Thursday 27 November 2014

Lukapa

Gemuruh di dalam hati
Mambikin mati
Pelan namun pasti
Serasa telah tersedia peti

Keping ini tetap kepunyaanmu
Puing ini tetap hak milikmu
Namun jiwa ini serasa sendu
Raga ini tak lagi gebu

Mencinta memang harus luka hingga lupa



Semarang, 23 November 2014
Kucing tidur di meja dapur.
Share:

Wednesday 19 November 2014

Tuhan Akan Mempertemukan Kita dengan Cara yang Tak Terduga

Tuhan akan mempertemukan kita dengan cara yang tak terduga
Dengan tengokan kepala yang mengarah bersama
Dengan dentingan tawa yang tak sengaja tercipta
Dengan sapuan mata yang saling menyapa

Tuhan akan mempertemukan kita dengan cara yang tak terduga
Dengan pelukan dihiasi haru
Dengan isakan penuh rasa rindu
Dengan rajutan yang tiada ragu

Tuhan akan mempertemukan kita dengan cara yang tak terduga
Dengan aroma hujan di jendela kamarmu
Dengan desau angin yang menerbangkan rambutmu
Dengan kecupan dingin yang memeluk tubuhmu

Tuhan punya berjuta cara,
Tentang bagaimana kelak kita berjumpa.



Semarang, 18 November 2014
Mendung di sudut rundung.
Share:

Thursday 13 November 2014

Rebah

Jika mata adalah jendela menuju jiwa
Maka bibir adalah tabir menuju takdir
Jika nafas adalah kanvas
Maka hidup tak lagi redup

Setiap tapak
Telah memiliki jejak

Ada yang memilih singgah
Hingga betah
Pun sebagian memilih pindah
Mungkin lelah

Tentang episode selanjutnya
Tuhan telah memegang skenario yang tak ada dua


Semarang, 13 November 2014
Hidup tak sekadar degup.
Share:

Penjawab Doa

Setiap tetes peluh
Yang menetes tanpa keluh
Di balik baju lusuh
Tak pernah jenuh

Dalam gemuruh subuh
Dalam gerakan tubuh
Mengucap pinta pada Sang Mahaacuh

Hingga segala terbuka
Serasa asa semakin jelas terasa
Semakin terjangkau mata
Semakin tergapai hasta


Semarang, 13 November 2013
Di balik asap rokok sebelum bobok.
Share:

Kamuflase

Kau hanya penyeduh
Bukan peramu
Kau hanya penikmat 
Bukan pembuat

Seperti sekat yang makin menguat
Merasakan pahit padahal sedang makan cokelat
Merasakan sakit padahal sedang sangat sehat

Semakin banyak bangsat yang menjelma malaikat


Semarang, 13 November 2014
Catatan di suatu siang gersang, di persimpangan lengang.
Share:

Senyap

Hujan membawa bayangmu
Bau tanah setelahnya membuatku merenungkan rindu
Nadi dan denyut tak lagi deru

Kita enggan sua
Sebab bara tak lagi nyala
Dan lagu tak lagi merdu

Ada tragis dalam tangis
Namun seringkali tak terlukis
Ingin rasanya habis
Namun tak ada yang membuat manis

Karena hanya sebuah pelukan
Yang mampu meredam sesenggukan


Semarang, 13 November 2014
Angin mati kicau pergi.
Share:

Monday 10 November 2014

Renung Relung

Tak perlu susah payah membuktikan bahwa kita tidak salah, karena Tuhan sendirilah yang akan bekerja tanpa perintah. Kita hanya butuh melihat apa yang perlu dilihat, mendengar apa yang perlu didengar. Tak perlu muluk-muluk. Tak perlu terlalu sibuk mencari siapa yang salah, tapi cobalah untuk menengok secelah, bagian mana dari diri kita yang masih harus diubah, bahkan dibedah.
Ada yang bilang bahwa Tuhan sudah tahu apa yang kita inginkan, kita butuhkan, tanpa perlu kita meminta. Tetapi bagaimana bisa dikabulkan jika meminta saja tidak? Hidup bukan sekadar tentang bagaimana kita bisa bertahan, tetapi juga tentang bagaimana kita tetap bisa mempertahankan suatu pertahanan meski orang lain mencoba menghancuran, meruntuhkan, merubuhkan.
Begitulah cara Tuhan bekerja, memberi cobaan yang semakin berat, dengan tujuan agar kita menjadi lebih kuat.
Tuhan memberi kita pelajaran melalui berbagai jalan. Hidup yang sedang berjalan, misalnya. Hidup bukanlah bangun ruang yang hanya mempunyai jumlah sisi kurang dari enam. Hidup adalah labirin; di antara jutaan beban, Tuhan telah menyiapkan milyaran sisi, di mana kita diharuskan mencari jalan keluar dengan cara kita sendiri. Tuhan tidak pernah berbalik memunggungi kita. Tuhan tidak pernah berlari meninggalkan kita. Tuhan tidak pernah tidak adil.
Hidup akan menjadi berbeda ketika kita mengubah sudut pandang kita.

Gunung Pati, 10 November 2014, 10:31 pm
Renung dari palung relung terdalam.


Share:

[Puisi] Kemeja Hijau Tosca

Aku ingat sangat
Kapan kali pertama aku terjerat
Kapan kali pertama hatiku tambat
Aku mencintai lekukmu di setiap pahat

Bila kau sudah tua nanti
Puisi-puisi ini akan menjadi saksi
Ketulusanku yang tanpa tapi
Mendamba tanpa mengharap isi

Jika setelah ini tak ada lagi puisi
Mungkin itu adalah bukti
Bahwa kau telah mengerti isi hati ini
Tanpa aku harus bersusah payah mendaki

Berbahagialah karena aku juga akan bahagia
Mencintalah karena aku juga akan mencinta
Bersama kemeja hijau tosca
Kau akan mengingatku tanpa jeda

―sembilan november dua ribu empat belas

   cinta tak selalu harus berbalas
Share:

[Cerpen] Kemeja Hijau Tosca

Gis
Sering ia menangis dalam diam, menangis tanpa isak. Mungkin ia tak ingin ada yang tahu, betapa hatinya begitu penuh sembilu. Jika ia sudah mulai duduk di bangku pojok kanan ruangan, dan mengambil posisi paling belakang, itu berarti sesuatu siap menyembur dari kedua sorot indahnya.
Sama seperti pagi ini. Kulihat ia datang lebih awal dari biasa. Masuk ruangan tanpa menoleh siapa-siapa. Mengambil posisi bangku favorit ketika hatinya sedang sendu. Dalam hitungan sepuluh menit, ia dan tangisan bisunya tak bisa diganggu. Pernah suatu hari aku memberanikan diri untuk sekadar bertanya, “Kamu kenapa?” ia hanya menggeleng sambil memainkan tisu di tangan, sedetik kemudian ia sudah kembali ke dunia yang tak seorang pun mampu menerka.
Sepanjang perkuliahan arah mataku tak pernah lepas dari sosoknya. Aku penasaran. Terkadang ia begitu riang. Terkadang begitu muram. Dalam kepalanya berkecamuk ribuan beban. Mungkin ia butuh berbagi, ―setidaknya untuk sekadar melihat ia menari.
Kulihat ia tergesa ketika jam perkuliahan usai. Aku mengikutinya. Pandangannya masih sama, tak menoleh siapa-siapa. Kini, ia menuju perpustakaan. Aku masih mengikutinya. Ia mengambil posisi duduk yang dirasa nyaman, lagi-lagi di pojok ruangan. Sementara aku mengambil posisi duduk yang tak terlalu jauh dari posisinya, agar aku masih tetap bisa melihat tanpa takut ketahuan olehnya. Ia mengeluarkan sebuah pulpen dan selembar kertas ―menulis. Entah apa yang ia tulis, dari tempatku duduk sekarang ia tampak begitu serius. Lagi-lagi, tak menoleh siapa-siapa. Setelah dirasa selesai, ia menyelipkan kertas tersebut ke sebuah halaman buku milik perpustakaan, kemudian berlalu. Aku tak lagi mengikutinya. Kini, perhatianku tertuju pada tulisan yang baru saja ia selipkan pada sebuah buku. Aku mendapatkannya. Kubuka kertas tersebut.
Beda orang, beda kasus. Ada yang memilih membagi kecambuk hati pada orang lain. Pun ada pula yang memutuskan untuk memendam sedalam mungkin untuk dirinya sendiri, karena tak semua hal bisa dibagi semudah memberi nasi kepada pengemis yang mengaku belum makan tiga hari. Dan saya memilih yang kedua. Tolong, jangan pernah ikuti saya lagi seperti hari ini, Gis.
Aku tersentak.
“Saya tahu kamu tak akan membiarkan tulisan itu lewat begitu saja,” suaranya membuatku semakin tersentak. Suara Pure. Ia belum benar-benar enyah dari ruangan ini. Buktinya, sekarang ia berdiri di hadapanku. Setidaknya aku membuatnya menoleh ke arahku setelah sepanjang hari ia tak menoleh siapa-siapa.
Aku mengangkat bahu. Menggeleng. Tersenyum entah untuk apa, “Saya rasa, saya tak perlu mengulangi sampai dua kali,” ia berkata lagi. Aku menemukan sosok baru lagi di tubuhnya. Tak hanya riang dan muram, tetapi juga asam. Mungkin ia bisa kuibaratkan permen nano-nano hidup. Kalau bisa kukunyah, aku ingin mengunyahnya sekarang.
Aku mengangguk tak tentu, “Well, aku tertangkap basah. Hukuman apa yang akan kuterima?” ucapku.
“Saya belum kepikiran. Biar saya pikirkan dulu, akan saya beri tahu setelah saya menemukan hukuman yang pas untuk seorang penguntit,” jawabnya semakin asam. Ia membuatku semakin gemas. Kali ini, aku benar-benar ingin mengunyahnya.
***
Tastra
Sudah pukul dua dini hari. Tak mungkin ia lupa diri.
Seharusnya sudah sejak satu jam yang lalu ia datang ke sini. Pasti ada sesuatu yang terjadi, pikirku. Tak biasanya ia melenceng jauh dari janji. Aku men-dial nomornya berkali-kali, tetap saja tak ada respon sama sekali.
            “Sabar, Tra, gue lagi nganter si Mona balik,” ucapnya tanpa halo setelah mengangkat telepon yang ke ―kalau nggak salah― enam belas.
            “Hmmmm,” jawabku kemudian menutup telepon.
Sejurus kemudian handphone berdering. Gis.
“Iya, gue tunggu, lo tahu kan gue setia?” ucapku tanpa halo setelah mengangkat telepon. Tanpa menunggu ocehannya lagi, kututup telepon sedetik kemudian.
Handphone berdering lagi. Gis. Lagi.
Dih,” ucapnya tanpa mengucapkan halo setelah aku mengangkat teleponnya. Belum sempat kubalas, ia sudah menutup telepon.
Mendadak senyap.
Kedai ini tempat biasa aku dan Gis membuat pertemuan. Dua laki-laki yang hanya beda tiga bulan delapan belas hari. Meski begitu, tetap saja aku yang lebih tua. Kami sudah berteman sejak kelas delapan. Sejak kami belum mengenal beban. Sejak kami senang berhujan-hujan. Sejak kami senang memancing ikan. Sejak kami senang bermain bola di lapangan. Sejak kami masih belum peduli mana di antara kami yang lebih tampan. Sejak kami senang memainkan permainan kampungan ―yang bahkan anak-anak masa kini melirik pun enggan. Hingga sekarang, pertemanan kami tak akan habis termakan jaman. Aku merasa Gis seperti bagian dari keluarga. Meski kami tak seayah. Tak seibu. Tak sedarah. Tak sedaging.
Sudah sepuluh menit, terhitung dari kali terakhir Gis menelepon. Ia belum juga datang. Kuputuskan untuk meneleponnya lagi.
“Kok, lo belum datang juga? Atau, kok, lo nggak telepon lagi?” ucapku tanpa halo setelah Gis mengangkat telepon. Seperti biasa. Tapi, belum sempat kututup telepon, ia sudah berada di depanku dengan handphone menempel di telinga kanan. Ia menutup telepon buru-buru. Kok, jadi Gis yang menutup telepon?
“Satu jam lebih,” ucapku setelah ia duduk persis di depanku, “Ngomong-ngomong, Mona siapa?”
“Teman, tadi ketemu di jalan. Terus gue anterin, deh. Kenapa?”
“Nggak apa-apa, nggak pernah dengar namanya.”
“Oh, kirain lo cemburu,” ucapnya setengah becanda.
Dih,”
“Udah pesan?” tanyanya kemudian.
“Belum. Yang ngajak ketemu, yang traktir; yang telat, yang traktir,” jawabku. Sarkastik. Penuh senyum jahat.
Gis mengiyakan.
Kami berbincang ringan. Membicarakan hal-hal yang tak masuk akal. Beginilah aku dan Gis. Hingga pesanan datang, aku memulai percakapan inti, “Apa? Mau nunjukkin apa?”
Ia mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya. Selembar kertas yang dilipat tak beraturan. Ia menyerahkan kertas tersebut padaku.
Aku membacanya. Tak mengerti.
“Siapa yang nulis?” tanyaku kemudian.
“Pure,” jawabnya ringan.
“Pure?” aku semakin tak mengerti.
Ia mengangguk, “Teman sekelas gue,” suaranya agak tak jelas karena ia menjawab sambil mengunyah makanan. Tapi setidaknya aku mendengar jawabannya.
