Thursday, 6 November 2014

[Cerpen] Poster Untuk Kak Hasan

Kemarin paman datang. Ia membawa dua kantong plastik di tangannya. Isinya buah jeruk yang masih segar-segar. Katanya untuk bapak yang sedang sakit. Tapi paman selalu lupa, kami tak punya kulkas untuk menyimpan jeruk-jeruk tersebut agar tetap segar. Jangankan kulkas, listrikpun tak ada.
Dengan tanpa menganti plastiknya, jeruk-jeruk tersebut hanya diletakkan di atas meja saja. Akhirnya, adikku, Fitri, yang menghabiskannya.
“Paman, Fitri ingin lihat menara ibu kota!” kata Fitri setangah berteriak sambil menarik-narik sisi kemeja paman.
“Menara ibu kota?” paman balik bertanya.
“Iya, Paman. Seperti yang ada di gambar itu,”Fitri menunjuk poster Menara Eiffel yang aku pajang di depan pintu kamarku.
Paman berjongkok kemudian membelai lembut rambut Fitri.
“Itu namanya Menara Eiffel, sayang. Tempatnya jauh sekali,” kata paman lembut.
“Memangnya seberapa jauh, Paman? Kak Hasan juga selalu bilang seperti itu. Jauh, jauh, jauh!” Fitri manyun.
“Sangat jauh. Harus naik pesawat, lama sekali. Nanti kalau Fitri capek bagaimana?” kata paman menenangkan.
“Sekarang ibu juga ada di tempat yang jauh, kan, Paman? Apa ibu sudah sampai di Menara Eiffel lebih dulu? Kok ibu pergi sendiri? Nggak ngajak Fitri?” Fitri tampak sendu. Aku tahu, Fitri rindu ibu. Begitu juga aku.
Paman memeluk Fitri.
“Minggu depan Paman ajak Fitri dan kak Hasan ke menara ibu kota Jakarta, ya? Tidak kalah bagus sama Menara Eiffel. Pasti Fitri dan kak Hasan suka.”
“Itu di mana, Paman? Jauh tidak?”
“Dekat. Minggu depan Paman ke sini lagi.”
Paman mem=ncium kening Fitri kemudian berpamitan sambil menyerahkan beberapa lembar uang untuk aku dan Fitri.
*
Hari Senin. Hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang akhir semester. Hari pertama Fitri masuk sekolah dasar, kelas satu. Untung saja sekarang ada sekolah gratis. Jadi Fitri bisa merasakan bangku sekolah hingga 9 tahun ke depan. Tak seperti masaku dulu. Bahkan aku tak tahu apa itu sekolah.
Pagi sekali aku mengantar Fitri ke sekolah sebelum pergi berdagang ke pasar. Sesampainya di sekolah, ia kutitipkan pada bu Sri, tetangga kami yang bekerja sebagai guru di SD tempat Fitri bersekolah kini.
Aku sampai di pasar saat matahari berwarna oranye, macam senja namun pagi. Pasar sudah ramai pembeli. Pertanyaan yang sama muncul dari beberapa orang yang berbeda, “Tumben siang, San? Mengantar adikmu masuk SD, ya?” begitu kira-kira. Dari penjual, maupun pembeli. Aku lelah menjawab, jadi aku mengangguk sambil tersenyum saja.
Setiap pagi aku berjualan baju koko, busana muslim, kerudung, dan sandangan sejenisnya. Lalu saat malam tiba aku membuka warung gerobak nasi goreng di ujung gang. Namun kini jadwalku bertambah. Selesai budal dari pasar, aku pergi menjemput Fitri, maklum ia masih kecil dan belum terbiasa dengan sekolahnya. Baru setelah sekitar satu bulan, Fitri berani pulang sekolah sendirian. Terkadang bu Sri mengajak Fitri pulang bersama jika beliau sedang tidak sibuk.
***
Ayah harus ke dokter lagi. Batuknya sudah semakin parah. Aku membawanya pergi ke puskesmas desa setelah selesai berjualan di pasar. Penyakit TBC ayah sudah sangat parah. Aku resah.
Ibuku meninggal empat tahun yang lalu, saat Fitri berusia dua tahun. Sakit TBC juga. Mulai saat itulah aku meneruskan pekerjaan ibu sendirian.
Hari ini hari Ahad, sore nanti paman akan datang untuk menjemput kamiberjalan-jalan ke monas. Fitri sudah siap. Tapi aku memutuskan untuk tinggal di rumah saja, menjaga ayah.
Selesai Isya, suara motor paman baru terdengar. Fitri berlari menuju ke dalam rumah dengan membawa gulungan kertas besar di tangan kanannya, “Inuuntuk kakak!” katanya girang.
Aku membuka gulungan tersebut.
Menara Eiffel!” katanya lagi.
Terimakasih, dik...” aku membelai rambut Fitri.
Fitri mengangguk, tersenyum.
***
3 tahun kemudian...
Fitri sudah kelas tiga Sekolah Dasar. Sementara umurku sudah...entah 20, entah 21. Sekitar angka itu. Bahkan aku lupa berapa tanggal lahirku.
Ayahku meninggal satu tahun yang lalu. TBC.
“Kak, sekarang Fitri tahu di mana Menara Eiffel!” kata Fitri setelah pulang sekolah sambil setengah berlari saat aku sedang menjemur pakaian di depan rumah.
“Di Paris, Perancis!” belum sempat aku menyahut, ia sudah menyambar lagi.
Aku tersenyum, “anak pintar,” kataku.
“Benar kata Kakak dan paman. Jauh...” katanya sedih. Ia berjalan lesu menuju ke dalam rumah. Pelan. Gontai.
“Kak...” panggilnya lirih.
“Suatu saat, Fitri akan bawa Kakak ke sana.”
Aku tersenyum, kemudian mengangguk.
Fitri berlalu melewati pintu.
***
6 tahun kemudian...
Fitri sudah kelas 3 SMP. Minggu depan Ujian Nasional.
Kalau Fitri lulus nanti, aku ingin menyekolahkannya di SMA negeri di kota. Kukira tabunganku sudah cukup untuk membiayai Fitri bersekolah di kota.
Tak terasa, pengumuman kelulusan bergema. Fitri lulus dengan nilai yang nyaris sempurna.
Kini, Fitri diterima di SMA negeri di Jakarta. Awalnya Fitri enggan melanjutkan sekolah, takut merepotkanku katanya. Tapi aku meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.
“Ya sudah, Kak...”
Akhirnya ia menurut juga.
Setiap Ahad, ia berkunjung ke rumah bersama paman, dengan gulungan kertas besar di tangan kanannya. Setiap Ahad ia memberikan gambar yang sama. Menara Eiffel.
Oh, iya. Ada berita baik. Rumah gubuk kami, sudah terpasang listrik.
***
3 tahun kemudian...
Tak lama lagi, Ujian Nasional tingkat Sekolah Menengah Atas akan Fitri hadapi.
Pukul empat sore. Di ruang tamu. Cangkir teh yang kedua. Fitri baru saja kembali ke kota setelah singgah ke sini sejenak. Tak lupa gulungan kertas besar di tangan kanannya. Ia tak lagi diantar paman.
Aku melihat ke sekeliling.
Poster Menara Eiffel terpasang rapi di tembok kayu rumah kami. Poster-poster dengan tanggal yang berbeda-beda.
Empat dikalikan dua belas dikalikan tiga. Seratus empat puluh empat. Kira-kira sebanyak itulah jumlah poster yang terpajang sekarang.
Umurku sekarang...entah 29, entah 30. Sudah semakin menua. Sudah saatnyakah aku menikah?
***
Satu bulan sebelum Ujian Nasional, Fitri berkunjung ke rumah. Tentu saja dengan gulungan kertas besar di tangan kanannya.
Tapi, tunggu...
Bukan hanya gulungan kertas besar saja. Di tangan kirinya ada sebuah amplop putih. Panjangnya sekitar 20cm, dengan lebar sekitar 15cm. Ia juga menyerahkannya padaku.
Aku membukanya.
Aku tak terlalu pintar membaca. Butuh waktu lama untuk bisa membaca kalimat per kalimat di kertas tersebut.
Tanganku bergetar. Mataku berkaca-kaca.
Aku melihat ke arah Fitri.
Ia tampak sumringah.
Matanya berkaca-kaca.
“Fitri dapat beasiswa kuliah, Kak...” air matanya menetes.
“Di Paris, Perancis,”
Ia memelukku erat.
Aku melihat ke dinding-dinding kayu yang sudah tertutup oleh banyaknya poster dari Fitri.
Menara Eiffel.
***
Aku tak pernah tahu Fitri berusaha sekeras ini untuk bisa menginjakkan kaki di Paris. Fitri bilang aku tak perlu khawatir, karena ia tak sendirian, ada beberapa teman sekolahnya yang juga berbasib mujur dengan mendapatkan beasiswa tersebut.
“Kak Hasan tenang saja. Fitri akan baik-baik saja. Paspor, visa, semua sudah beres!” katanya mantap saat aku meneleponnya.
“Syukurlah kalau begitu,” kataku
***
Aku mengantar Fitri ke bandara, paman dan bulik juga ikut. Aku berdoa sepanjang jalan agar semua baik-baik saja.
***
Sudah hampir satu semester Fitri berkuliah di negeri orang. Di sana, ia jga bekerja paruh waktu untuk hidupnya. Menjadi seorang waitress di sebuah restoran asia.
Kami hanya berkomunikasi melalui e-mail. Aku gaptek, tak tahu apa itu internet. Tapi Fitri sempat mengajariku sedikit sebelum berangkat ke Paris.
Selesai berjualan nasi goreng, aku membuka e-mail. Bulan lalu, aku baru saja membeli laptop, agar aku tak perlu ke warnet saat larut sehingga menambah waktu jaga karyawan warnet yang sudah sangat lelah dan mengantuk.
Ada e-mail dari Fitri.
“Kak, bulan depan Fitri libur semester. Fitri akan pulang ke Indonesia. Tunggu Fitri, ya, Kak. Fitri rundu Kakak.
Fitri menyelipkan foto pada e-mailnya. Kubuka foto tersebut. Foto Fitri, sedang berdiri di depan Menara Eiffel.
***
Fitri pulang.
Aku begitu merindukan adikku tersayang.
Pukul lima sore. Cangkir teh yang ketiga bersama Fitri.
“Kak, dulu waktu Fitri kelas 3 SD, Kakak ingat tidak Fitri pernah bilang apa sama Kakak?”
Aku berfikir.
Menggeleng.
“Apa, dik?” tanyaku kemudian.
“Suatu saat Fitri akan bawa Kakak ke Menara Eiffel.”
Aku terdiam.
“Bulan depan, Kakak ikut Fitri ke sana, ya?”
Tenggorokanku tercekat.
“Ayolah, kak...” pintanya.
“Tinggalkan tinggalkan pasar dan warung gerobak kakak untuk satu minggu saja,” lanjutnya.
Kami tertawa.
Aku mengangguk.
Aku menarik nafas.
Sudahkah tugasku selesai? Apakah kini saatnya aku memikirkan hidupku? Menikah?


Share:

0 comments: