Saat ini pukul
01.25 pagi di tempatku.
Pasti
kau sudah terlelap sejak 3 jam yang lalu. Dan pasti sekarang kau sedang
bermimpi. Aku tersenyum sendiri membayangkan kau bermimpi tentang aku. Tapi,
mana mungkin?
Hari
ini tak sama seperti kemarin lusa, satu minggu yang lalu, bahkan satu bulan
yang lalu. Tak sama seperti detik-detik sebelum kau ucapkan, “kita selesai,”
lewat telephone malam itu.
Saat
ini sudah pukul 02.05 pagi. Kau menyita 40 menitku terlalu dini, terlalu pagi.
Aku tak bisa tidur.
|
Post tweet.
Aku
tidur terlentang, selimut membatang, menatap lurus ke depan, dengan handphone di genggaman.
Ting tung.
Handphone berbunyi, notification twitter. Ternyata bukan cuma aku yang tak bisa tidur.
|
Eh?
Rio?
Aku
mengerdipkan mata berkali-kali. Tak percaya.
|
Post tweet.
Ting tung.
|
Lucu.
|
Post tweet.
Lima
menit berlalu. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Empat puluh menit. Tak ada balasan.
Ah, Rio. Kau datang dan pergi sesuka hati.
Ting tung.
Aha!
Direct messege.
|
Senyum
simetris mengembang di bibirku.
|
Ting tung.
|
|
Ting tung.
|
|
Ting tung.
|
|
Entah
ini sebuah pertahanan atau sebuah ke-sok-jual-mahal-an.
Ting tung.
|
Aku
ragu. Bukankah ini yang selama ini kuharapkan? Rio kembali? Tapi, luka itu
masih belum kering, bahkan masih sangat bernanah.
Ting tung.
|
Kesempatan.
Sesuatu yang mahal yang akan kuberikan secara Cuma-Cuma kepada Rio.
|
Post tweet.
Aku
sudah harus siap dengan segala resiko. Entah Rio akan memberikan obat paling
ampuh untuk lukaku, atau malah ia akan menaburkan garam di atas lukaku yang
masih sangat basah.
***
Cerah
sekali. Sudah 20 menit. Ia belum juga datang. Untung saja kedai ini menyediakan
interior yang enak dipandang serta
menu-menu yang rasanya begitu gemilang. Jadi, mau 20 menit atau berapa menitpun
menunggu, rasa bosan tak akan datang. Aku menikmati dengan hati senang. Hatiku
sedang berkembang.
40
menit ia baru kelihatan, ia tersenyum dari kejauhan sambil melambaikan tangan.
“Maaf
lama, macet...”
“It’s okay, no worries.”
“Sudah
pesan?”
“Sudah.”
Ia
memanggil pelayan, memesan minuman dan beberapa camilan.
Kami
berdua saling diam. Lama sekali. Dua puluh menit dikalikan dua, pesanannya
datang.
“Sibuk
apa sekarang?” ia mengawali.
“Kuliah,
sambil nulis-nulis. Masih sama saja.”
“Aku
juga, skripsi bagaimana?”
“Aku
skripsi masih dua tahun lagi, Rio.”
“Iya,
becanda.”
Kami
tertawa kecil.
“Em...Ray..”
“Iya?”
“Soal
kita. Aku ingin memulainya lagi.”
Sudah
kuduga. Ia akan langsung pada point
pembicaraan. Aku paham ia bukan orang yang suka banyak basa-basi. Karena
baginya basa-basi akan membuat suasana semakin basi. Aku mati kutu.
“Maaf
kalau aku tak pernah memberi alasan kenapa kita harus selesai waktu itu.”
Aku
hanya memainkan jari, tak jelas. Aku gugup. Aku ragu. Jika aku menjawab iya,
segampang itukah ia kembali menyentuhku? Semudah itukah ia kembali memelukku
seerat dulu?
“Kau
tak harus menjawabnya sekarang. Tak apa. Aku akan menunggu sampai kau
benar-benar siap.”
Aku
menatap matanya. Sendu. Biru.
“Aku
pergi dulu, ada kuliah. Terimakasih jika mau menunggu jawabanku.”
Ia
mengangguk, tersenyum, “hati-hati.”
***
|
Post tweet.
***
Berkembang namun
bimbang.
Permasalahan
ya atau tidak membuatku tak bisa tidur. Besok hari libur, seharusnya ada
sesuatu yang bisa membuatku terhibur. Ataukah aku harus menggali kembali
kenangan yang sempat terkubur? Sebelum nasi terlanjur menjadi bubur?
|
Post tweet.
***
|
Post
tweet.
***
Pukul
08.45 aku sudah bersiap untuk pergi. Aku memilih untuk berjalan kaki sambil
menghirup udara sisa hujan semalam. Perpustakaan daerah masih 40 menit lagi.
Tak apa. Aku menikmati pagi.
Ting tung.
|
Hiburan
tambahan.
***
Selamat
pagi!
Ah,
terlalu dini untuk sebuah selamat pagi.
Saat
ini pukul 00.35. Aku insomnia.
Ting tung. Sms masuk.
“Sudah
tidur? Kalau belum, boleh aku telephone?”
Aku
tersenyum.
“Boleh.”
Send messege.
Kring!
Aku
menekan tombol hijau.
“Hai...”
suara dari seberang.
***
Cuaca
mendung. Gerimis menggantung.
Saat
ini pukul 12.10. aku datang 40 menit lebih awal dari janji makan siang kami.
Aku sudah mengantongi jawaban untuk Rio.aku bersemangat sekali siang ini.
Tak
lama Rio datang. Ia terlihat sangat rapi dengan kemeja abu-abu dan celana
jinsnya.
“Hai...”
ia tersenyum.
“Hai,”
aku tersenyum lebih lebar.
“Padahal
aku sudah berusaha datang lebih awal, tapi tetap saja aku kalah rekor denganmu,
Ray.”
“Bisa
saja.”
Kami
tertawa.
“Sudah
pesan?”
“Belum.”
Ia
memanggil pelayan. Kami memesan minuman dan camilan. Seperti biasa.
“Kau
cerah sekali, Ray,” katanya setelah pelayan tersebut pergi dengan membawa
catatan makanan dan minuman yang kami pesan.
“Iya.
Karena aku sudah punya jawaban.”
“Oh,
ya? Apa?” ia terlihat tak sabar.
“Em...soal
pertanyaan dan pernyataanmu waktu itu...”
“Jadi,
iya? Atau tidak?” ia bertanya lagi.
Aku
tersenyum.
“I...”
Duar!
Suara
petir mengagetkanku. Disusul hujan yang sangat deras.
Aku
kaget.
Aku
membuka mata.
Aku
tidur terlentang, selimut membatang, menatap lurus ke depan, dengan handphone
di genggaman.
Aku
melirik ke sekitar. Ke kanan. Ke kiri. Ke handphone dalam genggaman.
|
Aku
memalingkan pandangan ke jam dinding di sisi kamarku.
Saat
ini pukul 02.45 pagi.
Saatnya
tidur lagi. Tanpa mimpi.
0 comments:
Post a Comment