“Lo ngapain ngikutin dia?”
Ia mengangkat bahu. Menggeleng. Aku mengernyitkan dahi. Tak mengerti.
“Siapa tahu bisa lo jadiin lagu, tuh. Apa bedanya sama puisi-puisi anonim, tak bernama, tak beridentitas, yang dikirimin ke elo. Akhirnya jadi lagu juga, kan?”
“Terus, apa lagi?”
“Sudah,” jawabnya singkat.
“Kenapa nggak besok aja?”
Gis terdiam, “Karena gue ngerasa, ini harus segera.”
***
Pure
            Aku menatapnya tanpa kata. Memperingatkannya lewat mata agar ia tak lagi mengikutiku seperti yang ia lakukan hari lalu. Ada hal lain yang aku tak ingin ia tahu. karena ia adalah Gis. Akan menjadi berbeda ketika yang mengikutiku adalah orang lain, atau setidaknya aku tak akan merasa terlalu terancam seperti ini.
            “Sudah dapat hukuman yang pas?” kalimat pertamanya setelah mengambil posisi duduk tepat di sebelahku. Sapaan macam apa di pagi hari seperti ini. Aku menggeleng.
            “Lambat” ucapnya kemudian. Gis memang gila. Ia suka seenaknya kalau bicara. Semua orang juga sudah tahu. ibarat hidung, ia tak punya bulu hidung sebagai sensor. Aku beranjak. Mengambil tempat duduk yang jauh darinya. Ia mengkutiku.
            Ia duduk di sebelahku lagi. Apa bedanya dengan yang tadi. Toh, sama-sama ia tetap duduk di sebelahku. Ia mencuri pandang ke arah bukuku. Untung saja aku segera tahu.
            “Ada apa?” aku bergidik. Curiga.
Ia menggeleng cepat.
“Setelah kemarin kamu ngikutin saya, sekarang mau mencoba membaca tulisan saya?” ucapku, kemudian menutup buku. Ia tak menjawab. Aku beranjak dengan bermaksud mencari tempat duduk yang lain. Ketika ia juga beranjak ingin mengikutiku berpindah tempat duduk lagi, aku menoleh, “Saya rasa kamu tidak tuli, jadi saya tidak perlu mengulangi sampai tiga kali.”
Ia kembali ke tempat duduknya. Mengangguk tak senang.
Aku berlalu.
***
Tastra
            “Gue dapat puisi lagi.”
            “Bagus, dong. Lagu lo semakin banyak.” Jawab Gis tak acuh sambil terus asyik dengan mainan PS-nya.
            “Bukan itu masalahnya, Gis.”
            “Te....rus?”
            Aku menghela nafas. Membenarkan posisi dudukku, “Lo, penasaran nggak sih?”
            Gis terdiam, matanya mengisyaratkan bahwa ia sedang berfikir, “Nah, lo sendiri?” ia balik bertanya.
            “Sangat.” jawabku singkat.
            “Sama,” timpal Gis, “Teman sekelas lo mungkin?” lanjutnya.
            “Setahu gue, teman sekelas gue nggak ada yang bisa bikin tulisan bagus. Lo , kan, tahu gue anak musik.”
            “Yang bisa bikin tulisan bagus itu biasanya anak sastra, kayak gue. Iya, kan?” ucap Gis.
            Aku mengangguk, “Nah, teman sekelas lo, dong? Atau jangan-jangan elo?” aku baru ingat kalau sahabat eratku yang satu ini adalah mahasiswa sastra.
Dih, ngapain amat,” jawab Gis, agak sedikit jijik. Kemudian melanjutkan permainan PS-nya lagi.
Tak ada percakapan lagi. Sunyi. Senyap. Kami lenyap dalam pikiran masing-masing. Aku beranjak dari tempat duduk dan menuju ke piano. Aku memainkan satu lagu yang baru saja selesai kubuat musiknya.
Beda orang, beda kasus.
Ada yang memilih membagi kecambuk hati pada orang lain.
Pun ada pula yang memutuskan untuk memendam
sedalam mungkin untuk dirinya sendiri,
karena tak semua hal bisa dibagi semudah memberi nasi
kepada pengemis yang mengaku belum makan tiga hari.
Dan saya memilih yang kedua.
Tolong, jangan pernah ikuti saya lagi seperti hari ini, Gis.
“Pure!” teriak Gis setelah aku selesai memainkan lagu tersebut. Aku kaget setengah mampus. Gis memang gila.
“Iya, ini tulisan Pure yang lo kasih ke gue,” jawabku ringan.
“Pure, Tra. Pure yang selama ini ngirim puisi-puisi ke elo!” ucap Gis yakin. Aku tak pernah melihatnya seyakin ini. Sorot yang begitu berbeda, “Dia nggak pernah mau tulisannya dibaca orang.”
“Lo yakin?”
“Sangat!”
***
Siang Rabu.
Matahari tak terlalu terik. Mungkin sebentar lagi rintik.
Tastra
            Aku tak akan melepaskan pandangan dari gadis itu. Ia cantik. Dan aku terlambat menyadarinya. Ia yang lebih dulu menyadari kehadiranku.
Gis
            Si permen nano-nano yang sudah ketahuan rahasia hatinya, sedang duduk sebatang kara di taman depan kelas. Oh, Pure yang malang. Ia lupa bahwa rahasia tak selamanya diam saja, padahal peribahasa sudah sering memperingatkannya tentang sepandai-pandai tupai melompat, pasti jatuh juga.
Pure
            Dua sahabat itu sedang makan siang bersama. Tastra. Sepertinya arah matamu tak lepas memandangiku. Seandainya setiap hari bisa seperti itu.
Gis
            “Gimana menurut lo?”
            “Cantik.”
            “Bukan itu,” aku mendengus.
            “Terus?”
            “Menurut lo, dugaan gue benar nggak?” ucapku setengah berbisik.
            Tastra mengangkat bahu tanpa melepas pandangannya dari Pure.
            “Payah,” ucapku. Kemudian beranjak.
***
Gis
            “Sudah nemu hukuman yang pas untuk seorang penguntit?” tanyaku ketika tak sengaja berpapasan dengan Pure.
            “Belum,” jawab Pure, tertunduk.
            “Mau sampai kapan kamu sembunyi seperti ini, Pure?”
            Kurasa ia tak mengerti. Seperti biasa, ia mengernyitkan dahi, “Tastra,” lanjutku.
            Ia tak dapat menyembunyikan kejut, “Tastra? Si-siapa Tas-t-ra?”
            Hmmm, reaksinya semakin jelas. Bahwa memang ia lah yang selama ini mengrimkan puisi untuk Tastra, pikirku.
            “Sudahlah, Pure. Tak ada gunanya lagi sembunyi,” ucapku semakin membuatnya terpojok.
Pure
            Aku terdiam. Gemuruh menyelimuti hatiku. Bagaimana Gis bisa tahu. dan Tastra? Seingatku, tak pernah sekali pun aku menceritakan hal ini pada orang lain. Tak pernah pula aku membiarkan orang lain membaca tulisanku secara sengaja ataupun tidak. Lalu, dari mana mereka tahu?
            Gis meninggalkanku mematung di ambang pintu.
***
Pure
            Aku menghampiri Gis yang sedang duduk ketika aku baru sampai di ruang kelas, “Saya sudah punya hukuman buat kamu.”
            Wajahnya menengadah, “Apa?”
            Aku menyerahkan kotak besar padanya. Kuletakkan kotak tersebut di mejanya, “Tolong, berikan pada Tastra.”
            “Cuma ini hukumannya?”
            Aku mengangguk.
            “Okay,” katanya mengiyakan.
***
Gis
Tak menunggu waktu lama, aku langsung menghampiri kelas Tastra dan menyerahkan kotak dari Pure pada Tastra.
“Nih buat lo.”
“Emang gue ulang tahun?”
“Dari Pure.”
Tastra segera menerimanya.
Tastra
            Ia memang tak pernah kehabisan cara. Setelah puisi, lalu ini apa lagi? Aku segera membuka bungkusan kotak tersebut. Sebuah kemeja lengan panjang berwarna hijau tosca. Dan sebuah surat kecil. Pasti puisi.
            Bukan pure kalau tanpa puisi. Aku membuka surat kecil tersebut.
Kemeja Hijau Tosca
Aku ingat sangat
Kapan kali pertama aku terjerat
Kapan kali pertama hatiku tambat
Aku mencintai lekukmu di setiap pahat

Bila kau sudah tua nanti
Puisi-puisi ini akan menjadi saksi
Ketulusanku yang tanpa tapi
Mendamba tanpa mengharap isi

Jika setelah ini tak ada lagi puisi
Mungkin itu adalah bukti
Bahwa kau telah mengerti isi hati ini
Tanpa aku harus bersusah payah mendaki

Berbahagialah karena aku juga akan bahagia
Mencintalah karena aku juga akan mencinta
Bersama kemeja hijau tosca
Kau akan mengingatku tanpa jeda

―sembilan november dua ribu empat belas
   cinta tak lekas harus berbalas

☼ Selesai ☼
―Teruntuk mereka yang mencinta tanpa mengharap apa-apa.
    Kalian telah paham,
cinta yang sesungguhnya bukan lah pada raga melainkan pada jiwa.
Bukanlah pada memiliki, melainkan pada hati.


Share:

Friday 7 November 2014

Mendamba Udara

Berputar pada lingkaran. Sejauh apapun, kau akan tetap dalam jangkauan. Hilang sekejap, kemudian datang dalam sekali kerjap. Kau tak pernah benar-benar berlalu.
Terkadang menghangatkan, terkadang dingin, hingga sangat dingin. Tapi lebih sering menyejukkan. Kau sangat ditunggu, namun tak jarang banyak yang mengutuk kedatanganmu. Dan aku masuk golongan nomor satu.
Di bukit ini, tempat di mana kita bertemu. Kau menyapaku hangat waktu itu, menyentuh lembut kulitku, dan aku mencium bau aromamu. Kita berbincang hingga langit tak lagi biru, hingga sore tak lagi ungu, hingga gelap datang memburu, hingga kau berkata, “sampai jumpa di percumbuan berikutnya.”
Waktu melaju teburu. Sudah seratus delapan puluh tujuh minggu semenjak hari itu. Dulu sekali, kita bertemu setiap hari. Kini, kedatanganmu tak bisa diprediksi. Bukit penuh janji itu sudah beralih fungsi. Aku tak lagi bisa menjumpaimu di tempat biasa. Memang, sesekali kau datang, tetapi dengan sosok yang tak kuinginkan.
Mereka membuatmu menjadi sosok yang berbeda, dan mungkin aku salah satu bagian dari mereka.
Aku berharap, aku bisa menemukanmu lagi. Menemukanmu dalam harmoni damai seperti saat pertama kali. Suatu saat nanti. Pasti. Karena kau tak akan pernah mati. Justru mereka dan aku yang akan mati jika kau tak di sini.


Semarang, 02 November 2014; 00:53 am
Share:

Mati Suri

Ia terpejam
Sekumpulan imaji membanjiri hati yang mati nanti
Segala terasa putih
Hanya ada ia dan dunia
Ia tak punya apa-apa

Ia terpejam
Seuntai damai menyelimuti hati yang mati kini
Segala terasa sunyi
Hanya ada ia dan ia
Ia tak punya siapa-siapa

Ia tak lagi terpejam
Seuntai sepi menaungi hati yang mati suri
Segala terasa nyeri
Hanya ada ia dan raga
Ia punya berjuta tanda tanya


Semarang, 30 Oktober 2014; 10:53 pm
Selagi terjaga hingga pukul tiga
Share:

Jerat

Meringkuk di sudut peluk, matanya mendelik di tengah pelik. Ia enggan melepas lingkar lengan di pundakku. Ada yang muncul di sudut matanya yang syahdu. Entah luapan rindu atau ungkapan sendu. Atau mungkin rindu dan sendu yang menyatu. Aku tak tahu.
Ia mempererat jerat, “aku sulit bernafas,” ucapku terbata.
“Mengapa?” tanyanya segera.
“Pelukanmu terlalu erat,” jawabku singkat.
“Bukan itu.”
“Lalu?”
“Mengapa kita harus selesai?”
“Pelukanmu terlalu erat,” jawabku lagi. Singkat. Cepat.
Ia terdiam. Perlahan merenggang pelukan, tak lagi kencang.
Matanya menatap mataku. Kurasa kini ia tahu.
Aku butir pasir yang jatuh dari jerat genggam yang terlampau erat tanpa sekat. Tak bisa dipungut lagi. Tak bisa dicari lagi.


Semarang, 30 Oktober 2014; 11:30 pm
Hampir tengah malam
Share:

[Cerpen] Empat Puluh

Saat ini pukul 01.25 pagi di tempatku.

            Pasti kau sudah terlelap sejak 3 jam yang lalu. Dan pasti sekarang kau sedang bermimpi. Aku tersenyum sendiri membayangkan kau bermimpi tentang aku. Tapi, mana mungkin?

            Hari ini tak sama seperti kemarin lusa, satu minggu yang lalu, bahkan satu bulan yang lalu. Tak sama seperti detik-detik sebelum kau ucapkan, “kita selesai,” lewat telephone malam itu.

            Saat ini sudah pukul 02.05 pagi. Kau menyita 40 menitku terlalu dini, terlalu pagi. Aku tak bisa tidur.

             “Oh, 40 menitku yang malang...”

 
 


                       
Post tweet.

            Aku tidur terlentang, selimut membatang, menatap lurus ke depan, dengan handphone di genggaman.

            Ting tung.

            Handphone berbunyi, notification twitter. Ternyata bukan cuma aku yang tak bisa tidur.
            “Satrio Yudha @rioyudh
            Belum tidur, Ray? RT @rayahadi: Oh, 40 menitku yang malang...”

 
 






            Eh? Rio?
            Aku mengerdipkan mata berkali-kali. Tak percaya.

             “Soraya Hadi @rayahadi
             @rioyudh: belum, kalau sudah mana bisa nge-tweet?”

 
 




           
            Post tweet.

            Ting tung.
          “Satrio Yudha @rioyudh
          @rayahadi: oh, aku kira yang nge-tweet admin.”

 
 




           
Lucu.

           “Soraya Hadi @rayahadi
          @rioyudh: hahaha”

 
 


           

           
Post tweet.

            Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Empat puluh menit. Tak ada balasan. Ah, Rio. Kau datang dan pergi sesuka hati.

            Ting tung.

            Aha!

            Direct messege.
   “From: Satrio Yudha @rioyudh
   Apa kabar, Ray?”

 
           


           
            Senyum simetris mengembang di bibirku.

    “Reply. Soraya Hadi @rayahadi
    Baik, kau?”

 
           

           

Ting tung.

   “From: Satrio Yudha @rioyudh
   Baik juga. Don’t you miss me? Even a little? :’)”


 
           


          “Reply: Soraya Hadi @rayahadi
         So much. But...

 
 


           

            Ting tung.
           “From: Satrio Yudha @rioyudh
           But?”

 
 




           
            “Reply: Soraya Hadi @rayahadi
            Semuanya sudah berbeda, Rio.”

 
 


           

           

Ting tung.

   “From: Satrio Yudha @rioyudh
   Aku rasa kita bisa diperbaiki. 
   Aku minta maaf. Aku butuh satu kesempatan, Raya.”

 
           




   “Reply: Soraya Hadi @rayahadi
   Untuk apa?”

 
           



            Entah ini sebuah pertahanan atau sebuah ke-sok-jual-mahal-an.

            Ting tung.
            “From: Satrio Yudha @rioyudh
            Please?
            Let’s sit together, just us. And make a little conversation.”

 
 





           

            Aku ragu. Bukankah ini yang selama ini kuharapkan? Rio kembali? Tapi, luka itu masih belum kering, bahkan masih sangat bernanah.

            Ting tung.

   “From: Satrio Yudha @rioyudh
   Please, Ray? Aku janji keburukan satu bulan lalu 
   tidak akan pernah terjadi lagi.”

 
           



            Kesempatan. Sesuatu yang mahal yang akan kuberikan secara Cuma-Cuma kepada Rio.
             “Reply: Soraya Hadi @rayahadi
             Atur waktu.”

 
 


           

           

Post tweet.

            Aku sudah harus siap dengan segala resiko. Entah Rio akan memberikan obat paling ampuh untuk lukaku, atau malah ia akan menaburkan garam di atas lukaku yang masih sangat basah.

***

            Cerah sekali. Sudah 20 menit. Ia belum juga datang. Untung saja kedai ini menyediakan interior yang enak dipandang serta menu-menu yang rasanya begitu gemilang. Jadi, mau 20 menit atau berapa menitpun menunggu, rasa bosan tak akan datang. Aku menikmati dengan hati senang. Hatiku sedang berkembang.

            40 menit ia baru kelihatan, ia tersenyum dari kejauhan sambil melambaikan tangan.

            “Maaf lama, macet...”
            “It’s okay, no worries.”
            “Sudah pesan?”
            “Sudah.”

            Ia memanggil pelayan, memesan minuman dan beberapa camilan.

            Kami berdua saling diam. Lama sekali. Dua puluh menit dikalikan dua, pesanannya datang.
           
            “Sibuk apa sekarang?” ia mengawali.
            “Kuliah, sambil nulis-nulis. Masih sama saja.”
            “Aku juga, skripsi bagaimana?”
            “Aku skripsi masih dua tahun lagi, Rio.”
            “Iya, becanda.”

            Kami tertawa kecil.

            “Em...Ray..”
            “Iya?”
            “Soal kita. Aku ingin memulainya lagi.”

            Sudah kuduga. Ia akan langsung pada point pembicaraan. Aku paham ia bukan orang yang suka banyak basa-basi. Karena baginya basa-basi akan membuat suasana semakin basi. Aku mati kutu.

            “Maaf kalau aku tak pernah memberi alasan kenapa kita harus selesai waktu itu.”
           
            Aku hanya memainkan jari, tak jelas. Aku gugup. Aku ragu. Jika aku menjawab iya, segampang itukah ia kembali menyentuhku? Semudah itukah ia kembali memelukku seerat dulu?

            “Kau tak harus menjawabnya sekarang. Tak apa. Aku akan menunggu sampai kau benar-benar siap.”

            Aku menatap matanya. Sendu. Biru.

            “Aku pergi dulu, ada kuliah. Terimakasih jika mau menunggu jawabanku.”

            Ia mengangguk, tersenyum, “hati-hati.”

***
“Pertanyaan yang mudah, namun jawaban yang susah. 
Bahkan di google-pun tak ada.”

 
 


           



            Post tweet.

***

Berkembang namun bimbang.

            Permasalahan ya atau tidak membuatku tak bisa tidur. Besok hari libur, seharusnya ada sesuatu yang bisa membuatku terhibur. Ataukah aku harus menggali kembali kenangan yang sempat terkubur? Sebelum nasi terlanjur menjadi bubur?
“Badai yang tak kasat mata. Aku ingin menghadapinya, 
tapi tak punya senjata.”
 
 





           
            Post tweet.

***
“Hari libur. Mari bergulat dengan buku hingga menjamur!”

 
 



           

Post tweet.

***

            Pukul 08.45 aku sudah bersiap untuk pergi. Aku memilih untuk berjalan kaki sambil menghirup udara sisa hujan semalam. Perpustakaan daerah masih 40 menit lagi. Tak apa. Aku menikmati pagi.

            Ting tung.

“Satrio Yudha @rioyudh
@rayahadi: mau ke perpustakaan? Aku sudah di sini sejak 40 menit yang lalu. 
Hubungi aku kalau sudah sampai.”

 
 





           
Hiburan tambahan.

***

            Selamat pagi!
            Ah, terlalu dini untuk sebuah selamat pagi.
            Saat ini pukul 00.35. Aku insomnia.

            Ting tung. Sms masuk.

            “Sudah tidur? Kalau belum, boleh aku telephone?”

            Aku tersenyum.

            “Boleh.”
            Send messege.

            Kring!

            Aku menekan tombol hijau.

            “Hai...” suara dari seberang.

***

            Cuaca mendung. Gerimis menggantung.
            Saat ini pukul 12.10. aku datang 40 menit lebih awal dari janji makan siang kami. Aku sudah mengantongi jawaban untuk Rio.aku bersemangat sekali siang ini.

            Tak lama Rio datang. Ia terlihat sangat rapi dengan kemeja abu-abu dan celana jinsnya.

            “Hai...” ia tersenyum.
            “Hai,” aku tersenyum lebih lebar.
            “Padahal aku sudah berusaha datang lebih awal, tapi tetap saja aku kalah rekor denganmu, Ray.”
            “Bisa saja.”

            Kami tertawa.

            “Sudah pesan?”
            “Belum.”

            Ia memanggil pelayan. Kami memesan minuman dan camilan. Seperti biasa.

            “Kau cerah sekali, Ray,” katanya setelah pelayan tersebut pergi dengan membawa catatan makanan dan minuman yang kami pesan.

            “Iya. Karena aku sudah punya jawaban.”
            “Oh, ya? Apa?” ia terlihat tak sabar.
            “Em...soal pertanyaan dan pernyataanmu waktu itu...”
            “Jadi, iya? Atau tidak?” ia bertanya lagi.

            Aku tersenyum.

            “I...”

            Duar!
            Suara petir mengagetkanku. Disusul hujan yang sangat deras.

            Aku kaget.
            Aku membuka mata.
            Aku tidur terlentang, selimut membatang, menatap lurus ke depan, dengan handphone di genggaman.

            Aku melirik ke sekitar. Ke kanan. Ke kiri. Ke handphone dalam genggaman.
            “Connection issue with twitter. Please try again later.”

 
 




           
            Aku memalingkan pandangan ke jam dinding di sisi kamarku.
            Saat ini pukul 02.45 pagi.


            Saatnya tidur lagi. Tanpa mimpi.
Share: