Monday, 10 November 2014

[Cerpen] Kemeja Hijau Tosca

Gis
Sering ia menangis dalam diam, menangis tanpa isak. Mungkin ia tak ingin ada yang tahu, betapa hatinya begitu penuh sembilu. Jika ia sudah mulai duduk di bangku pojok kanan ruangan, dan mengambil posisi paling belakang, itu berarti sesuatu siap menyembur dari kedua sorot indahnya.
Sama seperti pagi ini. Kulihat ia datang lebih awal dari biasa. Masuk ruangan tanpa menoleh siapa-siapa. Mengambil posisi bangku favorit ketika hatinya sedang sendu. Dalam hitungan sepuluh menit, ia dan tangisan bisunya tak bisa diganggu. Pernah suatu hari aku memberanikan diri untuk sekadar bertanya, “Kamu kenapa?” ia hanya menggeleng sambil memainkan tisu di tangan, sedetik kemudian ia sudah kembali ke dunia yang tak seorang pun mampu menerka.
Sepanjang perkuliahan arah mataku tak pernah lepas dari sosoknya. Aku penasaran. Terkadang ia begitu riang. Terkadang begitu muram. Dalam kepalanya berkecamuk ribuan beban. Mungkin ia butuh berbagi, ―setidaknya untuk sekadar melihat ia menari.
Kulihat ia tergesa ketika jam perkuliahan usai. Aku mengikutinya. Pandangannya masih sama, tak menoleh siapa-siapa. Kini, ia menuju perpustakaan. Aku masih mengikutinya. Ia mengambil posisi duduk yang dirasa nyaman, lagi-lagi di pojok ruangan. Sementara aku mengambil posisi duduk yang tak terlalu jauh dari posisinya, agar aku masih tetap bisa melihat tanpa takut ketahuan olehnya. Ia mengeluarkan sebuah pulpen dan selembar kertas ―menulis. Entah apa yang ia tulis, dari tempatku duduk sekarang ia tampak begitu serius. Lagi-lagi, tak menoleh siapa-siapa. Setelah dirasa selesai, ia menyelipkan kertas tersebut ke sebuah halaman buku milik perpustakaan, kemudian berlalu. Aku tak lagi mengikutinya. Kini, perhatianku tertuju pada tulisan yang baru saja ia selipkan pada sebuah buku. Aku mendapatkannya. Kubuka kertas tersebut.
Beda orang, beda kasus. Ada yang memilih membagi kecambuk hati pada orang lain. Pun ada pula yang memutuskan untuk memendam sedalam mungkin untuk dirinya sendiri, karena tak semua hal bisa dibagi semudah memberi nasi kepada pengemis yang mengaku belum makan tiga hari. Dan saya memilih yang kedua. Tolong, jangan pernah ikuti saya lagi seperti hari ini, Gis.
Aku tersentak.
“Saya tahu kamu tak akan membiarkan tulisan itu lewat begitu saja,” suaranya membuatku semakin tersentak. Suara Pure. Ia belum benar-benar enyah dari ruangan ini. Buktinya, sekarang ia berdiri di hadapanku. Setidaknya aku membuatnya menoleh ke arahku setelah sepanjang hari ia tak menoleh siapa-siapa.
Aku mengangkat bahu. Menggeleng. Tersenyum entah untuk apa, “Saya rasa, saya tak perlu mengulangi sampai dua kali,” ia berkata lagi. Aku menemukan sosok baru lagi di tubuhnya. Tak hanya riang dan muram, tetapi juga asam. Mungkin ia bisa kuibaratkan permen nano-nano hidup. Kalau bisa kukunyah, aku ingin mengunyahnya sekarang.
Aku mengangguk tak tentu, “Well, aku tertangkap basah. Hukuman apa yang akan kuterima?” ucapku.
“Saya belum kepikiran. Biar saya pikirkan dulu, akan saya beri tahu setelah saya menemukan hukuman yang pas untuk seorang penguntit,” jawabnya semakin asam. Ia membuatku semakin gemas. Kali ini, aku benar-benar ingin mengunyahnya.
***
Tastra
Sudah pukul dua dini hari. Tak mungkin ia lupa diri.
Seharusnya sudah sejak satu jam yang lalu ia datang ke sini. Pasti ada sesuatu yang terjadi, pikirku. Tak biasanya ia melenceng jauh dari janji. Aku men-dial nomornya berkali-kali, tetap saja tak ada respon sama sekali.
            “Sabar, Tra, gue lagi nganter si Mona balik,” ucapnya tanpa halo setelah mengangkat telepon yang ke ―kalau nggak salah― enam belas.
            “Hmmmm,” jawabku kemudian menutup telepon.
Sejurus kemudian handphone berdering. Gis.
“Iya, gue tunggu, lo tahu kan gue setia?” ucapku tanpa halo setelah mengangkat telepon. Tanpa menunggu ocehannya lagi, kututup telepon sedetik kemudian.
Handphone berdering lagi. Gis. Lagi.
Dih,” ucapnya tanpa mengucapkan halo setelah aku mengangkat teleponnya. Belum sempat kubalas, ia sudah menutup telepon.
Mendadak senyap.
Kedai ini tempat biasa aku dan Gis membuat pertemuan. Dua laki-laki yang hanya beda tiga bulan delapan belas hari. Meski begitu, tetap saja aku yang lebih tua. Kami sudah berteman sejak kelas delapan. Sejak kami belum mengenal beban. Sejak kami senang berhujan-hujan. Sejak kami senang memancing ikan. Sejak kami senang bermain bola di lapangan. Sejak kami masih belum peduli mana di antara kami yang lebih tampan. Sejak kami senang memainkan permainan kampungan ―yang bahkan anak-anak masa kini melirik pun enggan. Hingga sekarang, pertemanan kami tak akan habis termakan jaman. Aku merasa Gis seperti bagian dari keluarga. Meski kami tak seayah. Tak seibu. Tak sedarah. Tak sedaging.
Sudah sepuluh menit, terhitung dari kali terakhir Gis menelepon. Ia belum juga datang. Kuputuskan untuk meneleponnya lagi.
“Kok, lo belum datang juga? Atau, kok, lo nggak telepon lagi?” ucapku tanpa halo setelah Gis mengangkat telepon. Seperti biasa. Tapi, belum sempat kututup telepon, ia sudah berada di depanku dengan handphone menempel di telinga kanan. Ia menutup telepon buru-buru. Kok, jadi Gis yang menutup telepon?
“Satu jam lebih,” ucapku setelah ia duduk persis di depanku, “Ngomong-ngomong, Mona siapa?”
“Teman, tadi ketemu di jalan. Terus gue anterin, deh. Kenapa?”
“Nggak apa-apa, nggak pernah dengar namanya.”
“Oh, kirain lo cemburu,” ucapnya setengah becanda.
Dih,”
“Udah pesan?” tanyanya kemudian.
“Belum. Yang ngajak ketemu, yang traktir; yang telat, yang traktir,” jawabku. Sarkastik. Penuh senyum jahat.
Gis mengiyakan.
Kami berbincang ringan. Membicarakan hal-hal yang tak masuk akal. Beginilah aku dan Gis. Hingga pesanan datang, aku memulai percakapan inti, “Apa? Mau nunjukkin apa?”
Ia mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya. Selembar kertas yang dilipat tak beraturan. Ia menyerahkan kertas tersebut padaku.
Aku membacanya. Tak mengerti.
“Siapa yang nulis?” tanyaku kemudian.
“Pure,” jawabnya ringan.
“Pure?” aku semakin tak mengerti.
Ia mengangguk, “Teman sekelas gue,” suaranya agak tak jelas karena ia menjawab sambil mengunyah makanan. Tapi setidaknya aku mendengar jawabannya.
“Lo ngapain ngikutin dia?”
Ia mengangkat bahu. Menggeleng. Aku mengernyitkan dahi. Tak mengerti.
“Siapa tahu bisa lo jadiin lagu, tuh. Apa bedanya sama puisi-puisi anonim, tak bernama, tak beridentitas, yang dikirimin ke elo. Akhirnya jadi lagu juga, kan?”
“Terus, apa lagi?”
“Sudah,” jawabnya singkat.
“Kenapa nggak besok aja?”
Gis terdiam, “Karena gue ngerasa, ini harus segera.”
***
Pure
            Aku menatapnya tanpa kata. Memperingatkannya lewat mata agar ia tak lagi mengikutiku seperti yang ia lakukan hari lalu. Ada hal lain yang aku tak ingin ia tahu. karena ia adalah Gis. Akan menjadi berbeda ketika yang mengikutiku adalah orang lain, atau setidaknya aku tak akan merasa terlalu terancam seperti ini.
            “Sudah dapat hukuman yang pas?” kalimat pertamanya setelah mengambil posisi duduk tepat di sebelahku. Sapaan macam apa di pagi hari seperti ini. Aku menggeleng.
            “Lambat” ucapnya kemudian. Gis memang gila. Ia suka seenaknya kalau bicara. Semua orang juga sudah tahu. ibarat hidung, ia tak punya bulu hidung sebagai sensor. Aku beranjak. Mengambil tempat duduk yang jauh darinya. Ia mengkutiku.
            Ia duduk di sebelahku lagi. Apa bedanya dengan yang tadi. Toh, sama-sama ia tetap duduk di sebelahku. Ia mencuri pandang ke arah bukuku. Untung saja aku segera tahu.
            “Ada apa?” aku bergidik. Curiga.
Ia menggeleng cepat.
“Setelah kemarin kamu ngikutin saya, sekarang mau mencoba membaca tulisan saya?” ucapku, kemudian menutup buku. Ia tak menjawab. Aku beranjak dengan bermaksud mencari tempat duduk yang lain. Ketika ia juga beranjak ingin mengikutiku berpindah tempat duduk lagi, aku menoleh, “Saya rasa kamu tidak tuli, jadi saya tidak perlu mengulangi sampai tiga kali.”
Ia kembali ke tempat duduknya. Mengangguk tak senang.
Aku berlalu.
***
Tastra
            “Gue dapat puisi lagi.”
            “Bagus, dong. Lagu lo semakin banyak.” Jawab Gis tak acuh sambil terus asyik dengan mainan PS-nya.
            “Bukan itu masalahnya, Gis.”
            “Te....rus?”
            Aku menghela nafas. Membenarkan posisi dudukku, “Lo, penasaran nggak sih?”
            Gis terdiam, matanya mengisyaratkan bahwa ia sedang berfikir, “Nah, lo sendiri?” ia balik bertanya.
            “Sangat.” jawabku singkat.
            “Sama,” timpal Gis, “Teman sekelas lo mungkin?” lanjutnya.
            “Setahu gue, teman sekelas gue nggak ada yang bisa bikin tulisan bagus. Lo , kan, tahu gue anak musik.”
            “Yang bisa bikin tulisan bagus itu biasanya anak sastra, kayak gue. Iya, kan?” ucap Gis.
            Aku mengangguk, “Nah, teman sekelas lo, dong? Atau jangan-jangan elo?” aku baru ingat kalau sahabat eratku yang satu ini adalah mahasiswa sastra.
Dih, ngapain amat,” jawab Gis, agak sedikit jijik. Kemudian melanjutkan permainan PS-nya lagi.
Tak ada percakapan lagi. Sunyi. Senyap. Kami lenyap dalam pikiran masing-masing. Aku beranjak dari tempat duduk dan menuju ke piano. Aku memainkan satu lagu yang baru saja selesai kubuat musiknya.
Beda orang, beda kasus.
Ada yang memilih membagi kecambuk hati pada orang lain.
Pun ada pula yang memutuskan untuk memendam
sedalam mungkin untuk dirinya sendiri,
karena tak semua hal bisa dibagi semudah memberi nasi
kepada pengemis yang mengaku belum makan tiga hari.
Dan saya memilih yang kedua.
Tolong, jangan pernah ikuti saya lagi seperti hari ini, Gis.
“Pure!” teriak Gis setelah aku selesai memainkan lagu tersebut. Aku kaget setengah mampus. Gis memang gila.
“Iya, ini tulisan Pure yang lo kasih ke gue,” jawabku ringan.
“Pure, Tra. Pure yang selama ini ngirim puisi-puisi ke elo!” ucap Gis yakin. Aku tak pernah melihatnya seyakin ini. Sorot yang begitu berbeda, “Dia nggak pernah mau tulisannya dibaca orang.”
“Lo yakin?”
“Sangat!”
***
Siang Rabu.
Matahari tak terlalu terik. Mungkin sebentar lagi rintik.
Tastra
            Aku tak akan melepaskan pandangan dari gadis itu. Ia cantik. Dan aku terlambat menyadarinya. Ia yang lebih dulu menyadari kehadiranku.
Gis
            Si permen nano-nano yang sudah ketahuan rahasia hatinya, sedang duduk sebatang kara di taman depan kelas. Oh, Pure yang malang. Ia lupa bahwa rahasia tak selamanya diam saja, padahal peribahasa sudah sering memperingatkannya tentang sepandai-pandai tupai melompat, pasti jatuh juga.
Pure
            Dua sahabat itu sedang makan siang bersama. Tastra. Sepertinya arah matamu tak lepas memandangiku. Seandainya setiap hari bisa seperti itu.
Gis
            “Gimana menurut lo?”
            “Cantik.”
            “Bukan itu,” aku mendengus.
            “Terus?”
            “Menurut lo, dugaan gue benar nggak?” ucapku setengah berbisik.
            Tastra mengangkat bahu tanpa melepas pandangannya dari Pure.
            “Payah,” ucapku. Kemudian beranjak.
***
Gis
            “Sudah nemu hukuman yang pas untuk seorang penguntit?” tanyaku ketika tak sengaja berpapasan dengan Pure.
            “Belum,” jawab Pure, tertunduk.
            “Mau sampai kapan kamu sembunyi seperti ini, Pure?”
            Kurasa ia tak mengerti. Seperti biasa, ia mengernyitkan dahi, “Tastra,” lanjutku.
            Ia tak dapat menyembunyikan kejut, “Tastra? Si-siapa Tas-t-ra?”
            Hmmm, reaksinya semakin jelas. Bahwa memang ia lah yang selama ini mengrimkan puisi untuk Tastra, pikirku.
            “Sudahlah, Pure. Tak ada gunanya lagi sembunyi,” ucapku semakin membuatnya terpojok.
Pure
            Aku terdiam. Gemuruh menyelimuti hatiku. Bagaimana Gis bisa tahu. dan Tastra? Seingatku, tak pernah sekali pun aku menceritakan hal ini pada orang lain. Tak pernah pula aku membiarkan orang lain membaca tulisanku secara sengaja ataupun tidak. Lalu, dari mana mereka tahu?
            Gis meninggalkanku mematung di ambang pintu.
***
Pure
            Aku menghampiri Gis yang sedang duduk ketika aku baru sampai di ruang kelas, “Saya sudah punya hukuman buat kamu.”
            Wajahnya menengadah, “Apa?”
            Aku menyerahkan kotak besar padanya. Kuletakkan kotak tersebut di mejanya, “Tolong, berikan pada Tastra.”
            “Cuma ini hukumannya?”
            Aku mengangguk.
            “Okay,” katanya mengiyakan.
***
Gis
Tak menunggu waktu lama, aku langsung menghampiri kelas Tastra dan menyerahkan kotak dari Pure pada Tastra.
“Nih buat lo.”
“Emang gue ulang tahun?”
“Dari Pure.”
Tastra segera menerimanya.
Tastra
            Ia memang tak pernah kehabisan cara. Setelah puisi, lalu ini apa lagi? Aku segera membuka bungkusan kotak tersebut. Sebuah kemeja lengan panjang berwarna hijau tosca. Dan sebuah surat kecil. Pasti puisi.
            Bukan pure kalau tanpa puisi. Aku membuka surat kecil tersebut.
Kemeja Hijau Tosca
Aku ingat sangat
Kapan kali pertama aku terjerat
Kapan kali pertama hatiku tambat
Aku mencintai lekukmu di setiap pahat

Bila kau sudah tua nanti
Puisi-puisi ini akan menjadi saksi
Ketulusanku yang tanpa tapi
Mendamba tanpa mengharap isi

Jika setelah ini tak ada lagi puisi
Mungkin itu adalah bukti
Bahwa kau telah mengerti isi hati ini
Tanpa aku harus bersusah payah mendaki

Berbahagialah karena aku juga akan bahagia
Mencintalah karena aku juga akan mencinta
Bersama kemeja hijau tosca
Kau akan mengingatku tanpa jeda

―sembilan november dua ribu empat belas
   cinta tak lekas harus berbalas

☼ Selesai ☼
―Teruntuk mereka yang mencinta tanpa mengharap apa-apa.
    Kalian telah paham,
cinta yang sesungguhnya bukan lah pada raga melainkan pada jiwa.
Bukanlah pada memiliki, melainkan pada hati.


Share:

0 comments: