Friday, 7 November 2014

[Cerpen] Empat Puluh

Saat ini pukul 01.25 pagi di tempatku.

            Pasti kau sudah terlelap sejak 3 jam yang lalu. Dan pasti sekarang kau sedang bermimpi. Aku tersenyum sendiri membayangkan kau bermimpi tentang aku. Tapi, mana mungkin?

            Hari ini tak sama seperti kemarin lusa, satu minggu yang lalu, bahkan satu bulan yang lalu. Tak sama seperti detik-detik sebelum kau ucapkan, “kita selesai,” lewat telephone malam itu.

            Saat ini sudah pukul 02.05 pagi. Kau menyita 40 menitku terlalu dini, terlalu pagi. Aku tak bisa tidur.

             “Oh, 40 menitku yang malang...”

 
 


                       
Post tweet.

            Aku tidur terlentang, selimut membatang, menatap lurus ke depan, dengan handphone di genggaman.

            Ting tung.

            Handphone berbunyi, notification twitter. Ternyata bukan cuma aku yang tak bisa tidur.
            “Satrio Yudha @rioyudh
            Belum tidur, Ray? RT @rayahadi: Oh, 40 menitku yang malang...”

 
 






            Eh? Rio?
            Aku mengerdipkan mata berkali-kali. Tak percaya.

             “Soraya Hadi @rayahadi
             @rioyudh: belum, kalau sudah mana bisa nge-tweet?”

 
 




           
            Post tweet.

            Ting tung.
          “Satrio Yudha @rioyudh
          @rayahadi: oh, aku kira yang nge-tweet admin.”

 
 




           
Lucu.

           “Soraya Hadi @rayahadi
          @rioyudh: hahaha”

 
 


           

           
Post tweet.

            Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Empat puluh menit. Tak ada balasan. Ah, Rio. Kau datang dan pergi sesuka hati.

            Ting tung.

            Aha!

            Direct messege.
   “From: Satrio Yudha @rioyudh
   Apa kabar, Ray?”

 
           


           
            Senyum simetris mengembang di bibirku.

    “Reply. Soraya Hadi @rayahadi
    Baik, kau?”

 
           

           

Ting tung.

   “From: Satrio Yudha @rioyudh
   Baik juga. Don’t you miss me? Even a little? :’)”


 
           


          “Reply: Soraya Hadi @rayahadi
         So much. But...

 
 


           

            Ting tung.
           “From: Satrio Yudha @rioyudh
           But?”

 
 




           
            “Reply: Soraya Hadi @rayahadi
            Semuanya sudah berbeda, Rio.”

 
 


           

           

Ting tung.

   “From: Satrio Yudha @rioyudh
   Aku rasa kita bisa diperbaiki. 
   Aku minta maaf. Aku butuh satu kesempatan, Raya.”

 
           




   “Reply: Soraya Hadi @rayahadi
   Untuk apa?”

 
           



            Entah ini sebuah pertahanan atau sebuah ke-sok-jual-mahal-an.

            Ting tung.
            “From: Satrio Yudha @rioyudh
            Please?
            Let’s sit together, just us. And make a little conversation.”

 
 





           

            Aku ragu. Bukankah ini yang selama ini kuharapkan? Rio kembali? Tapi, luka itu masih belum kering, bahkan masih sangat bernanah.

            Ting tung.

   “From: Satrio Yudha @rioyudh
   Please, Ray? Aku janji keburukan satu bulan lalu 
   tidak akan pernah terjadi lagi.”

 
           



            Kesempatan. Sesuatu yang mahal yang akan kuberikan secara Cuma-Cuma kepada Rio.
             “Reply: Soraya Hadi @rayahadi
             Atur waktu.”

 
 


           

           

Post tweet.

            Aku sudah harus siap dengan segala resiko. Entah Rio akan memberikan obat paling ampuh untuk lukaku, atau malah ia akan menaburkan garam di atas lukaku yang masih sangat basah.

***

            Cerah sekali. Sudah 20 menit. Ia belum juga datang. Untung saja kedai ini menyediakan interior yang enak dipandang serta menu-menu yang rasanya begitu gemilang. Jadi, mau 20 menit atau berapa menitpun menunggu, rasa bosan tak akan datang. Aku menikmati dengan hati senang. Hatiku sedang berkembang.

            40 menit ia baru kelihatan, ia tersenyum dari kejauhan sambil melambaikan tangan.

            “Maaf lama, macet...”
            “It’s okay, no worries.”
            “Sudah pesan?”
            “Sudah.”

            Ia memanggil pelayan, memesan minuman dan beberapa camilan.

            Kami berdua saling diam. Lama sekali. Dua puluh menit dikalikan dua, pesanannya datang.
           
            “Sibuk apa sekarang?” ia mengawali.
            “Kuliah, sambil nulis-nulis. Masih sama saja.”
            “Aku juga, skripsi bagaimana?”
            “Aku skripsi masih dua tahun lagi, Rio.”
            “Iya, becanda.”

            Kami tertawa kecil.

            “Em...Ray..”
            “Iya?”
            “Soal kita. Aku ingin memulainya lagi.”

            Sudah kuduga. Ia akan langsung pada point pembicaraan. Aku paham ia bukan orang yang suka banyak basa-basi. Karena baginya basa-basi akan membuat suasana semakin basi. Aku mati kutu.

            “Maaf kalau aku tak pernah memberi alasan kenapa kita harus selesai waktu itu.”
           
            Aku hanya memainkan jari, tak jelas. Aku gugup. Aku ragu. Jika aku menjawab iya, segampang itukah ia kembali menyentuhku? Semudah itukah ia kembali memelukku seerat dulu?

            “Kau tak harus menjawabnya sekarang. Tak apa. Aku akan menunggu sampai kau benar-benar siap.”

            Aku menatap matanya. Sendu. Biru.

            “Aku pergi dulu, ada kuliah. Terimakasih jika mau menunggu jawabanku.”

            Ia mengangguk, tersenyum, “hati-hati.”

***
“Pertanyaan yang mudah, namun jawaban yang susah. 
Bahkan di google-pun tak ada.”

 
 


           



            Post tweet.

***

Berkembang namun bimbang.

            Permasalahan ya atau tidak membuatku tak bisa tidur. Besok hari libur, seharusnya ada sesuatu yang bisa membuatku terhibur. Ataukah aku harus menggali kembali kenangan yang sempat terkubur? Sebelum nasi terlanjur menjadi bubur?
“Badai yang tak kasat mata. Aku ingin menghadapinya, 
tapi tak punya senjata.”
 
 





           
            Post tweet.

***
“Hari libur. Mari bergulat dengan buku hingga menjamur!”

 
 



           

Post tweet.

***

            Pukul 08.45 aku sudah bersiap untuk pergi. Aku memilih untuk berjalan kaki sambil menghirup udara sisa hujan semalam. Perpustakaan daerah masih 40 menit lagi. Tak apa. Aku menikmati pagi.

            Ting tung.

“Satrio Yudha @rioyudh
@rayahadi: mau ke perpustakaan? Aku sudah di sini sejak 40 menit yang lalu. 
Hubungi aku kalau sudah sampai.”

 
 





           
Hiburan tambahan.

***

            Selamat pagi!
            Ah, terlalu dini untuk sebuah selamat pagi.
            Saat ini pukul 00.35. Aku insomnia.

            Ting tung. Sms masuk.

            “Sudah tidur? Kalau belum, boleh aku telephone?”

            Aku tersenyum.

            “Boleh.”
            Send messege.

            Kring!

            Aku menekan tombol hijau.

            “Hai...” suara dari seberang.

***

            Cuaca mendung. Gerimis menggantung.
            Saat ini pukul 12.10. aku datang 40 menit lebih awal dari janji makan siang kami. Aku sudah mengantongi jawaban untuk Rio.aku bersemangat sekali siang ini.

            Tak lama Rio datang. Ia terlihat sangat rapi dengan kemeja abu-abu dan celana jinsnya.

            “Hai...” ia tersenyum.
            “Hai,” aku tersenyum lebih lebar.
            “Padahal aku sudah berusaha datang lebih awal, tapi tetap saja aku kalah rekor denganmu, Ray.”
            “Bisa saja.”

            Kami tertawa.

            “Sudah pesan?”
            “Belum.”

            Ia memanggil pelayan. Kami memesan minuman dan camilan. Seperti biasa.

            “Kau cerah sekali, Ray,” katanya setelah pelayan tersebut pergi dengan membawa catatan makanan dan minuman yang kami pesan.

            “Iya. Karena aku sudah punya jawaban.”
            “Oh, ya? Apa?” ia terlihat tak sabar.
            “Em...soal pertanyaan dan pernyataanmu waktu itu...”
            “Jadi, iya? Atau tidak?” ia bertanya lagi.

            Aku tersenyum.

            “I...”

            Duar!
            Suara petir mengagetkanku. Disusul hujan yang sangat deras.

            Aku kaget.
            Aku membuka mata.
            Aku tidur terlentang, selimut membatang, menatap lurus ke depan, dengan handphone di genggaman.

            Aku melirik ke sekitar. Ke kanan. Ke kiri. Ke handphone dalam genggaman.
            “Connection issue with twitter. Please try again later.”

 
 




           
            Aku memalingkan pandangan ke jam dinding di sisi kamarku.
            Saat ini pukul 02.45 pagi.


            Saatnya tidur lagi. Tanpa mimpi.
Share:

0 comments: