini, biasanya lebih memilih hiburan lain yang bisa bikin hidup mereka yang sudah banyak beban nggak jadi lebih berat karena ditambahi beban-beban hidup orang tak dikenal yang mungkin benar adanya atau omong kosong belaka.

Beberapa menyesatkan, beberapa lainnya membawa dampak baik.
Memilah dan memilih menjadi hal wajib di era yang serba canggih. Lebih canggih ketimbang otak manusia kebanyakan.
Semakin hari, kepalsuan semakin mendekati asli. Hal itu menjadi boomerang bagi masyarakat awam, tetapi menjadi mainan baru bagi orang-orang tertentu.
Orang mudah tersulut emosi, akhirnya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, jabatan, politik, karir, dan segala hal yang tak ada kaitannya dengan hajat hidup orang banyak. Hanya untuk dirinya sendiri.

Semakin lama, hari-hari adalah masa penuh keegoisan. Yang penting hati senang dan dompet tetap tebal. Tak peduli tetangga sebelah tak bisa makan atau ada anjing kelaparan yang berebutan makanan basi dengan kucing kecil penuh borok.

Aku miris membayangkan hal-hal krusial yang sudah membuatku takut dan geram duluan.
Spiritualitas diuji.
Inteligensi diuji.
Humanisasi diuji.
Hewanisasi diuji.
Religiusitas apa lagi.

Tuhanmu menyayangimu. Itu sebabnya, kamu sedang membaca tulisan ini.

[]


Semarang, 6 Agustus 2018
Bahagia sudah ada dalam diri manusia.


Share:

Sunday, 29 July 2018

Peluk

Serupa gelas yang menyisa kulacino
Menunggumu,
membunuh waktu dan berlembar-lembar halaman buku

Aku berjudi dengan renjana yang risak
Halai-balai,
Hanya terbatas birai, kau-aku haruskah saling nanti?

#
Sudah sesap kelima
Tak jua kudengar langkahmu
Sudah buku kedua
Aku lelah, ingin pulang ke pelukmu

[28/7/18]
Share:

Thursday, 19 July 2018

203 #40

Saban malam aku ditemani bulan sembari mengingat lekuk wajahmu yang kusayang. Setiap inci wajah itu, ialah tempat bibirku berziarah. Mengenyam masa dari hari ke bulan ke tahun tanpa ada habisnya. Sembari mataku tak sanggup lagi melihat bulan, ingatanku tak ingin tertidur begitu saja. Di dalam mimpi, ingatanku mencoba menggerayangi lekuk jidat, mata, hidung, dan bibirmu.

Pada garbarata yang menghubungkan ingatanku dan kamu, aku menemukanmu yang kehausan rindu. Compang dan camping, kamu ingin merengkuhku yang hanya berjarak kurang dari 75 meter di depanmu. Sedang bangku di sisi kirimu masih kosong menunggu kusinggahi.

Aku rindu wajahmu yang kehausan. Berharap sebuah oase datang dari bibirku ke bibirmu. Mengaduk-aduk jiwamu hingga kembung dan ingin lagi dan lagi.

O, Kekasih, untuk melepas dahaga, haruskah kulalui garbarata yang hanya aku dan —mungkin, kau yang tahu?
Kupikir, air putih tak semahal dan sesakral ini. Namun, bulan-bulan lalu agaknya kau dan aku dipaksa terbiasa.

Aku terbangun.
Bulan sudah tak ada, sedang fajar sudah tak lagi muda.

Aku disayat dan disengatnya. Kamu samar-samar tertutup polusi dan silaunya hari.

O, Kekasih. Aku kelelahan, ingin kau apa-apakan.

Nanti, ketika fajar berangsur menua, lagi dan lagi aku akan mengingatmu hingga bertemu garbarata yang semakin hari semakin jauh saja.


Juli 2018
Share:

Wednesday, 27 June 2018

Pahala; Ada Sejak dalam Niat

"Pada setiap yang bernyawa, terdapat pahala."
—Nabi Muhammad SAW

Pagi berawan dan angin tanggung yang samar-samar memaksa orang untuk baik-baik di dalam selimut.
Seorang renta dengan baju yang itu-itu saja mampir di depan rumah. Keempat anaknya bersembunyi di punggung lusuhnya yang kering. Mengais sisa makanan yang telah ambyar diserang hujan tadi malam. Miris.
Keempat anaknya sangat kurus, tetapi bahagia. Dengan kelincahan layaknya anak-anak, sigap mereka mencari persembunyian ketika orang asing datang. Mereka yang belum terbiasa dengan keberagaman dunia seolah terkejut bahwa ada hal lain yang sangat berbeda darinya.
Kalian boleh datang ke sini, kapanpun. Tinggal atau tidak, rumah ini adalah tempat kalian mencari perlindungan.

Juni 2018

Share:

Tuesday, 19 June 2018

203 #39

Tiket kereta dan stasiun tua berkelindan di antara kita. Memilin puing jadi gumpalan merah merona. Kau-aku menjadi sesuru yang bersiap diburu kemarau panjang, sementara gemercik dari bibir pantai adalah harapan.

Sapuan ombak pantai menjadi pertemuan yang mendebarkan sekaligus menyejukkan.
Buah jingga mengendap di ujung cakrawala. Pagut-pagut peluk dinyanyikan angin. Kau-aku yang penuh ingin.

Kau dan gerbong kereta; melangkah meninggalkanku yang gemetar di ruang tunggu.

Juni 2018
Selama kau muara, sesetia aku menjaga.
Share:

Saturday, 16 June 2018

203 #38

Laiknya lagu yang meracuni telingaku. Menjalar ke ingatan dan nyanyian bibirku.
Tanpa sadar, kualunkan di sepanjang perjalan pulang.

Aku ingin pulang ke selasar hatimu, yang sejuk sekaligus tentram.
Seperti pelataran rumah nenekku yang kau tak kenal. Aku suka bermain-main di sana. Berlari, bersepeda, hingga melompat kegirangan di tengah hujan.

Pada masa itu, aku adalah jiwa kecil yang hanya memahami hidup sebagai sebuah area bermain yang hanya mengenal lawan sebagai beban.
Ketika beranjak remaja, lawan bermain tak cukup penting ketimbang PR yang tak habis-habisnya kukerjakan.
Ketika perlahan dewasa, aku telah kehilangan masa-masa naif itu. Hingga kutemukan kamu yang membawaku kembali ke ingatan hujan gerimis di Sabtu pagi ketika aku bersembunyi di rumah tetangga, menghindari kakekku yang berdiri di depan pintu. Siap menerkamku yang keasyikan di tengah hujan.

Mei 2018
Padamu kutemukan jiwa yang hilang di kampung halaman.
Share:

Wednesday, 4 April 2018

203 #37


Aku menulis ini tatkala intro “Sampai Jadi Debu” milik Banda Neira mengalun.
Semoga, ketika kau membaca, gejolak di hatiku yang menujumu bisa kau tangkap tanpa meleset.

Ujung dari sebuah ikatan adalah aku, kau, beserta seluruh lapisan sosial yang mengelilingi kita. Keberanianmu membawa jiwa-jiwa mengetuk pintu rumahku, adalah hal yang sungguh mengharukan sekaligus mendebarkan.

Detik-detik percakapan yang tercipta adalah kidung asmara yang bukan hanya kau dan aku yang menyanyikan. Kau merengkuhku, aku mempereratmu.

“Selamanya, sampai kita tua, sampai jadi debu. Ku di liang yang satu, kau di sebelahku...,”

Ya, bagian ini kutulis ketika lirik itu mengalun.

Kita, adalah hati yang hanya dipisahkan sekian kilometer jarak. Semakin luas cakupan ikatan kita, semakin luas pula jarak yang menjembatani kau dan aku. Kau dan mimpi barumu di Ibukota, bukanlah suatu hal yang harus kutakuti. Aku bangga. Kau juga, aku tahu.

Sejauh kau rantau, akulah tempatmu pulang. Senyaman kau berada di rumah sewa, akulah rumah sebenar-benar rumah. Pulanglah ketika rindumu memuncak dan tak sanggup kau bendung. Tumpahkan padaku.


Semarang, April 2018
Kau langlang, aku tualang.
Sampai bertemu di ranjang.

Share:

203 #36

Tepi amben itu, tempat favoritmu bercumbu dengan cerutu dan kebisingan televisi yang merenggut jari-jemarimu. Tak ada yang bisa menggoda kekagumanmu pada gambar bergerak hasil gelombang teknologi yang tumbuh lebih cepat ketimbang usia manusia.

Memang tak ada.
Kecuali aku,
yang datang ke pangkuanmu dengan mengenakan kaus kebesaran tanpa celana jeans. Bra dan celana dalam hitam itu tak akan tampak sebab kausmu serupa gaun di tubuhku. Kurebut perhatianmu pada televisi tanpa membunuhnya.

Skor kita satu sama.
Kau punya cerutu, aku juga.
Kulingkarkan tangan di lehermu, sedang tanganmu di pinggangku. Lagi-lagi aku yang memulai. Sebab bibirmu lebih pantas kulumat tuntas ketimbang pantat cerutu yang tinggal sekali hisap. Sedang bibirmu, tak akan habis kusesap sesukaku.

Jari jemarimu adalah candu yang merobohkan. Menjelajah ke mahkota dan punggung zaman. Jejak-jejak bibirmu adalah kutukan berulang. Sesaplah jiwaku yang tak hanya satu. Rengkuh sukma yang tengah merona, mencari udara dalam sesak yang nikmat.
Kaulah, kuntum bunga yang mekar di jendela kamar tiap fajar.

Desah desih itu,
adalah puncak yang menenangkan,
Lenguh, Uh!
Biar aku sandar padamu
Detak Jam dinding
Bising Televisi
Hembus nafas
Lirih alunan Birdy
Denyut nadi
Utuh
Sela jari jemarimu adalah tempatku bermanja.


Maret 2018
Sayang, jiwaku letup kaukecup.




Share:

203 #35

[Verse 1]
Dua tangan terkatung ingin memeluk
tubuh yang digilas hidup yang buas
Meraih yang ringkih
Merengkuh membuat utuh
Digapai penuh kayuh

[Verse 2]
Tubuh itu datang dengan kasih sayang
Diombang dan ambing zaman
kejam nan muram
Maka sampailah
Ombang-ambing, katung-katung
Tak lagi karu, lalu...

[Reff]
Akulah fajar yang muram
Sembunyi di punggung mendung
Tak ingin manusia puji
Sebab tumbuh dan tenggelam ialah milik mendung, kau

[Verse 3]
Menjadi penopang yang utuh dan sungguh
Entah pagi pun petang tak pernah rapuh
Kau menanti aku
Menjadi tameng yang kokoh
Akulah sang beruntung

[Bridge]
Tetaplah menjadi mega
entah putih, abu, pun jingga.



Semarang, Februari 2018
Seindah kata,
akan lebih sempurna bersama nada.
Share:

Friday, 19 January 2018

203 #34

Pintu itu membawa rekam jejak ketukmu yang pelan tetapi mendebarkan
Di sampingnya, ada tirai hijau yang kusibak tiap kali harummu merebak
Kursi-kursi yang tak punya nyali, menjadi saksi tunggal betapa kau betah tinggal
Papan catur di atas meja, adalah satu-satunya hiburan utamamu dan Bapak untuk betah berlama-lama
Pukul tujuh lewat lima,
aku siap kau ajak kencan keliling kota
Makan di warung tenda atau restoran bintang lima
Nonton layar tancap atau ngantre tiket bioskop
Datang ke acara budaya atau undangan pesta dansa
Asal denganmu,
aku mau habiskan waktu sampai lelap di pelukmu.



Januari 2018
Keliling bersamamu.... Lelah sih, tapi nagih.


Share: