Gis
Sering ia menangis dalam diam, menangis
tanpa isak. Mungkin ia tak ingin ada yang tahu, betapa hatinya begitu penuh
sembilu. Jika ia sudah mulai duduk di bangku pojok kanan ruangan, dan mengambil
posisi paling belakang, itu berarti sesuatu siap menyembur dari kedua sorot
indahnya.
Sama seperti pagi ini. Kulihat ia datang
lebih awal dari biasa. Masuk ruangan tanpa menoleh siapa-siapa. Mengambil
posisi bangku favorit ketika hatinya sedang sendu. Dalam hitungan sepuluh
menit, ia dan tangisan bisunya tak bisa diganggu. Pernah suatu hari aku
memberanikan diri untuk sekadar bertanya, “Kamu kenapa?” ia hanya menggeleng sambil
memainkan tisu di tangan, sedetik kemudian ia sudah kembali ke dunia yang tak
seorang pun mampu menerka.
Sepanjang perkuliahan arah mataku tak
pernah lepas dari sosoknya. Aku penasaran. Terkadang ia begitu riang. Terkadang
begitu muram. Dalam kepalanya berkecamuk ribuan beban. Mungkin ia butuh
berbagi, ―setidaknya untuk sekadar melihat ia menari.
Kulihat ia tergesa ketika jam
perkuliahan usai. Aku mengikutinya. Pandangannya masih sama, tak menoleh
siapa-siapa. Kini, ia menuju perpustakaan. Aku masih mengikutinya. Ia mengambil
posisi duduk yang dirasa nyaman, lagi-lagi di pojok ruangan. Sementara aku
mengambil posisi duduk yang tak terlalu jauh dari posisinya, agar aku masih
tetap bisa melihat tanpa takut ketahuan olehnya. Ia mengeluarkan sebuah pulpen
dan selembar kertas ―menulis. Entah apa yang ia tulis, dari tempatku duduk
sekarang ia tampak begitu serius. Lagi-lagi, tak menoleh siapa-siapa. Setelah
dirasa selesai, ia menyelipkan kertas tersebut ke sebuah halaman buku milik
perpustakaan, kemudian berlalu. Aku tak lagi mengikutinya. Kini, perhatianku
tertuju pada tulisan yang baru saja ia selipkan pada sebuah buku. Aku
mendapatkannya. Kubuka kertas tersebut.
Beda
orang, beda kasus. Ada yang memilih membagi kecambuk hati pada orang lain. Pun
ada pula yang memutuskan untuk memendam sedalam mungkin untuk dirinya sendiri,
karena tak semua hal bisa dibagi semudah memberi nasi kepada pengemis yang
mengaku belum makan tiga hari. Dan saya memilih yang kedua. Tolong, jangan
pernah ikuti saya lagi seperti hari ini, Gis.
Aku tersentak.
“Saya tahu kamu tak akan membiarkan
tulisan itu lewat begitu saja,” suaranya membuatku semakin tersentak. Suara
Pure. Ia belum benar-benar enyah dari ruangan ini. Buktinya, sekarang ia
berdiri di hadapanku. Setidaknya aku membuatnya menoleh ke arahku setelah
sepanjang hari ia tak menoleh siapa-siapa.
Aku mengangkat bahu. Menggeleng.
Tersenyum entah untuk apa, “Saya rasa, saya tak perlu mengulangi sampai dua
kali,” ia berkata lagi. Aku menemukan sosok baru lagi di tubuhnya. Tak hanya
riang dan muram, tetapi juga asam. Mungkin ia bisa kuibaratkan permen nano-nano hidup. Kalau bisa kukunyah,
aku ingin mengunyahnya sekarang.
Aku mengangguk tak tentu, “Well, aku tertangkap basah. Hukuman apa
yang akan kuterima?” ucapku.
“Saya belum kepikiran. Biar saya pikirkan
dulu, akan saya beri tahu setelah saya menemukan hukuman yang pas untuk seorang
penguntit,” jawabnya semakin asam. Ia membuatku semakin gemas. Kali ini, aku
benar-benar ingin mengunyahnya.
***
Tastra
Sudah pukul dua dini hari. Tak mungkin
ia lupa diri.
Seharusnya sudah sejak satu jam yang
lalu ia datang ke sini. Pasti ada sesuatu
yang terjadi, pikirku. Tak biasanya ia melenceng jauh dari janji. Aku men-dial nomornya berkali-kali, tetap saja
tak ada respon sama sekali.
“Sabar,
Tra, gue lagi nganter si Mona balik,”
ucapnya tanpa halo setelah mengangkat
telepon yang ke ―kalau nggak salah―
enam belas.
“Hmmmm,”
jawabku kemudian menutup telepon.
Sejurus kemudian handphone berdering. Gis.
“Iya, gue tunggu, lo tahu kan gue
setia?” ucapku tanpa halo setelah
mengangkat telepon. Tanpa menunggu ocehannya lagi, kututup telepon sedetik
kemudian.
Handphone berdering lagi. Gis. Lagi.
“Dih,”
ucapnya tanpa mengucapkan halo
setelah aku mengangkat teleponnya. Belum sempat kubalas, ia sudah menutup telepon.
Mendadak senyap.
Kedai ini tempat biasa aku dan Gis
membuat pertemuan. Dua laki-laki yang hanya beda tiga bulan delapan belas hari.
Meski begitu, tetap saja aku yang lebih tua. Kami sudah berteman sejak kelas
delapan. Sejak kami belum mengenal beban. Sejak kami senang berhujan-hujan.
Sejak kami senang memancing ikan. Sejak kami senang bermain bola di lapangan.
Sejak kami masih belum peduli mana di antara kami yang lebih tampan. Sejak kami
senang memainkan permainan kampungan ―yang bahkan anak-anak masa kini melirik
pun enggan. Hingga sekarang, pertemanan kami tak akan habis termakan jaman. Aku
merasa Gis seperti bagian dari keluarga. Meski kami tak seayah. Tak seibu. Tak
sedarah. Tak sedaging.
Sudah sepuluh menit, terhitung dari kali
terakhir Gis menelepon. Ia belum juga datang. Kuputuskan untuk meneleponnya
lagi.
“Kok, lo belum datang juga? Atau, kok,
lo nggak telepon lagi?” ucapku tanpa halo setelah Gis mengangkat telepon.
Seperti biasa. Tapi, belum sempat kututup telepon, ia sudah berada di depanku
dengan handphone menempel di telinga
kanan. Ia menutup telepon buru-buru. Kok, jadi Gis yang menutup telepon?
“Satu jam lebih,” ucapku setelah ia
duduk persis di depanku, “Ngomong-ngomong, Mona siapa?”
“Teman, tadi ketemu di jalan. Terus gue
anterin, deh. Kenapa?”
“Nggak apa-apa, nggak pernah dengar
namanya.”
“Oh, kirain lo cemburu,” ucapnya
setengah becanda.
“Dih,”
“Udah pesan?” tanyanya kemudian.
“Belum. Yang ngajak ketemu, yang
traktir; yang telat, yang traktir,” jawabku. Sarkastik. Penuh senyum jahat.
Gis mengiyakan.
Kami berbincang ringan. Membicarakan hal-hal
yang tak masuk akal. Beginilah aku dan Gis. Hingga pesanan datang, aku memulai
percakapan inti, “Apa? Mau nunjukkin apa?”
Ia mengeluarkan sesuatu dari saku
kemejanya. Selembar kertas yang dilipat tak beraturan. Ia menyerahkan kertas
tersebut padaku.
Aku membacanya. Tak mengerti.
“Siapa yang nulis?” tanyaku kemudian.
“Pure,” jawabnya ringan.
“Pure?” aku semakin tak mengerti.
Ia mengangguk, “Teman sekelas gue,”
suaranya agak tak jelas karena ia menjawab sambil mengunyah makanan. Tapi
setidaknya aku mendengar jawabannya.
“Lo ngapain ngikutin dia?”
Ia mengangkat bahu. Menggeleng. Aku
mengernyitkan dahi. Tak mengerti.
“Siapa tahu bisa lo jadiin lagu, tuh. Apa bedanya sama puisi-puisi anonim,
tak bernama, tak beridentitas, yang dikirimin ke elo. Akhirnya jadi lagu juga,
kan?”
“Terus, apa lagi?”
“Sudah,” jawabnya singkat.
“Kenapa nggak besok aja?”
Gis terdiam, “Karena gue ngerasa, ini harus segera.”
***
Pure
Aku
menatapnya tanpa kata. Memperingatkannya lewat mata agar ia tak lagi
mengikutiku seperti yang ia lakukan hari lalu. Ada hal lain yang aku tak ingin
ia tahu. karena ia adalah Gis. Akan menjadi berbeda ketika yang mengikutiku
adalah orang lain, atau setidaknya aku tak akan merasa terlalu terancam seperti
ini.
“Sudah
dapat hukuman yang pas?” kalimat pertamanya setelah mengambil posisi duduk
tepat di sebelahku. Sapaan macam apa di pagi hari seperti ini. Aku menggeleng.
“Lambat”
ucapnya kemudian. Gis memang gila. Ia suka seenaknya kalau bicara. Semua orang
juga sudah tahu. ibarat hidung, ia tak punya bulu hidung sebagai sensor. Aku
beranjak. Mengambil tempat duduk yang jauh darinya. Ia mengkutiku.
Ia
duduk di sebelahku lagi. Apa bedanya dengan yang tadi. Toh, sama-sama ia tetap duduk di sebelahku. Ia mencuri pandang ke
arah bukuku. Untung saja aku segera tahu.
“Ada
apa?” aku bergidik. Curiga.
Ia menggeleng cepat.
“Setelah kemarin kamu ngikutin saya,
sekarang mau mencoba membaca tulisan saya?” ucapku, kemudian menutup buku. Ia
tak menjawab. Aku beranjak dengan bermaksud mencari tempat duduk yang lain. Ketika
ia juga beranjak ingin mengikutiku berpindah tempat duduk lagi, aku menoleh,
“Saya rasa kamu tidak tuli, jadi saya tidak perlu mengulangi sampai tiga kali.”
Ia kembali ke tempat duduknya.
Mengangguk tak senang.
Aku berlalu.
***
Tastra
“Gue
dapat puisi lagi.”
“Bagus,
dong. Lagu lo semakin banyak.” Jawab Gis tak acuh sambil terus asyik dengan
mainan PS-nya.
“Bukan
itu masalahnya, Gis.”
“Te....rus?”
Aku
menghela nafas. Membenarkan posisi dudukku, “Lo, penasaran nggak sih?”
Gis
terdiam, matanya mengisyaratkan bahwa ia sedang berfikir, “Nah, lo sendiri?” ia
balik bertanya.
“Sangat.”
jawabku singkat.
“Sama,”
timpal Gis, “Teman sekelas lo mungkin?” lanjutnya.
“Setahu
gue, teman sekelas gue nggak ada yang bisa bikin tulisan bagus. Lo , kan, tahu
gue anak musik.”
“Yang
bisa bikin tulisan bagus itu biasanya anak sastra, kayak gue. Iya, kan?” ucap Gis.
Aku
mengangguk, “Nah, teman sekelas lo, dong? Atau jangan-jangan elo?” aku baru
ingat kalau sahabat eratku yang satu ini adalah mahasiswa sastra.
“Dih,
ngapain amat,” jawab Gis, agak
sedikit jijik. Kemudian melanjutkan permainan PS-nya lagi.
Tak ada percakapan lagi. Sunyi. Senyap.
Kami lenyap dalam pikiran masing-masing. Aku beranjak dari tempat duduk dan
menuju ke piano. Aku memainkan satu lagu yang baru saja selesai kubuat
musiknya.
Beda orang, beda kasus.
Ada yang memilih membagi kecambuk
hati pada orang lain.
Pun ada pula yang memutuskan untuk
memendam
sedalam mungkin untuk dirinya
sendiri,
karena tak semua hal bisa dibagi
semudah memberi nasi
kepada pengemis yang mengaku belum
makan tiga hari.
Dan saya memilih yang kedua.
Tolong,
jangan pernah ikuti saya lagi seperti hari ini, Gis.
“Pure!” teriak Gis setelah aku selesai
memainkan lagu tersebut. Aku kaget setengah mampus. Gis memang gila.
“Iya, ini tulisan Pure yang lo kasih ke
gue,” jawabku ringan.
“Pure, Tra. Pure yang selama ini ngirim
puisi-puisi ke elo!” ucap Gis yakin. Aku tak pernah melihatnya seyakin ini.
Sorot yang begitu berbeda, “Dia nggak
pernah mau tulisannya dibaca orang.”
“Lo yakin?”
“Sangat!”
***
Siang Rabu.
Matahari
tak terlalu terik. Mungkin sebentar lagi rintik.
Tastra
Aku
tak akan melepaskan pandangan dari gadis itu. Ia cantik. Dan aku terlambat
menyadarinya. Ia yang lebih dulu menyadari kehadiranku.
Gis
Si
permen nano-nano yang sudah ketahuan rahasia hatinya, sedang duduk sebatang
kara di taman depan kelas. Oh, Pure yang malang. Ia lupa bahwa rahasia tak
selamanya diam saja, padahal peribahasa sudah sering memperingatkannya tentang sepandai-pandai tupai melompat, pasti jatuh
juga.
Pure
Dua
sahabat itu sedang makan siang bersama. Tastra. Sepertinya arah matamu tak
lepas memandangiku. Seandainya setiap hari bisa seperti itu.
Gis
“Gimana
menurut lo?”
“Cantik.”
“Bukan
itu,” aku mendengus.
“Terus?”
“Menurut
lo, dugaan gue benar nggak?” ucapku
setengah berbisik.
Tastra
mengangkat bahu tanpa melepas pandangannya dari Pure.
“Payah,”
ucapku. Kemudian beranjak.
***
Gis
“Sudah
nemu hukuman yang pas untuk seorang penguntit?” tanyaku ketika tak sengaja
berpapasan dengan Pure.
“Belum,”
jawab Pure, tertunduk.
“Mau
sampai kapan kamu sembunyi seperti ini, Pure?”
Kurasa
ia tak mengerti. Seperti biasa, ia mengernyitkan dahi, “Tastra,” lanjutku.
Ia
tak dapat menyembunyikan kejut, “Tastra? Si-siapa Tas-t-ra?”
Hmmm, reaksinya semakin jelas. Bahwa memang
ia lah yang selama ini mengrimkan puisi untuk Tastra, pikirku.
“Sudahlah,
Pure. Tak ada gunanya lagi sembunyi,” ucapku semakin membuatnya terpojok.
Pure
Aku
terdiam. Gemuruh menyelimuti hatiku. Bagaimana Gis bisa tahu. dan Tastra? Seingatku,
tak pernah sekali pun aku menceritakan hal ini pada orang lain. Tak pernah pula
aku membiarkan orang lain membaca tulisanku secara sengaja ataupun tidak. Lalu,
dari mana mereka tahu?
Gis
meninggalkanku mematung di ambang pintu.
***
Pure
Aku
menghampiri Gis yang sedang duduk ketika aku baru sampai di ruang kelas, “Saya
sudah punya hukuman buat kamu.”
Wajahnya
menengadah, “Apa?”
Aku
menyerahkan kotak besar padanya. Kuletakkan kotak tersebut di mejanya, “Tolong,
berikan pada Tastra.”
“Cuma
ini hukumannya?”
Aku
mengangguk.
“Okay,” katanya mengiyakan.
***
Gis
Tak menunggu waktu lama, aku langsung
menghampiri kelas Tastra dan menyerahkan kotak dari Pure pada Tastra.
“Nih buat lo.”
“Emang gue ulang tahun?”
“Dari Pure.”
Tastra segera menerimanya.
Tastra
Ia
memang tak pernah kehabisan cara. Setelah puisi, lalu ini apa lagi? Aku segera
membuka bungkusan kotak tersebut. Sebuah kemeja lengan panjang berwarna hijau tosca. Dan sebuah surat kecil. Pasti puisi.
Bukan
pure kalau tanpa puisi. Aku membuka surat kecil tersebut.
Kemeja Hijau Tosca
Aku ingat sangat
Kapan kali pertama aku terjerat
Kapan kali pertama hatiku tambat
Aku mencintai lekukmu di setiap pahat
Bila kau sudah tua nanti
Puisi-puisi ini akan menjadi saksi
Ketulusanku yang tanpa tapi
Mendamba tanpa mengharap isi
Jika setelah ini tak ada lagi puisi
Mungkin itu adalah bukti
Bahwa kau telah mengerti isi hati ini
Tanpa aku harus bersusah payah mendaki
Berbahagialah karena aku juga akan bahagia
Mencintalah karena aku juga akan mencinta
Bersama kemeja hijau tosca
Kau akan mengingatku tanpa jeda
―sembilan november dua ribu empat belas
cinta tak lekas
harus berbalas
☼ Selesai ☼
―Teruntuk mereka yang mencinta tanpa mengharap
apa-apa.
Kalian
telah paham,
cinta yang sesungguhnya bukan lah pada raga
melainkan pada jiwa.
Bukanlah pada memiliki, melainkan pada hati.
0 comments:
Post a Comment