Kemarin paman datang. Ia membawa dua kantong plastik
di tangannya. Isinya buah jeruk yang masih segar-segar. Katanya untuk bapak
yang sedang sakit. Tapi paman selalu lupa, kami tak punya kulkas untuk
menyimpan jeruk-jeruk tersebut agar tetap segar. Jangankan kulkas, listrikpun
tak ada.
Dengan tanpa menganti plastiknya, jeruk-jeruk
tersebut hanya diletakkan di atas meja saja. Akhirnya, adikku, Fitri, yang
menghabiskannya.
“Paman, Fitri ingin lihat menara ibu kota!” kata
Fitri setangah berteriak sambil menarik-narik sisi kemeja paman.
“Menara ibu kota?” paman balik bertanya.
“Iya, Paman. Seperti yang ada di gambar itu,”Fitri
menunjuk poster Menara Eiffel yang
aku pajang di depan pintu kamarku.
Paman berjongkok kemudian membelai lembut rambut
Fitri.
“Itu namanya Menara
Eiffel, sayang. Tempatnya jauh sekali,” kata paman lembut.
“Memangnya seberapa jauh, Paman? Kak Hasan juga
selalu bilang seperti itu. Jauh, jauh, jauh!” Fitri manyun.
“Sangat jauh. Harus naik pesawat, lama sekali. Nanti
kalau Fitri capek bagaimana?” kata paman menenangkan.
“Sekarang ibu juga ada di tempat yang jauh, kan,
Paman? Apa ibu sudah sampai di Menara
Eiffel lebih dulu? Kok ibu pergi
sendiri? Nggak ngajak Fitri?” Fitri
tampak sendu. Aku tahu, Fitri rindu ibu. Begitu juga aku.
Paman memeluk Fitri.
“Minggu depan Paman ajak Fitri dan kak Hasan ke
menara ibu kota Jakarta, ya? Tidak kalah bagus sama Menara Eiffel. Pasti Fitri
dan kak Hasan suka.”
“Itu di mana, Paman? Jauh tidak?”
“Dekat. Minggu depan Paman ke sini lagi.”
Paman mem=ncium kening Fitri kemudian berpamitan
sambil menyerahkan beberapa lembar uang untuk aku dan Fitri.
*
Hari Senin. Hari pertama masuk sekolah setelah libur
panjang akhir semester. Hari pertama Fitri masuk sekolah dasar, kelas satu.
Untung saja sekarang ada sekolah gratis. Jadi Fitri bisa merasakan bangku
sekolah hingga 9 tahun ke depan. Tak seperti masaku dulu. Bahkan aku tak tahu
apa itu sekolah.
Pagi sekali aku mengantar Fitri ke sekolah sebelum
pergi berdagang ke pasar. Sesampainya di sekolah, ia kutitipkan pada bu Sri,
tetangga kami yang bekerja sebagai guru di SD tempat Fitri bersekolah kini.
Aku sampai di pasar saat matahari berwarna oranye, macam senja namun pagi. Pasar
sudah ramai pembeli. Pertanyaan yang sama muncul dari beberapa orang yang
berbeda, “Tumben siang, San? Mengantar adikmu masuk SD, ya?” begitu kira-kira.
Dari penjual, maupun pembeli. Aku lelah menjawab, jadi aku mengangguk sambil
tersenyum saja.
Setiap pagi aku berjualan baju koko, busana muslim,
kerudung, dan sandangan sejenisnya. Lalu saat malam tiba aku membuka warung
gerobak nasi goreng di ujung gang. Namun kini jadwalku bertambah. Selesai budal
dari pasar, aku pergi menjemput Fitri, maklum ia masih kecil dan belum terbiasa
dengan sekolahnya. Baru setelah sekitar satu bulan, Fitri berani pulang sekolah
sendirian. Terkadang bu Sri mengajak Fitri pulang bersama jika beliau sedang
tidak sibuk.
***
Ayah harus ke dokter lagi. Batuknya sudah semakin
parah. Aku membawanya pergi ke puskesmas desa setelah selesai berjualan di
pasar. Penyakit TBC ayah sudah sangat parah. Aku resah.
Ibuku meninggal empat tahun yang lalu, saat Fitri
berusia dua tahun. Sakit TBC juga. Mulai saat itulah aku meneruskan pekerjaan
ibu sendirian.
Hari ini hari Ahad, sore nanti paman akan datang
untuk menjemput kamiberjalan-jalan ke monas. Fitri sudah siap. Tapi aku
memutuskan untuk tinggal di rumah saja, menjaga ayah.
Selesai Isya, suara motor paman baru terdengar.
Fitri berlari menuju ke dalam rumah dengan membawa gulungan kertas besar di
tangan kanannya, “Inuuntuk kakak!” katanya girang.
Aku membuka gulungan tersebut.
“Menara Eiffel!”
katanya lagi.
Terimakasih, dik...” aku membelai rambut Fitri.
Fitri mengangguk, tersenyum.
***
3 tahun
kemudian...
Fitri sudah kelas tiga Sekolah Dasar. Sementara
umurku sudah...entah 20, entah 21. Sekitar angka itu. Bahkan aku lupa berapa
tanggal lahirku.
Ayahku meninggal satu tahun yang lalu. TBC.
“Kak, sekarang Fitri tahu di mana Menara Eiffel!”
kata Fitri setelah pulang sekolah sambil setengah berlari saat aku sedang
menjemur pakaian di depan rumah.
“Di Paris, Perancis!” belum sempat aku menyahut, ia
sudah menyambar lagi.
Aku tersenyum, “anak pintar,” kataku.
“Benar kata Kakak dan paman. Jauh...” katanya sedih.
Ia berjalan lesu menuju ke dalam rumah. Pelan. Gontai.
“Kak...” panggilnya lirih.
“Suatu saat, Fitri akan bawa Kakak ke sana.”
Aku tersenyum, kemudian mengangguk.
Fitri berlalu melewati pintu.
***
6 tahun
kemudian...
Fitri sudah kelas 3 SMP. Minggu depan Ujian
Nasional.
Kalau Fitri lulus nanti, aku ingin menyekolahkannya
di SMA negeri di kota. Kukira tabunganku sudah cukup untuk membiayai Fitri
bersekolah di kota.
Tak terasa, pengumuman kelulusan bergema. Fitri
lulus dengan nilai yang nyaris sempurna.
Kini, Fitri diterima di SMA negeri di Jakarta.
Awalnya Fitri enggan melanjutkan sekolah, takut merepotkanku katanya. Tapi aku
meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.
“Ya sudah, Kak...”
Akhirnya ia menurut juga.
Setiap Ahad, ia berkunjung ke rumah bersama paman,
dengan gulungan kertas besar di tangan kanannya. Setiap Ahad ia memberikan
gambar yang sama. Menara Eiffel.
Oh, iya. Ada berita baik. Rumah gubuk kami, sudah
terpasang listrik.
***
3 tahun
kemudian...
Tak lama lagi, Ujian Nasional tingkat Sekolah
Menengah Atas akan Fitri hadapi.
Pukul empat sore. Di ruang tamu. Cangkir teh yang
kedua. Fitri baru saja kembali ke kota setelah singgah ke sini sejenak. Tak
lupa gulungan kertas besar di tangan kanannya. Ia tak lagi diantar paman.
Aku melihat ke sekeliling.
Poster Menara Eiffel terpasang rapi di tembok kayu
rumah kami. Poster-poster dengan tanggal yang berbeda-beda.
Empat dikalikan dua belas dikalikan tiga. Seratus
empat puluh empat. Kira-kira sebanyak itulah jumlah poster yang terpajang
sekarang.
Umurku sekarang...entah 29, entah 30. Sudah semakin
menua. Sudah saatnyakah aku menikah?
***
Satu bulan sebelum Ujian Nasional, Fitri berkunjung
ke rumah. Tentu saja dengan gulungan kertas besar di tangan kanannya.
Tapi, tunggu...
Bukan hanya gulungan kertas besar saja. Di tangan
kirinya ada sebuah amplop putih. Panjangnya sekitar 20cm, dengan lebar sekitar
15cm. Ia juga menyerahkannya padaku.
Aku membukanya.
Aku tak terlalu pintar membaca. Butuh waktu lama
untuk bisa membaca kalimat per kalimat di kertas tersebut.
Tanganku bergetar. Mataku berkaca-kaca.
Aku melihat ke arah Fitri.
Ia tampak sumringah.
Matanya berkaca-kaca.
“Fitri dapat beasiswa kuliah, Kak...” air matanya
menetes.
“Di Paris, Perancis,”
Ia memelukku erat.
Aku melihat ke dinding-dinding kayu yang sudah
tertutup oleh banyaknya poster dari Fitri.
Menara Eiffel.
***
Aku tak pernah tahu Fitri berusaha sekeras ini untuk
bisa menginjakkan kaki di Paris. Fitri bilang aku tak perlu khawatir, karena ia
tak sendirian, ada beberapa teman sekolahnya yang juga berbasib mujur dengan
mendapatkan beasiswa tersebut.
“Kak Hasan tenang saja. Fitri akan baik-baik saja.
Paspor, visa, semua sudah beres!” katanya mantap saat aku meneleponnya.
“Syukurlah kalau begitu,” kataku
***
Aku mengantar Fitri ke bandara, paman dan bulik juga ikut. Aku berdoa sepanjang
jalan agar semua baik-baik saja.
***
Sudah hampir satu semester Fitri berkuliah di negeri
orang. Di sana, ia jga bekerja paruh waktu untuk hidupnya. Menjadi seorang waitress di sebuah restoran asia.
Kami hanya berkomunikasi melalui e-mail. Aku gaptek, tak tahu apa itu internet. Tapi Fitri sempat mengajariku
sedikit sebelum berangkat ke Paris.
Selesai berjualan nasi goreng, aku membuka e-mail. Bulan lalu, aku baru saja
membeli laptop, agar aku tak perlu ke warnet saat larut sehingga menambah waktu
jaga karyawan warnet yang sudah sangat lelah dan mengantuk.
Ada e-mail
dari Fitri.
“Kak, bulan
depan Fitri libur semester. Fitri akan pulang ke Indonesia. Tunggu Fitri, ya,
Kak. Fitri rundu Kakak.
Fitri menyelipkan foto pada e-mailnya. Kubuka foto tersebut. Foto Fitri, sedang berdiri di
depan Menara Eiffel.
***
Fitri pulang.
Aku begitu merindukan adikku tersayang.
Pukul lima sore. Cangkir teh yang ketiga bersama
Fitri.
“Kak, dulu waktu Fitri kelas 3 SD, Kakak ingat tidak
Fitri pernah bilang apa sama Kakak?”
Aku berfikir.
Menggeleng.
“Apa, dik?” tanyaku kemudian.
“Suatu saat Fitri akan bawa Kakak ke Menara Eiffel.”
Aku terdiam.
“Bulan depan, Kakak ikut Fitri ke sana, ya?”
Tenggorokanku tercekat.
“Ayolah, kak...” pintanya.
“Tinggalkan tinggalkan pasar dan warung gerobak
kakak untuk satu minggu saja,” lanjutnya.
Kami tertawa.
Aku mengangguk.
Aku menarik nafas.
Sudahkah tugasku selesai? Apakah kini saatnya aku
memikirkan hidupku? Menikah?
0 comments:
Post a Comment