Sunday 20 December 2015

203 #9

Aku sedang menyisir rambut ketika ia datang untuk menjemput. Seperti biasa, di depanku tak pernah sekalipun ia memujiku cantik. Hanya sesekali ia bilang, “Matamu bagus,”; “Bibirmu, aku suka,”; atau, “Rambutmu…”. Selebihnya, biasa saja. Tetapi, kudengar dari mulut orang-orang, ia tak pernah berhenti membanggakanku di depan orang banyak.

Dasar laki-laki, tinggi gengsi.

Dalam bekal berwarna merah jambu yang kubawa, aku tak membiarkannya terlambat makan. Hampir setiap hari aku memasak untuknya, saat sarapan ataupun makan malam. Tetap saja, tak pernah sekalipun ia bilang masakanku enak. Paling mentok ia hanya bilang, “Lumayan.”. namun, bagiku tak masalah ketika melihatnya menghabiskan masakanku tanpa jeda minum.

Begitulah.

Ia tak pernah menggamblangkan apapun di depanku. Segalanya pragmatik dan semiotik. Dari sinilah, aku dituntut kejut di setiap denyut.



Berkali-kali kubilang, ia tak pernah habis kejutan.
Mulai dari konser Endah N Rhesa saat senja, hingga konser Mocca di tempat VVIP.

Lalu, kapan kau mengajakku ke konser Maliq & D’Essentials, Mas?




Desember, 2015.
Sudah kubilang,
tak ada perempuan sebahagia aku. Dan tak ada laki-laki semahir kau.


Share:

Thursday 3 December 2015

Berangkat dari Kekosongan

Suatu ketika, saat terik menerpa. Kelas kami disibukkan oleh pemahaman masing-masing diri atas materi perkuliahan. Pemandangan yang jarang terlihat, bahkan baru kali pertama tampak pada semester ini. Apa yang sebenarnya terjadi?
Ya, ujian tengah semester.
Segala persiapan telah matang, dan saya memilih duduk di bagian depan. Bukan karena pencitraan. Hanya saja saya tak ingin imajinasi saya terganggu oleh bisik-bisik dari kanan-kiri. Bagi saya, pemahaman atas materi perkuliahan tak selalu tekstual, ambil saja intinya jelaskan menurut pemahaman dan bahasa kita sendiri beres!
Saya merasa nyaman dan aman berada di barisan paling depan. Sesekali menengok ke arah belakang, saya melihat suatu pemandangan yang tak menyenangkan. Sama sekali tak enak dipandang. Seorang mahasiswi sedang sibuk men-tattoo telapak tangannya dengan tinta. Lebih tak menyenangkan lagi, mahasiswi tersebut telah berkali-kali mendapatkan IP cumlaude. CUMLAUDE. C-U-M-L-A-U-D-E!
Lucu sekali. Saya jadi ingin tertawa.
Di mana urat malunya?
Cumlaude dari hasil yang tak halal.
Saya justru lebih mengapresiasi mahasiswa yang jujur dan tak neko-neko. Membaca materi memahami inti menginterpretasikannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Tak hanya berhenti pada ujian saja.
Dari pengalaman kecil tersebut, saya jadi mengerti apa arti kalimat, “Jangan pernah berangkat dari kekosongan,” yang seringkali dikumandangkan oleh pak Sendang.

Karena kita tak akan pulang membawa apapun, jika kita berangkat tanpa membawa apa-apa. Berangkat dari kekosongan.




November, 2015.
Begitulah.
Hidup.
Share:

Thursday 19 November 2015

203 #8

Setiap denting telah memilih menitnya sendiri. Ia tak akan menghianati menit yang telah ia lilit. Dalam jangkauannya yang sesempit parit, ia tetap menyetia pada satu tanda untuknya berderit.
Aku selalu tahu itu.
Aku selalu meyakini itu.
Menjaganya dari piranha-piranha yang bukan hanya dari kalangan mahasiswa, tetapi juga dari kalangan pengajarnya. Mereka pikir mendapatkan perhatiannya semudah menawar kacang di pasar pagi buta. Coba saja kalau bisa. Kupastikan usaha mereka akan sia-sia saja.
And then I realize, I should be a territorial.
Ketika orang-orang di luar sana sedang sibuk berbelanja bahan makanan, aku sudah lebih dulu kenyang. Ketika orang-orang di luar sana sedang sibuk meracik bumbu masakan, aku justru sedang menikmati aroma makanan yang sudah sejak tadi kuhabiskan. Kurang bahagia apa lagi?
Sore tadi, sewaktu mendung menggantung. Ia bilang, “Suatu saat kamu akan benar-benar membenciku, Nok.”
“Membenci dalam jeritan, cakaran, keringat, aturan nafas, darah, air mata, rumah sakit, makhluk mungil, bahagia.”
Tolong, aku meleleh lagi.


Di atas awan  dalam dekapan, November 2015
Ia membuatku sadar bahwa ada situasi yang lebih inspiratif ketimbang malam hari dan pagi hari. Adalah ketika ia menerjemahkan hatinya lewat kata, entah saat fajar-terik-petang-gelap-hingga fajar lagi.
Dulu, aku hanya menginginkan seseorang yang mampu membawaku ke tempat di mana aku bisa menulis tanpa sekat.
Tetapi, Tuhan memang mahabaik.
Aku malah diberi-Nya seseorang yang tak hanya membawaku ke tempat yang tanpa sekat, namun juga seseorang yang sekaligus menjadi tempat itu sendiri.

Kini, tak perlu jauh-jauh mencari tempat untukku menulis puisi hingga berpuluh-puluh, tak perlu berpeluh untuk itu. Tempat itu sudah menjadi milikku sekarang hingga berabad-abad mendatang.

Share:

Tuesday 17 November 2015

Rimba Samsara


Sebentar-sebentar di sini, sebentar-sebentar pergi
Sebentar-sebentar berlari, sebentar-sebentar berjalan kaki
Sering-sering merangkak, ia kehilangan berak
Tangisnya menganak pinak

Mungkin kami hanya penonton
Bebas berkomentar di depan TV sambil makan popcorn
Suara-suara yang hanya menggema di ruang 2 X 3
Selebihnya? Mengembun di udara
Padahal belum sempat sampai ke telinga mereka
Tangis mereka bergema

Mereka terjerembab
Matanya sembab
Sesekali menerka sebab musahab
Makan tak lagi lahap
Tangis mereka merayap

Dalam keriuhan air mata
Ada doa yang tak putus-putusnya


Semarang, 17 November 2015
Semua akan baik-bak saja


15.00 – 16.30
Sebuah puisi yang saya tulis
saat ujian tengah semester mata kuliah menulis puisi.
Dan, tema dadakan yang diajukan oleh dosen
adalah tentang aksi terorisme di Paris, Perancis.

Semua akan baik-baik saja. Baik-baik saja.
Share:

Thursday 29 October 2015

[Monolog] Para Pelancong

Lihatlah! 
Taman yang diidam-idamkan oleh para nelayan yang bebas menjaring ikan 
Taman yang diidam-idamkan oleh para petani yang bebas menanam padi 
Taman yang diidam-idamkan oleh para buruh yang bebas meneteskan peluh 
Taman yang diidam-idamkan oleh para penari yang bebas menari tanpa takut mati karena kelelahan menggoyang-goyangkan kaki sepanjang hari 
Hm, ya.. 
Ini sama sekali bukan mimpi yang lenyap dalam sekali kerjap
Bahkan bunga-bunga yang tumbuh wewangiannya sampai ke tubuh (Mencium bau tubuhnya sendiri)

Di mana? 
Mereka bilang ada keindahan serupa surga? 
Hh, ya.. (Tersenyum kecut) 
Memang indah, tetapi bukan serupa surga 
Memang indah, tetapi ada celah yang tak sumringah 
Em... Serupa langit! 
Ya, serupa langit yang tak selamanya cerah 
Sesekali mendung hingga membuat semua orang rundung 
Ah, berita-berita itu hanya menampakkan kulit luarnya saja 
Membikin kecewa! 

Alah! 
Keindahan di sini sekadar isapan jempol saja! 
Seperti iklan-iklan yang menawarkan kebohongan 
Setelah terlanjur tertarik, barulah kau menyesal karena rela menguras kantong yang seharusnya kau gunakan untuk piknik 
Ck.. ck.. ck. 
Bodoh! (Mengumpat pelan) 
Tak ada keindahan yang mutlak 
Yang ada hanya keburukan yang telak 
Kalau aku punya uang, tentu sudah kumuat di koran-koran 

Indah-tidak indah; benar-salah; hitam-putih 
Semakin banyak keributan di sini 
Ah, tetapi tunggu dulu.. 
Apakah sebenarnya kita berada dalam kekuasaan yang tak kasat mata? 
Atau kekuasaan yang kasat mata tetapi kita dibutakan oleh keindahan yang sementara? 
Ya, benar! 
Ketika orang-orang di luar sana terlalu sibuk meributkan tentang indah atau tidak 
Mereka tak sadar bahwa mereka telah dijadikan wayang oleh dalang 
Oleh Topeng Kayu!  



Semarang, 28 Oktober 2015

Sebuah monolog yang saya tulis
untuk sebuah pembukaan dalam pementasan teater Topeng Kayu karya Kuntowijoyo
(Pementasan Teater dari teman-teman sastra Indonesia Unnes 2013)

Share:

Monday 19 October 2015

203 #7

PUZZLE

Kamu suka musik, aku suka nulis.
Kamu suka nyanyiin aku, aku suka nulis tentang kamu.
Kamu suka film, aku suka buku.
Kamu suka ngefoto, aku suka difoto.
Kamu suka kuning telur, aku suka putih telur.
Kamu suka Manchester City, aku suka Manchester United.
Kamu surealis, aku realis.

Dalam lingkup perbedaan yang masih sejalan, kita memilih untuk saling melengkapi ketimbang saling menggurui.

Kau lihat puzzle itu? Seperti kau dan aku. Aku membutukanmu sebagai wadah, kau membutuhkanku sebagai isi.
Tak bisa asal memilih keping. Tak bisa asal merebah pada wadah.
Seperti sudah ditakdirkan sejak entah.

Seribuempatpuluhempat minggu lebih telah asik bermain puzzle.
Kini, kau menyelesaikan puzzle-mu di waktu yang amat tepat.
Karena tak ada yang tak tepat di dunia ini. Termasuk cinta.

Ah, lagi-lagi kau membuatku membicarakan tentang cinta. 




Oktober, 2015.
Menuju-h.
Share:

Monday 12 October 2015

Ia Terlampau Sibuk Mengeja Langit

Sering ia melamunkan langit
Mengapa putih? Mengapa biru?
Mengapa hitam? Mengapa abu-abu?

Sering ia melamunkan langit
Di manakah ujung dan pangkalnya?
Di manakah alif dan ya nya?
Di manakah ha dan nga nya?
Di manakah alpha dan zulu nya?
Di manakah penciptanya?

Sering ia melamunkan langit
Kepala menengadah
Mata menjamah
Pipi memerah
Senyum merekah
Ia kalah!

Terlampau sibuk mengeja langit
Hingga ia lupa pada bumi tempatnya berjinjit


26 September, 2015.
Share:

Tentang Vokal dan Konsonan

Tentang vokal dan konsonan
Mereka tak punya tangan namun senantiasa bergandengan
Tak peduli meski sesekali terpisah oleh spasi
Baginya, erat bukan berarti saling menjerat
Baginya, bersama bukan berarti harus rela terluka

Tentang vokal dan konsonan
Mereka tak punya lekuk namun senantiasa berpeluk
Tak peduli meski sesekali terluka oleh koma
Baginya, bersama memang butuh jeda
Bagnya, bersatu memang butuh merindu

Tentang vokal dan konsonan
Mereka tak punya kaki namun senaniasa mengiringi
Tak pelik meski tertamatkan oleh titik
Baginya, tak masalah mencipta yang lebih apik
Baginya, cerita baru akan lebih asyik

Tentang vokal dan konsonan
Tetaplah bersama selama dunia masih berbahasa



September, 2015.
Berkat mereka kita punya cerita.
Share:

Sunday 20 September 2015

203 #6

Trotoar. Penjual berjejeran. Tangan bergandengan. Kaki beriringan. Tawa menggelak. Senyum meranum. Kasih memutih. Ikatan mengikat. Eskrim. Pengamen. PopMie. Kopi. Melanie Soebono. Tukik. Terik. Siang. Kasih sayang.

Bali-nya adalah Bali-ku. Bali kami bukan Bali mereka.

Ketika orang-orang asik mencari rindang pohon. Ia mengajakku berpanas-panas ria, "Ayo kita cari Bali-nya Bali."
Ketika orang-orang asik makan Bakso Jowo dan Lunpia. Kami berpikiran sama, "Adoh-adoh ning Bali tukune Bakso Jowo karo Lunpia?"
Ketika orang-orang sepakat dengan anggapan, "Tali jika diikat terlalu erat akan terasa sakit." Ia patahkan teori tersebut tanpa ampun, "Bergantung bagaimana caramu mengikat. Bergantung bagaimana caramu menggenggam. Kalau caramu benar, teori-teori tahi kucing itu benar-benar hanya akan menjadi tahi kucing yang dikubur pasir."

Lagi-lagi aku gemas dibuatnya.

"Aku menikmati setiap detik kebersamaan kita. Kau cipta bahagia yang sedemikian rupa. Aku menikmati layaknya seorang anak SD dengan lolipop di tangan. Tak membiarkannya kotor, tak membiarkannya jatuh, tak merelakannya berpindah tangan. 
Tetaplah manis dan menyenangkan. Kau tahu aku suka dijejal bahagia sebanyak-banyaknya tanpa takut mual karena porsi yang tak biasa."

Jalan Poppies II, Kuta, Denpasar, Bali.
September, 2015.
Share:

Friday 21 August 2015

Jas Lusuh

Dalam kerumunan penjarah rakah, ia mengais nista di onggokan perdu. Tak seorangpun tahu. Sesekali ekor matanya berziarah ke tumpukan serdadu. Ia lupa, bahwa Tuhan mahatahu.
Terlampau sibuk mengawasi kanan kiri, hingga ia lupa pada Dzat yang mahatinggi.

Mampus kau di bakar beku!


Semarang, 21 Agustus 2015.
Jangan sok tahu bahwa Tuhan mahatahu.
Share:

Thursday 20 August 2015

203 #5

       Ibu bilang, "Kau harus menemukan laki-laki yang tak membiarkanmu tidur dalam rasa gelisah ataupun amarah, Nak."
       "Tapi, aku ingin menemukan laki-laki yang selalu membawaku ke tempat di mana aku bisa menulis kapan saja tanpa sekat, Bu. Bukankah sebuah karya yang besar dihasilkan dari kegelisahan pengarang?" Aku berdalih.
       "Apakah pengarang harus mengalami kegelisahan yang berlarut agar mampu menghasilkan karya? Dengan kegelisahan sejumput saja, seorang pengarang akan mampu berkarya, Nak. Itulah pengarang yang menghasilkan karya besar." Kata Ibu lagi.

Ia menemuiku setelah melarangku datang menemuinya. Setelah mencium punggung tangan ayahku, ia mengajakku menari lagi.

Tempat baru. Suasana baru. Kenyamanan yang baru. Bercerita apa saja, seperti biasa. Rasanya sudah sangat lama kami tak melakukan hal ini. Tak peduli waktu yang terus memburu, tetapi laju cerita kami lebih memburu ketimbang waktu yang terus berlalu.

Ia memang begitu. Ketika aku menginginkan coklat, ia bawakan eskrim rasa coklat. Ketika aku menginginkan mangga, ia bawakan jus mangga. Ketika aku menginginkan hanya bertemu saja, ia bawakan segudang cerita beserta tawa.

Kesalahan sekecil kerikil, ia tebus dengan sebesar langgar.

"Tapi, Bu. Saat pulang tengah malam, motor yang kami tumpangi mogok..."

Ibu tersenyum, "Kau sudah menemukan laki-laki dengan dua tipe yang kita bicarakan tadi, Nak."


Semarang, 20 Agustus 2015.
Share:

Tuesday 28 July 2015

203 #4

R.A.C!


Resla Aknaita Chak, 21 Des 1993. Bukan parasnya yang bikin aku kesengsem, tetapi seleranya. Good girl. Bisa masak. Suka banget sama apel & salak. Masakan andalannya asem kangkung. Suka ketawa-ketawa malu kalau liatin aku sampe wajahnya merah. Mualesnya nggak ada yang ngalahin, leletnya juga. Plan-nya nggak jelas kalau mau ngerjain sesuatu. Gabisa tenang kalo ngadepin sesuatu yang kompleks, ngadepin masalah juga. Sendawa sama kentutnya, wuiiih, menggelegar! Sering bikin aku cemburu. Ada kalanya aku bener-bener jengkel kalo inget masalalunya. Nggak suka pedes tapi kalo sama biting senengnya ngalahin aku. Suka jajan. Bantahan!
Dia menyebut dirinya dengan berbagai sebutan; Barbie, Kadek Devi, yang paling sering Wanita Dove. Oiya, ijo tosca yang identik sama dia. Suka banggain rambutnya. Makannya dikit banget. Trus apa lagi ya... emm. Aku sayang banget sama dia!
Kalo sama temennya dipanggil Chak, sama temen di bawah dipanggil Cil. Suka nangis. Seneng sama bunga mawar putih dan kejutan.
Seleranya top dah. Selera baca. Selera dengar. Oiya, dia juga penulis. Suka hal yang berbau oldschool. Selera cowonya juga anti mainstream. Nggak teges juga orangnya. Agak ribet kadang-kadang, kaosnya suka disobek-sobek. Dia belum sepenuhnya menemukan jati dirinya, masih terombang-ambing. Suka Maliq & D'Essentials, Birdy, dan masih banyak lagi. Suka travelling, poto-poto, update-nya juga. Aku lebih mengenal dirinya daripada dirinya sendiri. Suka bilang "ndak ok" sama gesturnya yang begitu. Suka jazz juga. Suka gunain jarinya buat godain aku sama suara yang dimanja-manjain gitu. Manjanya itu juga yang bikin kangen.
Aku selalu berusaha melupakan masalalunya. Aku selalu berusaha memberikan yang terbaik yang aku punya, yang aku tahu buat dia, semuanya!
Dia jujur. Mau diatur buat kebaikan dia. Aku selalu sakit kalo nggak bisa ngasih apa yang dia minta. Dia wanita baik tetapi punya lingkungan yang kurang baik. Makin ke sini sama aku makin dewasa pola pikirnya, cuma kadang suka susah diatur. Dia paham banget aku. Dia setia. Dia selalu berusaha buat aku seneng, apapun caranya. Dia sayang banget sama aku. Suka banget kalo aku ajak ke rumah. Dia cantik. Dia manut. Figur yang baik buat anak-anakku. Aku beruntung dapetin dia, meskipun di depannya aku selalu jaim, tapi sebenernya aku takut kehilangan dia dan semua tentang dia, kelebihannya, kekurangannya, semuanya! Apalagi cara dia menyayangi aku, cara dia memperlakukan aku. Aku nggak mau kehilangan dia.

...

(Sebagian isi surat disimpan untuk pribadi hehe :-p)

...

NB: aku yakin dia bisa baca tulisanku.

-Adji G Rinepta




Tulisan tangan dari seorang laki-laki yang kepadaku ia putuskan untuk menyimpan hati. Pun aku akan menjaganya dengan hati.






Juli, 2015.
Share:

Sunday 21 June 2015

203 #3

Laci cokelat tua itu masih akan tetap terbuka, menampung lembar demi lembar cerita bahagia kita. Aku tak punya kuncinya, begitu juga kau. Kita membiarkan orang-orang bebas membuka laci dan membacanya sesuka hati. Ada yang turut bahagia, pun banyak juga yang merasa tak suka sebab terluka. Menjadi penumpang memang harus selalu siap dengan segala resiko yang ada.

Sekarang mari kita berhitung, 60 dikalikan 60, dikalikan 24, dikalikan lagi 92. Percayalah bahwa akan kau temukan angka 7.948.800, itulah banyaknya milisekon yang telah kita lalui bersama. Angka itu masih akan terus bertambah sesuka yang ia bisa. Hingga kalkulator termahal-pun tak mampu menampung rentetan angkanya.

Kau tahu aku tak suka matematika, tapi tak apa karena hal itu hanya sebuah umpama. Namun, jauh di dalam lubuk hatiku... aku menyayangimu tanpa ragu.

Tetaplah menjadi lelakiku yang memabukkan. Cukup aku saja yang kau bikin mabuk.

Semarang, 19 Juni 2015; 23:01
Jelang duapuluh ketiga.
Share:

Friday 29 May 2015

203 #2

Entah apa yang ada di kepalamu. Kau selalu membuat kejutan kecil yang besar.
Aku selalu mengamini pengaminanmu atas kata-kataku, kau pun sama, selalu mengamini pengaminanku atas doa-doamu. Kau selalu memandang sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda.
Hari ini, ketika kita membicarakan tentang masa depan, aku bertanya, "Siapa yang akan kau nikahi?"
Kau diam.
Aku mengulangi pertanyaanku dengan nada sedikit meninggi. Kau tetap diam.
Aku kembali mengulangi pertanyaanku dengan nada yang lebih meninggi lagi. Kau masih saja diam.
Kembali aku menanyakan pertanyaan yang sama untuk kali keempat. Kali ini kau menjawabnya, bukan dengan kata. Namun dengan sebuah kecupan manis.
Kau tahu? Kau selalu melakukan hal-hal kecil yang mampu membuatku bahagia setiap harinya.
Kini, aku selalu berdoa kepada Tuhan. Agar Tuhan pun mengamini pengaminan kita.

Semarang, 30 Mei 2015; 02:04
Aku tulang rusukmu, kau tulang punggungku.
Share:

203 #1

Dekapmu ceracak. Membuatku nyaman dalam gelakak. Membuatku aman telak. Meski sesekali aku gelatak, aku tahu, itu tak menjadi masalah bagimu.

Kita sua agar tak jelabak, hingga datang kelak. Kita akan menyumpal mulut-mulut mereka yang berdecak tidak. Kita akan kacak sambil terbahak dihadapan mereka yang pelak.

Cara mereka mengartikan sorotmu, berbeda dengan caraku. Cara mereka mengeja gerakmu, berbeda dengan caraku. Mereka tak paham bahwa ada milyaran hal yang mereka kira nihil.

Kau ibarat kebun di belakang rumah. Teduhmu tak nampak. Hijaumu tak kasat. Rindangmu hanya untuk sang pemilik rumah -aku.



Semarang, 24 April 2015, 01:56
Hari masih belia.

Didedikasikan untuk sosok yang mendekap tapi tak menyekap, mas Adji. Tetaplah menggenggam tanganku di depan teman-teman dan orangtuamu.


Footnote:
*ceracak: ce-ra-cak, ber-ce-ra-cak v bercerancang
 ➡cerancang: ce-ran-cang, ber-ce-ran-cang-an v y tajam (tinggi-tinggi)

*gelakak: ge-la-kak v tertawa gelak-gelak

*gelatak: ge-la-tak a cerewet; banyak mulut

*jelabak: je-la-bak ark v, ter-je-la-bak v roboh; runtuh

*kacak: ka-cak a 1 tampak gagah; cegak; 2 angkuh; pongah

*pelak: /pélak/ a salah; keliru; luput
Share:

Sunday 29 March 2015

Sore

Embun di sana
Memecah dua di daun berbeda
Mengusik kering tanah pertiwi
Suguhi seteguk peluk untuk tiap lekuk

Hujan sore ini
Ajak menari mengeja bahagia
Mari berpuisi bernyanyi berlalala-lilili

Berdansalah selagi pagi masih dalam mimpi


Semarang, 30 Maret 2015; 02.26 a.m
Selamat tengah malam, sore.
Share:

Saturday 7 February 2015

Tuan Nona di Sudut Balkon



Nona di sudut balkon.Apa yang kau lihat di dalam cangkirmu? Tatapan yang tanpa arti. Tidakkah kedua tanganmu lelah menyangga cangkir? Entah teh. Entah kopi. Entah cokelat. Tidakkah kau tahu mereka ingin diseduh? Tidakkah kau tahu mereka tak ingin tersia-sia?


Tuan di sudut balkon.Apa yang kau lihat di tengah kanvasmu? Tatapan yang tanpa ide. Tidakkah kedua tanganmu lelah menyangga dagu? Entah hijau. Entah kuning. Entah biru muda. Tidakkah kau tahu mereka ingin diadu? Tidakkah kau tahu mereka tak ingin tersia-sia?


Nona di sudut balkon. Gemuruh apa yang bergejolak di dalam dirimu? Sorotmu tampak kelabu. Genggammu tampak pilu. Apa yang sedari tadi kau tunggu? Kulihat cangkir lain di mejamu.


Tuan di sudut balkon. Apa yang membuatmu sendu, hingga membuatmu buntu? Apakah kau kehilangan objek gambarmu? Berhentilah membuang waktu.

Nona di balkon barat.
Tuan di balkon timur.
Minum teh -entah kopi, entah cokelat- di sore hari setelah selesai melukis tampaknya akan sangat manis.

Senyum mereka mengembang di jarak kurang dari enam belas kaki.



Semarang, 06 Februari 2015
Pemandangan unik dengan suara jangkrik. 


Share:

Tuesday 3 February 2015

Panggung Drama Indonesia


Lihatlah para petinggi negeri kami
Duduk di kursi kuasa sambil berleha-leha
Sesekali bersila sambil tertawa-tawa
"Supaya awet muda," katanya
"Kalian awet muda, kami tua sebelum waktunya!" Rakyat satu suara

Jangan pura-pura tuli lalu tak peduli
Raih tangan kami dan tepati janji
Kami bukan penonton dan kita tidak sedang bersandiwara
Atau memang ini lakon Cicak vs Boyo jilid ke sekian yang sengaja dicipta?

"Indonesia bukan panggung drama!" Rakyat berteriak sambil geleng-geleng kepala


Gunung Pati, 29 Januari 2015
00:59 a.m.
Share: